Festival Nasional Desa Teknologi Informasi dan Komunikasi di Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, 26-27 September 2014, membawa pesan datangnya era baru tata kelola desa terkini di Tanah Air. Desa-desa memiliki situs untuk menginformasikan potensi daerah, sekaligus sarana pemerintah melayani warganya, tak hanya soal pembuatan KTP.
Banyak potensi desa dan masyarakatnya yang belum diketahui publik karena jarak dan akses minim. ”Segala kendala itu teratasi dengan situs-situs desa,” kata Soepriyanto, pegiat Gerakan Desa Membangun, beberapa waktu lalu, di Desa Tanjungsari.
Soepriyanto dan anggota Gerakan Desa Membangun lainnya jadi penggerak Festival Nasional Desa Teknologi Informasi dan Komunikasi (Destika) tahun 2014 di desa itu. Tahun lalu, festival digelar perdana di Desa Melung, Banyumas, Jateng. Festival Destika tahun ini didukung penuh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih dari 50 relawan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) Kabupaten Majalengka jadi panitia festival. Mereka blusukan ke desa-desa, mendampingi pengurus desa dan warga mengaktifkan situs desa serta rutin memperbarui isi.
Festival dua hari itu dihadiri perwakilan desa dari 15 provinsi, di antaranya Jakarta, Banten, Aceh, dan Sulawesi Tenggara. Desa Tanjungsari, sekitar 3 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Majalengka, dua hari itu jadi magnet warga. Halaman kantor desa jadi ruang pamer potensi desa, sedangkan lahan samping kantor desa didirikan tenda untuk diskusi.
”Ini baru mulanya. Selanjutnya, saya ingin membangun balai-balai latihan kerja supaya warga desa bisa belajar berbagai keterampilan. Saya ingin warga desa bekerja di sini saja, tak perlu jadi TKI,” kata Tasrip (45), Kepala Desa Tanjungsari.
Tasrip optimistis dengan situs desa. Warganya di luar negeri kini bisa mengakses www.tanjungsari.desamembangun.or.id untuk mengetahui kabar kampung halaman. Ia berharap warga yang pulang dari luar negeri bertahan di kampung.
”Saya membuat grup di Facebook yang isinya TKI asal Desa Tanjungsari supaya mereka bisa terus berkomunikasi dengan pengurus desa,” katanya.
Salah satu kendala adalah memperbarui isi situs desa. Banyak situs desa akhirnya mati karena pemeliharaan buruk.
”Situs salah satu desa di Indramayu yang jadi proyek pertama akhirnya tak bermanfaat. Proyek tak didukung kepala desa yang baru,” kata Ahmad Rofahan (28), pegiat Jingga Media Cirebon yang menggerakkan internet masuk desa di kawasan pantura Jawa Barat.
Di Majalengka, dari 330 desa, 80 desa di antaranya punya situs. Pemkab mengalokasikan Rp 300 juta hingga Rp 400 juta per desa untuk pengembangan kesejahteraan melalui badan usaha milik desa dan TIK.
”Sejak 2010, kami membantu desa-desa fasilitas komputer untuk mengakses internet,” kata Bupati Majalengka Sutrisno.
Inisiatif memanfaatkan internet juga dijajaki Desa Lengkongkulon. Kades Lengkongkulon Wiharja (51) mengatakan, ia mengupayakan pembuatan KTP secara daring. Selama ini, situs www.lengkongkulon.desa.id hanya berisikan soal potensi dan kegiatan desa.
Melalui situs itu, warga tak hanya mengurus KTP, tetapi juga memantau budidaya ikan air tawar. (RINI KUSTIASIH)
Sumber: Kompas, 13 Oktober 2014