Berkiprah di luar negeri dengan prestasi yang membanggakan mampu diraih sejumlah anak muda Indonesia. Di bawah usia 40 tahun, mereka berkarier sebagai ilmuwan di beberapa negara. Unjuk kinerja dan prestasi mereka mendapat ganjaran penghargaan hingga jabatan yang bergengsi.
Kiprah mereka yang diakui dunia digunakan untuk mengungkit kemajuan bangsa lewat ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tiap tahun lewat ajang Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD), ilmuwan muda diaspora yang tergabung di Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (1-4) pulang ke Tanah Air. Mereka berbagi inspirasi dan menjalin kolaborasi dengan ilmuwan dalam negeri agar sama-sama merasakan nikmatnya bersumbangsih pada kemajuan bangsa dan dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada acara “Diaspora Talks” di ajang SCKD 2019 di Jakarta, Selasa (20/8/2019) lalu, ilmuwan diaspora di bawah usia 40 tahun berbagi inspirasi. Tidak hanya tentang perjalanan menggapai sukses sebagai ilmuwan di negeri orang, tetapi juga mereka berbagi keilmuan hingga motivasi untuk berkontribusi bagi negeri.
Jalan untuk jadi ilmuwan kelas dunia terbuka lewat perjuangan yang gigih tanpa kenal kata menyerah. Ini dimulai dari meraih peluang beasiswa master dan doktor hingga post-doktoral di luar negeri yang membawa mereka keliling ke sejumlah negara. Tawaran untuk menjadi ilmuwan di beberapa kampus ternama dengan peluang yang luas dan fasilitas canggih untuk mengejar passion mereka dalam bidang ilmu tertentu membuat mereka memilih untuk menetap di negeri orang dalam hitungan waktu yang cukup lama.
Bagi Sastia Prama Putri (37), menjadi perempuan ilmuwan, apalagi di University of Osaka di Jepang, bukan hal yang mudah diraih. Peraih penghargaan Osaka University Award sebagai dosen berprestasi itu kini menjabat sebagai asisten profesor di Departemen Bioteknologi, Fakultas Teknik, Osaka University, dan dosen luar biasa Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB. Ia memimpin grup aplikasi metabolomik untuk bioteknologi mikroba, khususnya untuk produksi biofuel dan produk pangan khas Indonesia.
“Saya dosen perempuan dari luar Jepang yang pertama menerima penghargaan ini,” ujar Sastia, alumnus ITB yang pernah meraih L’Oreal For Women in Science, penghargaan bagi perempuan ilmuwan di dunia.
Sastia memang punya tekad yang kuat untuk sukses karena ia berani bermimpi besar. Ketika kuliah S-1 di ITB, ia bisa lulus lebih cepat dari teman seangkatannya. Kesempatan datang untuk program research Yellow dari UNESCO ke Jepang selama setahun. “Kesempatan baik selalu terbuka bagi saya. Namun, saya selalu siapkan diri sehingga ketika kesempatan datang, saya siap mengambilnya,” ujar Sastia.
Sastia yang merupakan ibu satu anak perempuan ini mendalami metabolomik yang bisa dipakai untuk berbagai macam ilmu yang menerapkan sistem biological. Namun, dia menggunakannya untuk lebih meningkatkan kualitas pangan Indonesia.
“Indonesia enggak kalah soal panen, tetapi kualitas masih perlu ditingkatkan. Dengan riset metabolomik, itu bisa meningkatkan kualitas pangan yang penting dan strategis. Pertama, untuk ekspor dan peningkatan kesejahteraan petani,” ujar Sastia.
Menguasai teknologi
Ilmuwan muda Indonesia juga mumpuni dalam pengembangan teknologi kekinian, Hutomo Suryo Wasito (32), pakar nano-teknologi. Alumnus S$-1 Universitas Gadjah Mada ini mendapatkan Germany Permanent Resident for high gualified person pada 2016 dan menjabat sebagai Head of Optoeletromechanical Integrated Nanosystemfor Sensing (OptoSense) Group di Laboratory for Emerging Nanometrology (Lena), Braunschweig, Jerman.
Hutomo dulu pernah dipandang sebelah mata karena tidak bisa berbahasa Jerman saat kuliah program doktoral di Technische Universitit Braunschweig (TU Braunschweig), Jerman. Namun, akhirnya ia membuktikan dirinya dengan meraih gelar doktor ingenieur (Dr Ing) bidang teknik elektro predikat summa cumlaude hanya dalam waktu 3,5 tahun.
Kini Hutomo mengajar di kampus dengan bahasa Jerman. Ia juga aktif menghasilkan jurnal ilmiah hingga ada 45 jurnal internasional bersama.
“Kuncinya untuk sukses belajar di luar negeri adalah mental yang kuat dan tidak merendah diri. Kualitas mahasiswa Indonesia tidak kalah dengan Jerman,” ujar Hutomo yang lulus doktor pada usia 26 tahun.
Menjadi ilmuwan diaspora yang bersentuhan dengan teknologi maju dan kekinian juga didalami Markus Santoso (37) yang kini menjabat sebagai asisten profesor di University of Florida sejak Juli 2018.
Sejak duduk di bangku SMA, Markus tidak pernah bisa lepas dari film science Siction (sci-fi).
Dulu Markus merasa segala macam teknologi di film itu hanya imajinasi belaka. Namun. ketika ia pertama kali berkenalan dengan teknologi realitas tertambah (augmented reality/AR) pada waktu kuliah S-3 di Dongseo University, Busan, Korea Selatan, Markus merasa yang semula hanya impian ternyata bisa menjadi kenyataan.
Ia pun membulatkan tekad untuk bisa memanfaatkan teknologi AR itu agar bisa diaplikasikan di Indonesia juga dan membantu menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat Indonesia. Ide Markus mencari solusi persoalan pendidikan itu muncul dari pengalamannya sendiri.
Setelah menyelesaikan S-3 di Korsel, ia mendapatkan kesempatan mengikuti riset dari program Alain Bensoussan Postdoctoral Fellowship di European Research Consortium for Informatics and Mathe-
matics (ERCIM) di Jerman. Program itu membantunya fokus pada riset yang langsung berdampak pada masyarakat.
“Ini sesuai dengan visi saya. Saya tidak pernah target menang best paper award atau apalah. Saya lebih suka kalau hasil riset saya dapat dimanfaatkan untuk banyak orang,” kata Markus.
Selama ini Markus berfokus pada penelitian tentang virtual reality dan serious-game development. Dia mengerjakan implementasi AR/VR untuk ilustrasi anatomi manusia, pendidikan kedokteran, dan
fisiologi komputasi.
Markus pernah mendapatkan penghargaan peringkat kedua dan ketiga pada event SuperApp Korea 2012, kompetisi mobile developer nasional di Korsel. Salah satu aplikasi Mobile AR-nya terpilih untuk kategori Unity Developer Choice di Vuforia Vision Award 2015. (ELN/LUK)
Sumber: Kompas, 28 Agustus 2019