Dedi Mulyadi, Pemantik Bara Tani Organik

- Editor

Selasa, 10 September 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dedi Mulyadi
Petani Organik

KOMPAS/MELATI MEWANGI (MEL)
01-09-2019

Dedi Mulyadi Petani Organik KOMPAS/MELATI MEWANGI (MEL) 01-09-2019

Semangat Dedi Mulyadi untuk memajukan pertanian organik terus membara. Berawal dari segudang masalah yang dihadapi ayahnya yang seorang petani, ia tergerak mencari solusi. Buatnya, ilmu pertanian pada masa kuliah tak cuma untuk ditelan sendiri. Ia terjun langsung menyelesaikan masalah.

Pada Sabtu (31/9/2019) pagi, raut wajah Dedi (28) dan Kalim (57), ayahnya, tampak serius saat membicarakan pertanian padi organik di teras rumahnya di Desa Pringkasap, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sorot mata keduanya seolah menyala-nyala menunjukkan tingginya hasrat mereka dalam dunia pertanian organik.

KOMPAS/MELATI MEWANGI–Dedi Mulyadi

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sejak kecil, Dedi sudah terbiasa mendengarkan cerita pengalaman sang ayah sepulang dari sawah. Tak jarang banyak masalah yang muncul dan mengusik pikirannya. ”Permasalahan yang bapak hadapi di sawah ternyata membekas di ingatan. Pertanian bukan hanya masalah tanam dan panen, tapi bagaimana membentuk sistem tata kelola agar semakin bernilai tinggi,” kata Dedi.

Permasalahan klasik yang dihadapi para petani, menurut Dedi, adalah saat panen raya tiba. Gabah kering dibeli dengan harga rendah karena produksi melimpah, sementara permintaan stabil. Padahal, biaya produksi yang dikeluarkan petani tiap tahun cenderung meningkat, tetapi hasil produksi tetap. Belum lagi ketika panen gagal akibat cuaca dan hama, petani selalu dirugikan.

Niatnya kian teguh untuk mendobrak pintu masalah itu. Bertahan pada cara lama hanya akan membuat petani kian terpuruk. Menurut Dedi, pertanian organik dapat menjadi solusi agar masa depan para petani semakin cerah.

Setelah lulus kuliah pada 2012, ia merintis Paguyuban Bumi Mandiri, sebuah wadah untuk berbagi ilmu dan pengalaman tentang pertanian organik. Bermodalkan nekat dan tekad, ia berikhtiar untuk meneruskan profesi turun temurun di keluarganya, yakni menjadi petani.

”Pertanian bukan hanya masalah tanam dan panen, tapi bagaimana membentuk sistem tata kelola agar semakin bernilai tinggi,” kata Dedi.

Dedi memulai kiprahnya dengan memperbaiki ekologi tanah sawah terlebih dulu, yakni menggunakan pupuk organik hayati kreasinya. Pupuk itu dibuat dari hasil inokulasi mikroba di laboratorium sederhana di rumahnya. Sumber mikroba yang digunakan juga berasal dari lingkungan sekitar. Ia fokus untuk mendapatkan formula terbaik pupuk itu dalam setahun.

Pada 2013, ia mencoba optimasi lahan dengan cara menguji coba pupuk organik hayati dan pupuk kandang di sawah milik ayahnya. Hasilnya menunjukkan respons positif, tanah sawah menjadi subur karena banyak organisme alami yang berkembang biak di sana, misalnya cacing tanah. Sebelum ditanami padi, detoksifikasi sawah perlu dilakukan pada lahan yang dulunya menggunakan pupuk kimia.

Semula tidak mudah mengenalkan pertanian organik kepada para petani. Sebab, kala itu pertanian organik masih belum dikenal luas di daerahnya dan dianggap rumit. Tak banyak bicara, Dedi pun menyusuri jalan sunyi untuk membuktikan bahwa pertanian organik lebih baik dan menguntungkan.

”Mereka masih berorientasi terhadap kuantitas panenan, padahal kualitas jauh lebih penting. Mengubah pola pikir itu membutuhkan proses yang panjang,” ujarnya.

Keunggulan menanam padi organik adalah biaya produksi rendah dan harga panenan relatif stabil. Pada sawah padi konvensional, biaya produksi yang dikeluarkan setidaknya Rp 10 juta per hektar untuk hasil 6-7 ton gabah kering.

Sementara padi organik hanya menghabiskan biaya produksi Rp 5 juta per hektar untuk hasil panenan sekitar 5-6 ton gabah kering. Bahkan, harga jual gabah kering padi organik bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat lebih tinggi dari harga gabah kering padi konvensional.

Pengembangannya pun tak hanya berhenti sampai pada proses panen. Ia menjajaki teknologi pascapanen dengan mengeluarkan produk beras organik bermerek Pringkasap dalam kemasan vakum. Pasokan beras organik tersebut berasal dari anggota paguyubannya yang saat ini berjumlah 58 orang. Beras organik putih dijualnya Rp 20.000 per kilogram, beras hitam Rp 35.000 per kg, dan beras merah Rp 25.000 per kg.

KOMPAS/MELATI MEWANGI–Dedi Mulyadi

Berbagi ilmu
Ia paham bahwa para petani lebih menyukai praktik langsung di lapangan daripada teori belaka. Pada tahun 2016, ia membuka Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Agrospora yang memadukan teori dengan praktik lapangan. Pelatihan diberikan tanpa dipungut biaya dan terbuka bagi siapa pun.

Dalam prosesnya, upaya Dedi kerap dipandang sebelah mata karena usianya yang muda, baru 21 tahun. Adapun gelar yang ia miliki dianggap tidak berguna karena pada akhirnya hanya mencangkul sawah. Namun, hal itu justru kian memacunya untuk tetap berinovasi dan berbagi ilmu kepada masyarakat.

”Ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Mereka butuh bukti nyata. Padahal, penerapan di lapangan tetap memerlukan teori dalam mengelola pertanian dari hulu hingga ke hilir,” ujarnya.

Berulang kali, Dedi diundang ke berbagai acara untuk memberikan pelatihan pertanian organik. Bahkan, tak sedikit pula tamu mancanegara yang mampir ke rumahnya untuk menimba ilmu dan mengajaknya bermitra.

Kiprahnya dalam dunia pertanian organik memang tak diragukan lagi. Pada awal 2019, ia terpilih sebagai National Consultant Organic Rice Production Expert dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Tak hanya itu, ia juga berhasil mengantar sang ayah menjadi petani berprestasi komoditas padi se-Indonesia dari Kementerian Pertanian tahun 2019.

”Mereka masih berorientasi terhadap kuantitas panenan, padahal kualitas jauh lebih penting. Mengubah pola pikir itu membutuhkan proses yang panjang,” ujarnya.

Dedi memiliki segudang mimpi yang belum terwujud, antara lain mengintegrasikan padi organik dengan peternakan organik dan sayuran organik di desanya. Produk samping dari panenan padi, misalnya beras patah atau menir, dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kemudian, gabahnya dapat diolah menjadi pupuk organik.

KOMPAS/MELATI MEWANGI–Dedi Mulyadi

Target Dedi adalah mengembangkan desa Pringkasap sebagai desa organik. Petani cukup mengalokasikasi satu petak sawahnya untuk dibudidayakan secara organik, hasil panen dalam satu petak tersebut untuk kebutuhan makan keluarganya sendiri.

Pendekatan itu diyakininya dapat menjadi magnet tersendiri bagi para petani agar terjun ke pertanian organik. Mereka mengolah, mempraktikkan, dan memetik keuntungannya di lapangan. ”Masalah utama pertanian organik bukan pada budidaya, tetapi pada konsistensi dan keyakinan,” kata Dedi mantap.

Dedi Mulyadi

Lahir: Subang, 29 Maret 1991

Pendidikan:
-Institut Pertanian Bogor, Program Diploma (D-3) Jurusan Teknologi Produksi dan Pengembangan Masyarakat Pertanian (2009-2011)
-SMK Negeri 2 Subang Jurusan Budidaya Tanaman Hias (2006-2009)
-SMP Negeri 2 Pabuaran Kabupaten Subang (2003-2006)
-SD Negeri Pringkasap 2 Kabupaten Subang (1997-2003)

Prestasi:
-National Consultant Organic Rice Production Expert dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) (2019)
-Juara 3 Pemuda pelopor tingkat provinsi Jawa Barat Bidang pangan (2018)
– Kelompok pelopor petani produsen padi organik/beras sehat di Kabupaten Subang (2015)

MELATI MEWANGI

Sumber: Kompas, 10 September 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB