Data informasi kesehatan menjadi hal yang paling dicari peretas. Sebanyak 26,9 persen dari total data riset Trend Micro menunjukkan itu. Adapun informasi keuangan yang paling dikhawatirkan publik berada di posisi kelima dengan 9,2 persen.
“Data kesehatan itu paling komprehensif dan mendalam. Di dalamnya identitas lengkap, rekam jejak medis, NPWP, dan status kesehatan keluarga pasti ada semua di sana,” kata Country Manager Trend Micro Indonesia Andreas Ananto Kagawa di Jakarta dalam paparannya, pekan lalu. Trend Micro merupakan penyedia jasa keamanan internet.
Paparan itu menyebutkan, pada 2015 banyak terjadi peretasan situs, pencurian, dan pemerasan data internet di seluruh dunia. Pada 10 Februari 2015 terjadi pencurian data 80 juta data nasabah perusahaan asuransi Amerika Serikat, Anthem. Beberapa bulan kemudian, Japan Pension Service, diretas dan 1 juta data nasabahnya dicuri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Motivasi para peretas beragam, seperti memeras, mengekspresikan paham aliran, mencari tantangan, dan mempermalukan korban. “Ada yang betul-betul mencari data spesifik untuk dijual di pasar gelap daring. Kasus Ashley Madison motivasinya lain lagi,” ujar Andreas.
Ashley Madison merupakan situs daring perselingkuhan. Laman yang memungkinkan penggunanya mencari selingkuhan itu dibobol tim peretas, Impact Team. Mereka membeberkan 33 juta akun dan 36 juta e-mail.
Terungkaplah identitas asli para pengguna situs, mulai dari pengusaha, politisi, hingga pemuka agama. Tim Impact mengatakan, mereka sengaja memamerkan data itu untuk mempermalukan pengguna di muka publik.
Lepas dari persoalan jenis situs yang diakses, pengguna internet diimbau lebih berhati-hati mengungkapkan identitas dan data pribadi di internet.
Status negara maju tidak menjamin keamanan data internet warga. AS berada di peringkat pertama kasus pembobolan data internet. Menurut Andreas, sulit mencari data pasti kasus peretasan data internet di Indonesia karena warga dan korporasi tidak wajib memublikasikan jadi korban peretasan.
Pengamat telematika Institut Teknologi Bandung, Adi Indrayanto, mengatakan, warga harus memasang aplikasi atau peranti lunak untuk melindungi komputer atau telepon seluler dari pencurian data. Selain itu, rajin membuat cadangan data, bisa di perangkat keras atau komputasi awan.
Cara lain, tidak mengumbar data dan informasi penting di berbagai situs, termasuk sosial media. Selain itu, mengurangi transaksi elektronik melalui jaringan nirkabel publik. (C11)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Data Pribadi Tak Sepenuhnya Aman”.