Menambah Beban Ekonomi Pasien dan Keluarga
Sebagian besar kasus diabetes melitus di dunia, termasuk di Indonesia, tidak terdeteksi. Seseorang kerap mengetahui dirinya diabetes setelah mengalami komplikasi dengan penyakit lain. Hal itu karena kurangnya sosialisasi informasi dan sulitnya akses terhadap fasilitas layanan kesehatan bagi penderita.
Direktur Penanggulangan Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Ekowati Rahajeng, dalam Diabetes Leadership Forum, di Jakarta, Kamis (13/11), mengatakan, saat ini ada sekitar 12 juta jiwa orang dengan diabetes di Indonesia. Sebagian besar kasus diabetes disebabkan gaya hidup tak sehat.
Sekitar 70 persen dari total kasus diabetes tak terdiagnosis. Akibat tak terdeteksi sejak dini, diabetes yang diderita berkomplikasi dengan penyakit lain, seperti tuberkulosis. ”Sebanyak 25 persen pasien diabetes juga tuberkulosis,” kata Ekowati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) Achmad Rudijanto mengatakan, pengetahuan masyarakat yang minim jadi penyebab dominan banyak kasus diabetes tak terdeteksi. Selain itu, ada persepsi yang salah soal diabetes, misalnya orang gemuk yang jadi kurus dalam waktu cepat dianggap bagus. Padahal, itu perlu dicurigai sebagai diabetes.
Akses yang sulit pada fasilitas layanan kesehatan juga ikut berkontribusi pada tak terdiagnosisnya diabetes. ”Jangan dibayangkan Indonesia seperti kondisi Jakarta. Di daerah, masih banyak yang jarak permukiman penduduk ke puskesmas amat jauh dan medan yang dilalui berat,” kata Achmad.
Data Federasi Diabetes Internasional (International Diabetes Federation/IDF) menyebutkan, secara global, 387 juta orang hidup dengan diabetes. Jumlah itu diperkirakan bertambah menjadi 592 juta orang pada 2035.
Ketua IDF Regional Pasifik Barat Nam H Cho mengatakan, di wilayah Pasifik Barat, 138 juta jiwa warga hidup dengan diabetes atau 35 persen dari total orang dengan diabetes di seluruh dunia. Sebanyak 53 persen di antaranya tidak terdiagnosis.
Komitmen lemah
Menurut Cho, anggaran Pemerintah Indonesia untuk menanggulangi diabetes rendah. Itu diperparah lemahnya komitmen menerapkan kebijakan promotif dan preventif kesehatan. Meski demikian, surveilans, perawatan, dan pencegahan komplikasi pada penyandang diabetes baik.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi diabetes di Indonesia mencapai 6,9 persen. Selain menjadi beban kesehatan, diabetes telah menjadi beban ekonomi, baik bagi pasien dan keluarganya maupun bagi negara.
Sementara itu Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany mengatakan, belum ada yang menghitung berapa beban ekonomi yang ditimbulkan diabetes dan penyakit komplikasinya.
”Yang jelas, seharusnya pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 2 triliun untuk program promotif dan preventif penyakit tak menular, termasuk diabetes,” kata Hasbullah menegaskan.
Meski hadirnya jaminan kesehatan memberikan harapan bagi warga untuk berobat, beban ekonomi akibat komplikasi diabetes melitus amat besar. Hal itu dikhawatirkan akan mengancam anggaran jaminan kesehatan itu sendiri.
Sebagai gambaran, diabetes dengan komplikasi gagal ginjal membutuhkan cuci darah rutin dengan biaya rata-rata Rp 800.000 per sekali cuci darah. Apabila pasien diabetes harus cuci daerah sebulan tiga kali saja, misalnya, dan bertahan hidup hingga lima tahun, biaya cuci darah yang dibutuhkan hampir Rp 100 juta.
Maka, menurut Hasbullah, pemerintah sebaiknya berkomitmen tegas mengerjakan program promotif dan preventif. Program itu mesti didukung pendanaan yang cukup. (ADH)
Sumber: Kompas, 14 November 2014