Kebakaran lahan pemicu asap tebal di Riau sudah menjadi kerja tahunan kita. Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB menyatakan, gangguan aktivitas akibat kabut asap membuat jarak pandang terkadang tinggal 200 meter menimbulkan kerugian sedikitnya Rp 10 triliun, lebih besar dari APBD Riau 2014 yang bernilai Rp 8,2 triliun.
Sampai Rabu pekan lalu, asap membuat 31.641 penduduk Riau terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), pneumonia (563), asma (1.128), iritasi mata (987), dan iritasi kulit (1.603). Menurut BNPB, dari pantauan titik api disimpulkan titik api masih banyak berada di Kabupaten Bengkalis, Kepulauan Meranti, dan Kota Dumai, Riau.
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dalam kunjungan kerja ke Pekanbaru, Riau, pekan lalu, mengungkapkan, ada 2.000 perambah dari Sumatera Utara yang membakar di dalam konsesi hutan tanaman industri PT Arara Abadi, anak perusahaan kelompok Sinar Mas, Suaka Margasatwa Giam Siak, dan SM Bukit Batu di Bengkalis dan Siak. Aksi mereka sebenarnya bisa saja dicegah seandainya perusahaan pengelola HTI memiliki sistem deteksi dini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sistem deteksi dini bisa mencegah para perambah tidak membakar 800 hektar kawasan inti kedua suaka margasatwa lindung gambut yang ditambah konsesi Sinar Mas untuk konservasi menjadi total seluas 178.000 hektar diakui UNESCO sebagai situs cagar biosfer. Tanpa sistem deteksi dini mumpuni, bagaimana kita mengawasi total kawasan seluas 705.000 hektar yang mengawali bencana asap ini dengan baik untuk mencegah perambahan dan kebakaran lahan.
Satuan Tugas Tanggap Darurat Pengendalian Asap Riau menyatakan, sampai Jumat pekan lalu, luas areal kebakaran lahan telah mencapai 13.009 hektar. Tim pemadam kebakaran gabungan telah memadamkan 10.618 hektar meski sebagian besar masih berasap.
Bayangkan, berapa kerugian yang harus kita tanggung akibat kebakaran lahan. Masyarakat terpaksa hidup dalam kabut asap yang menyesakkan dada, membuat mata perih, dan ada juga yang harus kehilangan rumah dan ladang akibat ikut terbakar.
Sudah sepatutnya perusahaan HTI dan perkebunan mengembangkan sistem deteksi dini dan pencegahan kebakaran lahan. PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), produsen bubur kertas dan kertas terbesar kedua di Asia dan unit usaha Asia Pacific Resources International Limited (APRIL), menyiapkan pusat komando pengendalian (Puskodal) kebakaran lahan terkoneksi satelit di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau.
Sistem informasi pemantauan titik panas berbasis internet ini tidak hanya memantau seluruh konsesi sampai lahan masyarakat radius 3 kilometer dari areal HTI RAPP. Puskodal yang terintegrasi dengan posko-posko siaga kebakaran lahan di konsesi RAPP ini juga memantau curah hujan dan titik panas di semenanjung Malaysia, Thailand, dan seluruh Kalimantan.
Perusahaan tidak hanya menyiagakan karyawan yang terlatih untuk pencegahan dan pemadaman kebakaran lahan. Akan tetapi, juga melatih dan menyertakan sedikitnya 400 masyarakat di sekitar konsesi untuk mendeteksi dan memadamkan api di lahan gambut.
Seperti personel Manggala Agni Kementerian Kehutanan yang turun tangan memadamkan api di lahan masyarakat di luar kawasan taman nasional, brigade pemadam kebakaran RAPP juga memadamkan api di luar konsesi. Pemilik lahan yang menolak bantuan pemadaman api harus bersedia menandatangani surat pernyataan yang akan dikirim kepada pihak-pihak terkait.
Langkah tersebut yang disertai sosialisasi bahaya kebakaran lahan, terutama gambut, menjadi kunci penting untuk mengurangi kebiasaan masyarakat membakar untuk membuka ladang. Tidak bisa tidak, pencegahan sangat penting karena begitu lahan gambut terbakar akan sulit dipadamkan.
Kementerian Kehutanan bekerja sama dengan RAPP dan ilmuwan Institut Pertanian Bogor juga telah menerapkan teknologi ekohidro untuk mengelola tinggi muka air kawasan gambut. Teknologi ini bekerja seperti mekanisme waduk untuk mencegah lahan gambut kebanjiran saat musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau sehingga rawan terbakar.
Indonesia memiliki sekitar 21 juta hektar lahan gambut dengan 4 juta hektar di antaranya berada di Riau. Sudah sepatutnya semua pihak serius mengembangkan tata kelola lahan gambut yang lestari.
Ada pepatah, api kecil jadi kawan, api besar jadi lawan. Lebih baik mencegah daripada kita menjadi korban. (Hamzirwan)
Sumber: Kompas, 10 Maret 2014