Seiring bertambahnya usia dan posisinya yang makin menjauh dari Bumi, daya Voyager 2 mulai berkurang. Wahana milik Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat NASA yang diluncurkan pada 20 Agustus 1977 itu pada Rabu (10/7/2019) berada di ruang antarbintang pada jarak 18,126 miliar kilometer dari Matahari.
NASA/JPL-CALTECH–Konsep artis tentang wahana Voyager berlatar belakang bintang-bintang.
Posisi Voyager 2 yang sudah berada di luar pengaruh Matahari atau heliosfer itu membuatnya berhadapan dengan suhu yang sangat dingin. Pemanas yang ada pada wahana tersebut telah dimatikan oleh para insinyur NASA karena terus menyusutnya daya wahana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemanas itu dipasangkan pada piranti yang dinamakan instrumen subsistem sinar kosmik yang hingga kini masih mengirimkan data ke Bumi. Padahal, suhu di wilayah yang dijelajahi Voyager 2 saat ini bersuhu minus 59 derajat celsius.
Selain mematikan pemanas, para insinyur juga telah menyalakan pendorong lain yang lama tidak aktif pada pesawat itu.
“Masa hidup yang panjang dari wahana Voyager membuat para insinyur NASA harus berhadapan dengan skenario yang tidak pernah diduga sebelumnya,” kata Manajer Proyek Misi Voyager, Laboratorium Jet Propulsi NASA di California, AS, Suzanne Dodd seperti dikutip space.com, Selasa (9/7/2019).
Voyager 2 diluncurkan sekitar dua minggu lebih awal dibanding kembarannya Voyager 1. Dua wahana itu diluncurkan untuk bisa menjelajahi planet-planet raksasa di bagian luar Tata Surya, seperti Jupiter dan Saturnus. Namun, Voyager 2 diluncurkan lebih awal agar mampu mengejar posisi planet Uranus dan Neptunus hingga jarak perjalanan tidak terlalu jauh.
Rute berbeda
Kini Voyager 2 berada pada jarak 21,875 miliar kilometer dari Bumi. Meski sama-sama berada di ruang antarbintang, kedua wahana itu menempuh rute yang berbeda. Voyager 1 lebih dulu melintasi batas helisofer pada Agustus 2012, sedangkan Voyager 2 baru meninggalkan heliosfer pada 5 November 2018.
NASA.GOV–Posisi sejumlah wahana antariksa di ruang antarbintang.
Kedua wahana itu juga menjadi teknologi buatan manusia pertama dan satu-satunya yang melintasi heliosfer, daerah dimana pengaruh Matahari berakhir. Karena itu, dari dua wahana itulah manusia banyak mendapatkan informasi tentang tepian Tata Surya.
Saat Voyager 2 meninggalkan heliosfer akhir tahun lalu, detektor sinar kosmiknya mulai menerima partikel atom energi tinggi yang jauh lebih banyak. Partikel itu sebenarnya juga ada di heliosfer, namun konsentrasinya lebih kecil karena heliosfer berusaha menangkal sebagian partikel energi tinggi itu. Partikel energi tinggi yang lolos itu akan masuk ke Tata Surya kita.
Selain itu, detektor sinar kosmik itu juga menjadi dingin, jauh lebih dingin dibanding yang pernah diuji oleh para insinyur NASA sebelum wahana itu diluncurkan. Kondisi serupa juga pernah dialami spektrometer ultraviolet yang ada di Voyager 1 pada 2012 lalu karena mereka juga mematikan pemanasnya.
“Instrumen yang ada di Voyager terbukti kuat. Mampu bertahan dalam ujian waktu,” tambah Dodd.
Saat ini, sembilan dari 20 instrumen yang ada di Voyager masih bertahan hidup. Sejumlah instrumen terpaksa dimatikan karena menyerap daya wahana yang makin berkurang.
Sumber daya Voyager berasal dari energi nuklir. Seiring waktu, energi itu akan terus berkurang hingga kurang efisien. Kini, masing-masing dari tiga generator Voyager hanya menghasilkan daya sekitar 60 persen dibanding daya ketika wahana itu diluncurkan 42 tahun lalu. Para insinyur menyadari, daya wahana akan semakin menyusut dan menekan kinerja wahana.
Bukan hanya daya listrik Voyager yang menua, pendorong wahana yang mengarahkan agar antena wahana mengarah ke Bumi juga menjadi kurang efektif. Pola ini diamati para insinyur NASA pada Voyager 1 sejak tahun 2017. Hal serupa kini juga dihadapi Voyager 2 yang telah menghidupkan pendorong berbeda yang tidak digunakan oleh wahana itu sejak melintasi Neptunus pada 1989 lalu.
Meski terus menua, penjelajah Bumi paling jauh ini akan terus mengumpulkan informasi berharga tentang tepian Tata Surya. “Kedua wahana Voyager ini menjelajahi wilayah yang belum pernah dikunjungi sebelumnya. Karena itu, setiap hari adalah penemuan baru,” tambah ilmuwan di misi Voyager Ed Stone.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 11 Juli 2019