Deforestasi di Indonesia masih terus terjadi. Jika hutan dieksploitasi terus-menerus, kita sebenarnya sedang menuai bencana seperti wabah penyakit zoonosis dan krisis iklim.
KOMPAS/ ZULKARNAINI–Tutupan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser di daerah Ketambe, Aceh Tenggara, masih alami.
Meski angka deforestasi atau hilangnya tutupan pohon Indonesia diklaim sudah stabil, tetapi luasannya dinilai masih terlalu tinggi. Laju deforestasi merupakan salah satu penyebab penyakit zoonosis, seperti Covid-19 yang kini menjadi permasalahan serius Indonesia dan hampir seluruh negara di dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Indonesia diingatkan untuk benar-benar melindungi hutan-hutan alam tersisa serta memulihkan hutan-hutan sekunder yang telah terdegradasi. Ini bisa dilakukan bila kebijakan ekonomi tak lagi ditekankan pada investasi skala besar, eksploitatif dan rakus lahan, tetapi diperkuat dan diperluas pada pengelolaan masyarakat terhadap hutan di sekitarnya.
Beberapa hari lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merilis laporan terbaru terkait deforestasi tahun 2019. Manggala Wanabakti mengklaim tren deforestasi Indonesia relatif rendah dan stabil. Luas deforestasi neto tersebut sebesar 462.400 hektar di dalam maupun di luar kawasan hutan.
Sebagai pembanding, hasil pemantauan hutan Indonesia tahun 2018 menunjukkan bahwa deforestasi neto tahun 2017-2018 baik di dalam dan di luar kawasan hutan Indonesia sebesar 439.400 hektar, yang berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 493.300 hektar dengan dikurangi reforestasi (hasil pemantauan citra satelit) sebesar 53.900 hektar.
Menanggapi hal ini, Greenpeace Indonesia menilai angka deforestasi masih sangat tinggi. Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sabtu (25/4/2020), menunjukkan data resmi pemerintah tersebut mengakui masih terjadi degradasi pada hutan primer. Jika deforestasi neto 462.400 hektar dikurangi deforestasi di hutan sekunder sebesar 162.800 hektar, maka hasilnya sekitar 299.600 hektar.
”Target pemerintah seharusnya fokus pada nol deforestasi. Angka hampir 300.000 hektar deforestasi ini terjadi di luar hutan sekunder, artinya deforestasi masih terjadi juga di hutan primer,” katanya.
Ini menjadi ambigu karena Indonesia sejak tahun 2011 menyatakan berhenti untuk membebani hutan alam primer dan gambut dari izin-izin kehutanan melalui inpres-inpres moratorium. Bahkan, pada masa Presiden Joko Widodo, kebijakan yang awalnya bersifat dua tahunan tersebut, dipermanenkan melalui Inpres No 5 Tahun 2019.
Arie Rompas meminta Presiden tidak hanya mengeluarkan kebijakan tanpa mengevaluasi pelaksanaannya. Karena itu, ia meminta agar Istana melakukan pemantauan serta evaluasi atas kinerja bawahannya terkait tanggung jawab perlindungan hutan alam primer tersebut.
Merujuk data Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) 2020 periode I, areal seluas 66,3 juta hektar telah terlindungi, tetapi tidak secara spesifik menyebutkan berapa areal hutan yang terlindungi, baik di dalam kawasan hutan lindung, konservasi, hutan produksi dan di Areal Penggunaan Lain (APL).
Namun, berdasarkan analisis Greenpeace tahun 2019 dari total 65,9 juta hektar area moratorium, 51,3 juta hektar atau sekitar 78 persen telah dilindungi oleh regulasi. Hanya terdapat 14,6 juta hektar hutan dan lahan gambut yang benar-benar dilindungi di PIPPIB. Karena itu, dari luas total hutan 94,1 juta hektar, sekitar 30 juta hektar masih belum terlindungi dan lebih terancam deforestasi dibandingkan dengan hutan yang ada di areal PIPPIB.
”Jika hutan dieksploitasi terus-menerus, kita sebenarnya sedang menuai bencana seperti wabah penyakit zoonosis dan krisis iklim,” tutup Arie.
Menurut Cahyo Rahmadi, Kepala bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, deforestasi menyebabkan interaksi manusia dan satwa liar meningkat. Satwa liar yang secara alami menjadi rumah bagi berbagai jenis mikroorganisme pun kian dekat dengan manusia.
Mikroorganisme—termasuk virus—pun menemukan jalan bertemu dengan manusia, baik melalui inang dan atau bermutasi. Ketika hinggap ke manusia, virus tersebut berpotensi menimbulkan penyakit zoonosis.
Komitmen Indonesia
Ia pun menyinggung angka deforestasi terencana yang masih ”ditolerir” Indonesia dalam komitmen penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 325.000 hektar per tahun atau 3,25 juta hektar hingga 2030. Menurut dia, komitmen dalam kontribusi yang ditetapkan secara nasional atau nationally determined contribution (NDC) yang disampaikan sebagai implementasi Perjanjian Paris (diratifikasi Indonesia dalam UU No 6 Tahun 2016), itu bakal terlampaui jika angka deforestasi tak diturunkan secara drastis.
”Jadi, pemerintah tidak (akan) mampu memenuhi NDC, meskipun (NDC) tersebut juga tidak ambisius,” ujarnya.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 25 April 2020