Minimnya alat pelindung diri dan protokol penanganan Covid-19 yang tidak jelas sangat membahayakan tenaga medis. Beberapa dokter yang menangani pasien Covid-19 turut menjadi korban.
Keterlambatan deteksi dan minimnya persiapan, termasuk keterbatasan alat pengaman, membuat banyak tenaga medis menjadi korban Covid-19. Untuk mengantisipasi terus bertambahnya pasien, terutama di daerah, pusat kesehatan masyarakat diharapkan menjadi benteng terdepan, yaitu membekali tenaga medis dengan perlengkapan keamanan memadai.
”Kematian dokter, sebagian dokter spesialis, ini merupakan pukulan berat. Di satu sisi, kami tahu ini tugas kami di garda depan, tetapi tolong bekali kami dengan perlindungan. Tidak mungkin kami menghadapi virus korona ini dengan mantel hujan. Kalau tidak ini seperti bunuh diri,” kata Tri Maharani, dokter spesialis emergensi, pengurus Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi Indonesia (Perdamsi), yang dihubungi Minggu (22/3/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tri mengatakan, selain dokter, juga telah banyak perawat yang menjadi korban. Hal ini salah satunya karena keterlambatan deteksi.
”Banyak orang datang ke rumah sakit dengan keluhan sakit panas, atau batuk, tetapi ternyata membawa korona sehingga banyak yang tertular. Jadi, rumah sakit dan tenaga medis sebelumnya memang tidak siap karena katanya korona belum ada,” katanya.
Amnesty International Indonesia, bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), telah mengeluarkan petisi untuk melindungi hak-hak para tenaga medis yang menangani Covid-19. Usman Hamid dari Amnesy Internasional Indonesia mengatakan, banyak laporan mengenai minimnya alat pelindung diri dan protokol penanganan yang ada dinilai tidak jelas, serta membahayakan tenaga medis.
Ketua Umum DPP PPNI Harif Fadhillah menyebutkan, sudah ada enam dokter dan satu perawat yang meninggal akibat Covid-19, baik karena terinfeksi langsung maupun sebab lain terkait wabah ini, dan ada puluhan lainnya yang menjadi pasien positif serta berada dalam pengawasan. ”Angka ini harus berhenti sampai di sini,” katanya.
Menurut dia, banyaknya tenaga kesehatan yang menjadi korban, baik mereka yang meninggal maupun yang berada dalam perawatan, terpapar karena APD yang tidak memadai.
”Sebagai contoh, dalam ruang isolasi pasien Covid-19, banyak orang yang terlibat. Selain dokter, perawat, ada juga petugas kebersihan. Mereka kalau sudah keluar ruangan, mau masuk lagi, harus ganti APD sehingga APD yang dibutuhkan memang banyak,” kata Harif.
Sekretaris Jenderal Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Berry Juliandi mengkhawatirkan rumah sakit saat ini justru menjadi sumber penularan Covid-19. ”Ini karena awalnya kita menyangkal adanya korona dan terlambat melakukan deteksi dini. Keterlambatan ini menjadi faktor kekacauan penanganan. Tim medis tidak disiapkan dan masyarakat datang dengan korona akan berinteraksi seperti biasa. Seharusnya dari awal ditegaskan, kalau ada gejala korona, jangan datang sendiri ke rumah sakit, tapi pasti dijemput petugas,” katanya.
AFP/ANTHONY WALLACE–Seorang penumpang yang baru tiba mengenakan gelang pelacak karantina (biru) untuk memantau kedatangan baru sebagai langkah untuk menghentikan penyebaran virus korona di bandara internasional Hong Kong pada 19 Maret 2020. Pada 18 Maret, pihak berwenang mulai meminta semua orang yang datang dari luar negeri memakai gelang elektronik sehingga terhubung ke aplikasi untuk menandai lokasi Anda.
Protokol baru
Menurut Tri, saat ini yang paling dibutuhkan adalah alat pelindung diri dan perubahan protokol penanganan pasien dengan gejala korona. ”Protokol yang ada menyebutkan, kalau ada pasien sakit demam, batuk, dan sesak napas masuk dalam rujukan. Tetapi, sekarang rumah sakit susah terima karena sudah penuh,” katanya.
Dia menambahkan, kalau semua yang sakit dengan gejala korona dibawa ke rumah sakit, hal itu tidak akan bisa tertampung. ”Kalaupun saat ini mau dibangun Wisma Atlet Kemayoran sebagai pusat perawatan, bagaimana dengan daerah-daerah? Tidak mungkin semua dibawa ke sana,” katanya.
Oleh karena itu, Sri mengusulkan agar pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) diperkuat sebagai garda depan. ”Kalau orang ada keluhan demam atau batuk, diperiksa dulu di puskesmas. Di sana dibekali tes cepat untuk korona dan kalau ada tanda positif atau gejala, baru dibawa ke rumah sakit. Kalau semua dibawa ke rumah sakit tidak akan cukup,” katanya.
Dengan menjadikan puskesmas sebagai garda depan, kata Tri, para petugas juga harus dibekali APD. ”Silakan kalau mau datangkan obat dan rapid test. Tapi, itu untuk mengobati. Jangan sampai, kami yang bekerja justru menjadi sakit juga. Semua daerah mengeluhkan kekurangan APD,” katanya.
Ketiadaan APD ini tidak hanya dialami petugas medis di rumah sakit. Bahkan, petugas laboratorium-laboraorium yang bertugas mengekstraksi dan menganalisis spesimen juga kekurangan APD, selain juga kesulitan mendapatkan viral transport material (VTM) atau alat untuk memindahkan spesimen ke laboratorium. Tanpa VTM, spesimen ini tidak bisa dibawa ke laboratorium untuk diperiksa.
”Banyak rumah sakit meminta VTM dari kami. Mereka kesulitan karena stok habis. Sekalipun kami bisa membuat sendiri, tetapi staf kami saat ini sudah terserap untuk menganalisis sampel yang terus masuk,” kata Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Supolo Sudoyo.
Berry Juliandi mengatakan, saat ini pemerintah dituntut segera memenuhi kebutuhan APD bagi para petugas medis ataupun laboran yang bekerja dengan spesimen. ”Saya mengikuti rapat di BNPB minggu lalu, memang APD sedang digenjot produksi di dalam negeri selain dari impor. Saat ini kami perkirakan kebutuhannya mencapai 40.000 unit,” katanya.
Lelitasari Danukusumo, produsen alat perlindungan pertama untuk keselamatan kerja, mengatakan, sejak Januari, saat Covid-19 merebak di China, APD mulai susah, terutama masker. Saat ini hal itu semakin susah lagi. ”Dari yang dulu harganya Rp 25.000 per boks mejadi Rp 300.000, bahkan ada yang Rp 500.000. Saya sudah mencari di pabrik ataupun distributor dan di toko juga tidak ada, padahal permintaan sangat tinggi,” katanya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 23 Maret 2020