Tiga puluh tahun yang lalu, Dominikus Agus Goenawan (53) bersama kerabatnya mendirikan Lembaga Pendidikan Komputer Triguna di Bogor, kota kelahirannya. Pemuda pemalu yang meraih gelar sarjana dari Universitas Padjadjaran dan Institut Teknologi Bandung ini mengatakan tak sengaja menggeluti dunia pendidikan. Namun, keseriusannya mengelola lembaga pendidikan membuahkan hasil yang tidak pernah dibayangkan Agus sebelumnya.
Tahun 1985, setelah lulus dari ITB, Agus kembali ke Bogor. Didukung Kusuma Endah Gunawan, kerabatnya, Agus mendirikan Yayasan Triguna yang membuka Lembaga Pendidikan Komputer Triguna.
Ketika didirikan, Lembaga Pendidikan Komputer Triguna merupakan lembaga pendidikan komputer yang kedua di Kota Bogor. Lembaga pendidikan yang semula tempat kursus ini berkembang menjadi kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) dan telah meluluskan 2.500 orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk Lembaga Pendidikan Triguna yang meliputi kursus komputer dan program D-1, sejak berdiri 30 tahun lalu hingga sekarang, lulusannya sudah lebih dari 5.000 orang.
”Saya sangat bersyukur telah menjadi pendidik yang mencerdaskan generasi muda sekaligus memberikan bekal untuk mendapatkan peluang kerja,” ujar Agus ketika ditemui di Kampus STIE Triguna di Jalan Siliwangi, Bogor, awal Maret ini.
”Setelah lulus SMA, saya diterima di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Namun, keadaan ekonomi orangtua kurang mampu untuk membiayainya sehingga saya urungkan kuliah teknik elektro di PTS itu. Saat bersamaan saya diterima di Jurusan Fisika Unpad, Bandung. Setahun kemudian, saya juga diterima di Jurusan Matematika ITB,” kata Agus, yang mengungkapkan sebelumnya tak ada niat menjadi pendidik, apalagi mendirikan lembaga pendidikan di Kota Bogor.
Menurut Agus, seorang teman kuliahnya di ITB-lah yang ”menceburkannya” menjadi pendidik.
”Waktu itu saya baru tingkat II di ITB, sedang lihat papan pengumuman, tiba-tiba dari belakang ditepuk seseorang yang meminta menggantikan ngajar matematika di SMA Bina Bakti Jalan Bima. Saya langsung diboncengkan naik motor, dihadapkan kepada Kepala SMA Bina Bakti, Ibu Nurhayati Tan. Saya diwawancarai dan diterima,” kata Agus. Ia lantas menyebut nama Darjoto, kakak tingkatnya yang ”menceburkannya” menjadi guru.
Agus mengemukakan, awalnya ia merasa bingung untuk mengajar siswa SMA. Maklum, ia termasuk agak pemalu sehingga sangat sulit berdiri di depan kelas untuk mengajar.
”Saya beli buku tentang Mengajar yang Sukses, saya pelajari bagaimana menggunakan papan tulis, berdiri di depan siswa, sedangkan materi pelajaran bagi saya tak masalah. Saya buatkan materinya dulu sebelum mengajar,” ujar Agus.
Sebagai guru baru, ia punya pengalaman tak terlupakan saat pertama kali mengajar. Ia masih ingat saat dikerjain seorang siswanya.
”Seorang siswi ada yang berteriak menganggap suara saya kurang keras. Sudah saya keraskan, juga masih dianggap pelan dan tidak kedengaran. Belakangan baru saya tahu jika siswi itu memang ’nakal’ menguji guru barunya,” kata Agus, yang saat itu masih berusia 22 tahun dan harus menghadapi siswa-siswi yang usianya 16-an tahun.
Meski demikian, dia malah jadi kecanduan mengajar. Terlebih setelah mendapatkan penilaian cukup baik dalam mengajar. Dia menjadi guru di SMA Bina Bakti selama empat tahun (1981-1985), dan juga mengajar Fisika di SMP-SMA St Aloysius (1983-1985).
”Rupanya sudah jalan Tuhan saya jadi pendidik. Begitu lulus FIPPA Unpad tahun 1983, saya langsung diminta mengajar di Bandung Computer Institute oleh Pak Hariyadi, dosen saya,” kata Agus, yang meraih gelar sarjana fisika dengan predikat cum laude.
Kursus
Lembaga pendidikan komputer yang dia dirikan semula menawarkan pelatihan paket untuk tiga bulan. Kemudian menjadi paket terpadu dalam enam bulan. Melihat kebutuhan pasar, akhirnya dibentuk program pendidikan D-1.
”Program D-1 ini berkembang pesat sehingga mampu menjaring 400-500 mahasiswa per tahun,” kata Agus, yang menjadi Direktur Utama LP Triguna.
Setelah program D-1 berjalan beberapa tahun, sebagian alumni mengharapkan adanya studi lanjutan. ”Akhirnya yayasan mendirikan perguruan tinggi, yang melahirkan STIE, tahun 1994,” kata Agus, yang menjadi Ketua STIE dari tahun 1994 sampai sekarang.
Dua tahun kemudian, Yayasan Triguna membuka Akademi Sekretari Triguna. ”Sejak 1996, kampus STIE berada di gedung tiga lantai seluas 1.500 meter persegi di Jalan Siliwangi, yang memiliki 9 ruang kuliah dan 2 laboratorium komputer,” ujarnya.
Sambil mengelola lembaga pendidikannya, Agus juga terus mengembangkan diri dengan kuliah S-2 di Teknik Manajemen Industri ITB dan kemudian melanjutkan ke program S-3 Teknologi Industri Pertanian IPB.
Saat ini, kegiatan Agus sebagai dosen tidak tetap program S-2 di sejumlah PTS di Jakarta sudah dikurangi. Ia ingin lebih berkonsentrasi mengembangkan STIE.
”Kita perlu lebih menata kampus karena peraturan pemerintah makin ketat dan juga perlu melakukan perbaikan kualitas terus-menerus,” kata Agus, yang didampingi istrinya, Ursula Ernawati, alumnus Universitas Parahyangan Bandung.
Ke depan, baik Agus maupun Erna sebagai pengelola Perguruan Tinggi Triguna ingin membesarkan perguruan tingginya menjadi universitas.
”Kami bersyukur atas yang telah kami peroleh dan mengejar apa yang belum kami capai, antara lain menyelenggarakan program S-2,” kata Agus, yang menikah dengan Erna pada tahun 1987 dan kini dikarunia tiga anak.
Saat ini, Triguna menjaring anak dari keluarga menengah ke bawah agar mereka mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan setelah lulus SLTA. ”Bagi mereka gratis uang SKS. Biaya awal kuliah sekitar Rp 5 juta, dan untuk semester selanjutnya sekitar Rp 3 juta. Biaya ini jauh lebih murah di bandingkan perguruan tinggi negeri,” kata Agus seraya menambahkan bahwa yayasan juga memberikan bea siswa kepada anak yang tidak mampu.
DOMINIKUS AGUS GOENAWAN
LAHIR
Bogor, 25 Agustus 1959
Istri
Ursula Ernawati
Anak
Andalan Utama Goenawan (26)
Anugrah Unggul Goenawan (17)
Anggun Unique Goenawan (15)
Pendidikan
SD/SMP Kesatuan Bogor 1971/1974
SMA Regina Pacis Bogor 1977
S-1 FIPPA Unpad Bandung 1983 Cum Laude
S-1 FMPIPA ITB 1985
S-2 Teknik dan Manajemen Industri ITB 1990
S-3 Teknologi Industri Pertanian IPB 2006
(FX Puniman, wartawan tinggal di Bogor)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Maret 2015, di halaman 16 dengan judul “Dari Kursus Menjadi Kampus”.