Mahasiswa mengemban tugas utama yang termaktub dalam Tridarma Perguruan Tinggi, yang diamini semua perguruan tinggi di Indonesia. Poin kedua dari tugas tersebut adalah penelitian dan pengembangan. Sayangnya, penelitian yang dikerjakan mahasiswa baru sebatas untuk memenuhi tugas kuliah.
Mengerjakan skripsi adalah bentuk penelitian ilmiah menggunakan metodologi baku dan disusun runut. Di luar itu, tugas-tugas kuliah pun banyak mengadopsi cara meneliti, bisa lewat pengamatan langsung di lapangan ataupun studi literatur.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa cukup akrab atau juga dibiasakan dengan penelitian. Meski demikian, tak terlalu banyak mahasiswa yang memilih peneliti sebagai profesi mereka di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alasannya bermacam-macam. Rata-rata menganggap profesi peneliti terlalu kaku atau serius. Bahkan ada yang beranggapan bahwa menjadi peneliti tidak bisa dijadikan sandaran hidup dari sisi penghasilan.
Fitri Damayanti, mahasiswa jurusan Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta, justru berpendapat bahwa peneliti adalah juru kunci bagi kelangsungan bangsa. Di tangan para peneliti, kemajuan bangsa dibentuk. Oleh karena itu, Fitri mengharapkan lebih banyak generasi muda yang mau menjadi peneliti, tak sekadar meneliti ketika ada tugas kuliah.
Harapan Fitri kini berusaha diwujudkan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) beberapa tahun terakhir berusaha ”menarik” kembali calon peneliti asal Indonesia yang menempuh studi di luar negeri.
Dalam kurun waktu dua tahun terakhir misalnya, para penyandang gelar doktor dari kampus luar negeri ”pulang kampung” ke Indonesia dan menjadi peneliti LIPI. Salah satunya adalah Doktor Ratih Pangestuti. Penyandang cum laude dari Pukyong National University, Korea, ini meraih gelar doktor di usia terbilang muda, 29 tahun.
Awal Oktober ini, Ratih menerima penghargaan LIPI Young Scientist Award 2015 atas penelitiannya tentang pemanfaatan teripang atau timun laut sebagai bahan baku obat. ”Selama ini produk biota laut Indonesia diperjualbelikan dalam bentuk mentah. Oleh karena itu, perlu penambahan nilai produk supaya meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia,” ujarnya.
LIPI Young Scientist Award adalah penghargaan kepada ilmuwan muda Indonesia yang berusia di bawah 35 tahun. Penghargaan yang baru pertama kali digelar tahun ini tersebut diberikan kepada peneliti yang konsisten membagikan hasil penelitiannya bagi masyarakat luas ataupun perkembangan ilmu pengetahuan.
Hasil penelitian yang memberi manfaat langsung bisa menjadi solusi bagi permasalahan bangsa. Meski demikian, hasil penelitian itu tak sepenuhnya bisa langsung diimplementasikan. Hal tersebut terkait dengan kebijakan pengembangan oleh instansi pemerintah terkait.
Hasil penelitian Ratih yang terkait biota laut bersinggungan dengan kepentingan sejumlah kementerian, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Perindustrian. Birokrasisemacam itu kadang membuat hasil penelitian hanya berhenti sebagai rekomendasi.
Bibit baru
Walaupun demikian, pencarian bibit peneliti baru terus dilakukan. Salah satu caranya adalah mengadakan kompetisi penelitian ilmu pengetahuan Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang digelar LIPI sejak 1962. Kompetisi ini ditujukan bagi calon peneliti berusia 12-19 tahun. Di jenjang mahasiswa ada Program Kreativitas Mahasiswa yang diadakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Titik cerah dunia penelitian Indonesia terlihat pada penyelenggaraan LKIR tahun ini. Ada peningkatan jumlah peserta sebanyak 30 persen. Tahun ini, dewan juri ajang itu menyeleksi 2.041 proposal penelitian. Sementara pada tahun sebelumnya proposal yang masuk hanya berjumlah 1.431 buah.
Laksana Tri Handoko, Ketua Dewan Juri LKIR 2015, menyebutkan, peningkatan jumlah proposal penelitian cukup menggembirakan. ”Hal itu mengindikasikan sebenarnya banyak yang berminat pada kegiatan riset,” kata Handoko.
Untuk merangsang minat remaja meneliti, LIPI menggandeng British Council melalui The Newton Fund. Jadi, pemenang lomba karya ilmiah berkesempatan memperdalam penelitiannya untuk diikutsertakan di ajang internasional.
Jika hasil penelitian pernah memenangi lomba, apalagi ajang internasional, siswa bersangkutan mendapat kesempatan lebih besar menempuh studi di kampus bergengsi. Pemenang LKIR tahun lalu adalah Luca Cada Lora dan Galih Ramadhan dari SMA Negeri 1 Surakarta yang menyelisik abu vulkanik Gunung Kelud sebagai materi penyaringan limbah cair.
Berkat karyanya itu, mereka berdua berkesempatan melawat ke Pittsburgh, AS, untuk mengikuti ajang Intel International Science and Engineering Fair. Karya mereka diganjar penghargaan spesial. Luca kini berkuliah di Institut Teknologi Bandung dengan jalur penerimaan khusus. Namanya juga sempat menghiasi media massa berkat kecemerlangannya.
Perjalanan menuju peneliti profesional memang masih jauh. Nah, untuk sampai ke sana, dibutuhkan keteguhan. Handoko berpendapat, mahasiswa yang berminat menjadi peneliti harus bertekad menyelesaikan pendidikannya sampai titik akhir, yaitu jenjang doktoral.
”Selain itu, cari pembimbing atau dosen yang berorientasi pada riset. Semasa kuliah, mahasiswa juga diberi kesempatan untuk bergabung dengan tim peneliti LIPI supaya bisa merasakan iklim riset ilmiah,” ujar Handoko.
Peluang itu sangat menggiurkan karena, selain bisa menambah wawasan, siapa tahu peneliti profesional mengajak jalan-jalan ke daerah yang diteliti hingga ke pelosok Indonesia. Ada yang berminat? Indonesia membutuhkanmu. (HEI)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Oktober 2015, di halaman 34 dengan judul “Dicari: Peneliti Muda Indonesia!”.