Riset genetika pada populasi Nusantara perlu dilakukan. Hal itu karena data asam deoksiribonukleat populasi Nusantara bisa membuat penanggulangan penyakit lebih efektif.
Menurut peneliti pada Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, seusai Seminar “Genetic Diversity: Austronesian Diaspora”, di Jakarta, Rabu (11/3), respons tubuh setiap orang terhadap penyakit berbeda. Selain karena lingkungan, faktor genetika memengaruhi.
Maka dari itu, latar belakang genetika tiap populasi di Nusantara perlu diketahui. Dengan demikian, pendekatan dan penanggulangan penyakit bisa lebih tepat. “Pemetaan DNA atau epidemiologi molekuler perlu untuk manajemen penyakit,” ujarnya.
Ia mencontohkan, pemanfaatan data genetika untuk penyakit itu bisa dilakukan pada kelainan sel darah merah atau talasemia. Adapun penapisan perinatal bisa dilakukan dengan menggunakan data genetika pasangan suami-istri untuk menyaring sel pembawa sifat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selama ini data genetika kerap digunakan untuk identifikasi forensik mulai dari identifikasi korban bencana, terorisme, serta perdagangan manusia dan satwa liar. Ke depan, Lembaga Eijkman akan meneliti genetika, bagaimana respons imunitas tubuh terhadap tekanan.
Sayangnya, riset dan pemetaan DNA di Asia umumnya terbelakang. Itu karena sedikit peneliti yang tertarik atau teknologi untuk melakukan itu belum dikuasai. Untuk itu, butuh komitmen jangka panjang pemerintah dalam mendukung riset.
Herawati memaparkan temuannya dalam melacak hubungan orang Madagaskar dengan Indonesia secara genetika. Hasilnya, meski banyak kata dalam bahasa Malagasi, bahasa nasional Madagaskar, yang sama dengan bahasa suku Dayak Maányan di Kalimantan, tak ada kaitan genetika di antara kedua populasi itu.
“Justru populasi penduduk di Indonesia timur, mulai dari garis Wallace sampai timur, memiliki kedekatan genetika secara paternal dan maternal,” ujarnya.
Philippe Grange, linguis dari Universite La Rochelle, Perancis, berasumsi, tanah asal suku Bajo dari muara Sungai Barito. Lalu, mereka bermigrasi di wilayah segitiga terumbu karang mulai dari Filipina, Sulawesi, hingga ke Nusa Tenggara dan timur Jawa.
Namun, riset linguistik suku Bajo di Indonesia sedikit. Padahal, itu bisa mengungkap misteri hubungan Nusantara dengan leluhur orang Madagaskar. Karena itu, ia akan meneliti genetika suku Bajo di Kalimantan. (ADH)
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Maret 2015, di halaman 14 dengan judul “Data DNA agar Terapi Lebih Tepat”.