Di halaman belakang kartu namanya tercantum sederet keahliannya sebagai spesialis forensik. Mirip iklan mini surat kabar, di sana tertulis, ia melayani konsultasi kedokteran yang berkaitan dengan hukum atau medikolegal. Juga pemeriksaan luka, kasus susila, asal-usul anak, bercak darah-mani-liur, golongan darah dari darah-liur-kuku-rambut-tulang, identitas tulang, serta DNA untuk identitas dan jenis kelamin. Yang terakhir adalah melayani pengawetan jenazah.
“Orang perlu tahu, segala hal menyangkut persoalan hukum yang memerlukan pendapat medis adalah bidang kajian kedokteran forensik. Sebagian kecil saja dari keahlian ini yang berurusan dengan bedah mayat,” kata Djaja Surya Atmadja pada ceramah Selasa 28 Mei 1996 di Bagian Forensik Fakultas Kedokteran UI, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ceramah tersebut untuk merayakan keberhasilannya Desember 1995 mencapai PhD dalam forensik molekuler dari Universitas Kobe, Jepang.
Dengan ungkapan itu, Djaja ingin menghapus kesan forensik seolah berurusan hanya dengan otopsi, yang membuat bidang ini dijauhi dokter muda ketika memilih spesialisasi. Bayangkan, untuk Indonesia berpenduduk 190 juta orang, hingga sekarang hanya ada 50 dokter spesialis forensik. Djaja adalah orang pertama dan satu-satunya di Indonesia yang mencapai PhD dalam forensik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tiga tahun menjalani program sandwich doktor (bolak-balik Jakarta-Kobe) memelekkan matanya pada kesadaran, forensik ternyata melulu berurusan dengan bedah mayat. Pemeriksaan identitas biologis dengan teknologi DNA (asam deoksribonukleat, senyawa kimia biologis pada makhluk hidup) bisa menyimpulkan apakah seorang anak benar-benar buah perkawinan biologis suami istri yang sah.
”Forensik akan menjadi instrumen penting di Indonesia sebagai bidang kedokteran penegak keadilan, setelah terbukti di Amerika, Eropa, dan Jepang,” kata satu-satunya speasialis forensik Indonesia yang ahli dalam identifikasi dengan DNA ini.
Pemeriksaan DNA dalam kedokteran forensik, sejak tahun 1985, merupakan bidang baru yang amat disukai, karena dapat memaparkan banyak hal yang sebelumnya tak mungkin terungkap. Pola DNA yang sama untuk setiap bagian terkecil dari bagian tubuh yang mana pun –kuku, darah, sperma, cairan vagina, kulit, hati, dan sebagainya memudahkan pelacakan identitas seseorang yang meninggalkan bagian mana dan sekecil apa pun dari tubuhnya di tempat kejadian perkara. Kenyataan bahwa DNA lebih stabil ketimbang protein menyebabkan pada bahan yang busuk sekali pun DNA masih bisa dilacak.
”Pemeriksaan DNA bahkan sudah dapat memastikan dengan tepat, berapa orang dan siapa saja pelaku sebuah perkosaan ramai-ramai,” kata Djaja, sambil membandingkannya dengan kelemahan pemeriksaan golongan darah dalam kasus perkosaan dengan banyak pelaku.
DOKTOR Djaja masih muda. Lahir di Jakarta, 19 Mei 1960, ia masuk FKUI pertengahan tahun 1980, dan menyelesaikan doktor dalam usia 35 tahun. Kini ia masih giat melakukan penelitian forensik tingkat molekuler di lahan tetapnya: Bagian Forensik FKUI/RSCM, selain menjadi konsultan medikolegal di dua rumah sakit dan mengajar di FK beberapa universitas.
Kebiasaan meneliti ia mulai tahun 1981 ketika masih di tingkat dua. Pada mulanya adalah pertanyaan yang muncul selagi mempelajari materi kuliah. Jarang mendapat jawaban memuaskan, sering menghadapi dosen yang sama sekali tak mampu menjawab, akhirnya ia cari sendiri dengan penelitian di laboratorium atau dengan menelaah jurnal. Dengan itu ia bisa menyimpulkan, berdasarkan penelitian perdananya, obat antialergi dapat menghambat pertumbuhan tumor pada mencit.
Ia termasuk kelompok mahasiswa pertama di FKUI yang meneliti dengan inisiatif sendiri di luar kurikulum. Tahun 1982 fakultas meresmikan Badan Riset Mahasiswa (BRM). Anggota BRM akhirnya mahir merancang penelitian, membuat proposal, dan mempublikasikan hasilnya di Majalah Kedokteran Indonesia.
”Pada saat lulus dokter, saya sudah punya track publikasi yang cukup banyak,” kata Djaja, yang sempat menjadi ketua BRM pada periode kedua (1983-1984). BRM bubar awal tahun 1990-an.
SETELAH lulus dokter tahun 1986, ia tidak mendaftarkan diri untuk menjadi dokter puskesmas, melainkan menginvestigasi bidang apa yang berpeluang dikembangkan di FKUI. Djaja berpikir harus memilih bidang yang sepi peminat tapi masih bisa berkembang, supaya bisa menjadi orang pertama yang diingat orang setiap menyebutkan bagian itu. Anatomi sepi peminat, tapi hampir tak mungkin berkembang karena dari tempo doeloe sudah baku, hidung mesti di antara mata…kecuali kalau ada evolusi.
”Saya lihat forensik berpotensi besar untuk dikembangkan, tapi tak dilirik orang lain karena mereka sudah beranggapan, forensik itu ilmu orang mati,” katanya.
Selain didukung oleh hobi melahap cerita detektif karya Agatha Christie dan Sir Arthur Conan Doyle, dimatangkan oleh ketulusan Prof dr Arif Budijanto dari Bagian Forensik FKUI membagi ilmu, keyakinan juara pertama Lomba Gambar Karikatur Civitas Academica FKUI Tahun 1989 ini bahwa forensik akan berguna untuk kedokteran klinis diperkuat oleh bacaannya mengenai biografi beberapa pematung dan pelukis dunia semacam Leonardo da Vinci.
”Temuan Otopsi pada AIDS” yang ia publikasikan tahun 1989 di Majalah Kedokteran Indonesia merupakan sumbangan signifikan kepada bagian ilmu penyakit dalam. Di situ ia mengungkapkan adanya bercak hitam di lambung sebagai manifestasi sarkoma kaposi yang dialami penderita AIDS.
KEGIATAN yang sangat padat selagi mahasiswa tidak menghalanginya mengikuti reuni \dengan teman-teman; nya sealmamater dari SMA Negeri 1 Jakarta. Selagi mengedarkan undangan reuni SMA, ia malah bertumbuk pandang di sebuah tempat dengan Agatha Priscilia, teman SMP-nya. Di mata Djaja, Agatha ketika itu makin cantik. ”Saya langsung pacari dan menikah di catatan sipil waktu saya tingkat enam, supaya jangan sampai disambar orang,”katanya.
Agatha yang sekarang sudah melahirkan tiga anak –Yuven(9), Cresentia (7), dan Davin (2)— dari perkawinannya dengan Djaja, sama sekali tak keberatan ketika suaminya mengambil spesialisasi forensik. Dukungan ini membuat Djaja bersemangat mempelajari teknik mengukur tulang kaki dan lengan anak manusia yang masih hidup untuk tugas akhirnya dalam program spesialisasi itu. Setelah memahami teknik tersebut, bersama dr Yuli Budiningsih dan dr Slamet Purnomo dari Forensik FKUI, ia melakukan pengukuran tulang betis, tulang kering, dan tinggi badan terhadap 1.150 mahasiswa UI di Depok. Dengan regresi linier, Djaja menemukan enam rumus –masing-masing tiga untuk laki-laki dan tiga untuk perempuan— yang mengaitkan tinggi badan dengan tulang betis dan tulang kering. Keenam rumus itu kini dikenal sebagai Rumus Atmadja yang pas untuk orang Indonesia.
”Saya tertarik mencari korelasi ini karena sebelumnya rumus dari Amerika selalu menghasilkan tinggi badan yang lebih, bervariasi dari satu sampai 10 sentimeter, dari tinggi sebenarnya. Kebetulan Bank Dunia mau membiayai penelitian ini,” katanya.
Dengan semangat membumikan risetnya untuk bisa diterapkan di Indonesia, ketika mempersiapkan disertasi PhD-nya Efek Metode Ekstraksi, Jenis Sampel Organ, dan Kelambatan Pemeriksaan Kuantitas dan Analisi DNA di Universitas Kobe, ia meneliti apakah pemeriksaan DNA dari bercak sperma yang sudah tahunan sama hasilnya dengan dari bercak sempurna yang baru berumur sehari.
”Hasil pemeriksaannya sama. Ini memungkinkan pemeriksaan DNA dari suatu bahan biologis yang dikirim dari suatu, daerah ke Jakarta, yang membutuhkan waktu cukup lama dalam perjalanan katanya sambil mengingatkan, saking mahalnya, alat-alat pengidentifikasi DNA untuk keperluan forensik itu baru ada di Jakarta.
Maka, ketika belajar di Jepang dengan pembimbing Prof Dr Yoshitsugu Tatsuno, sambil menghemat uang saku agar bisa membeli alat-alat laboratorium untuk pemeriksaan DNA, Djaja aktif menjadi pemulung di universitasnya, siapa tahu ada mahasiswa atau profesor yang membuang perkakas laboratorium di keranjang sampah hanya karena sedikit kerusakan di kontrol suhunya, antara lain seperti checking incubator yang harganya bisa mencapai Rp 30 juta. Hasil memulung dan berhemat ini memungkinkannya membawa alat untuk bisa terus meneliti di Jakarta. (Salomo Simanungkalit)
Sumber: KOMPAS,SENIN,10 JUNI 1996