Darno Lamane; 30 Tahun Bersama Gamalama

- Editor

Senin, 10 Agustus 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dari Pos Pemantau Gunung Gamalama di Kelurahan Sangaji Utara, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Maluku Utara, Darno Lamane (52) menengadah ke puncak. Dalam tatapan yang dalam, Darno berujar, “Itu istri saya yang kedua.” Tak berapa lama, awan tebal kembali menutup puncak gunung dengan tinggi 1.715 meter di atas permukaan laut itu, akhir Juli lalu. Darno masih menatap istri keduanya.

Momentum letusan tahun 1980 menjadi awal bagi Darno jatuh cinta pada Gunung Gamalama. Kala itu, ia masih kelas I SMA Muhammadiyah Ternate. Letusan tahun 1980 terbilang cukup besar karena selama hampir 18 tahun gunung tersebut mengumpulkan kekuatan baru. Letusan sebelumnya terjadi pada tahun 1962.

Ketika itu, sebagian besar warga meninggalkan Kota Ternate. Mereka menyingkir ke Pulau Tidore, Hiri, dan Halmahera. Hampir setiap hari terjadi banyak letusan. Abu vulkanik seolah tanpa henti menghujani semua titik di pulau seluas 111,8 kilometer persegi itu. Namun, Darno tidak mengungsi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ia diminta keluarganya untuk menjaga rumah di Ternate, rumah yang ia tumpangi sejak 1976, tahun pertama ia masuk SMP Muhammadiyah Ternate. Darno berasal dari Pulau Obi di Kabupaten Halmahera Selatan.

Selama hampir satu bulan, ia sering mengamati aktivitas gunung yang masih terus meneror Ternate itu. Saat terjadi hujan abu vulkanik, ia lari ke dalam rumah. Begitu reda, ia keluar lagi untuk menatap dan mengamati gunung yang kini menjadi bagian bersar dalam hidupnya itu. Baginya, semburan asap hitam tebal ke udara dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter disertai percikan api merupakan tontonan menarik. Meski demikian, selingan gemuruh terkadang membangunkan bulu kuduknya.

Bencana itu pula yang menarik keingintahuan Darno untuk belajar lebih banyak tentang gunung api. Pengetahuan awal tentang gunung api yang didapat di bangku sekolah memang tidak cukup menjawab rasa penasarannya itu. Ia harus belajar lebih banyak dan mengenal lebih dekat tentang gunung yang memikatnya itu.

Setelah tamat SMA tahun 1982, niatnya untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi terhalang biaya. Sambil bekerja serabutan, pamannya menyarankan Darno melamar ke Pos Pemantau Gunung Gamalama yang baru dibangun pada tahun 1981 atau setahun setelah letusan besar. Sebelumnya, tidak ada pos pemantau sehingga masyarakat setempat tidak tahu akan datangnya bahaya. Salah satu tanda yang diyakini masyarakat adalah masuknya hewan liar ke permukiman mereka. Semakin punah hewan liar, tanda-tanda bahaya itu semakin sulit didapati.

Tahun 1985, ia mendaftar dan dinyatakan lulus untuk kemudian bekerja sebagai staf di pos pemantau. Melalui sejumlah letusan, ia terus belajar mengenal gunung yang pertama kali menghancurkan diri pada 1538.

“Ciri khas Gunung Gamalama adalah bisa meletus dua jam setelah ada peningkatan aktivitas vulkanologi. Kalau gunung api yang lain, biasanya bisa lebih dari 24 jam,” ucapnya.

Lima tahun kemudian, yakni tahun 1990, Darno dipercaya menjabat Kepala Pos Pemantau Gunung Gamalama. Tanggung jawab berat itu ia pikul hingga saat ini.

Pegawai teladan
Apabila terjadi peningkatan aktivitas vulkanologi, Darno hanya punya waktu kurang dari tiga jam untuk tidur setiap hari. Itu terlihat ketika erupsi sejak Kamis (16/7) yang berlanjut dengan embusan asap terus-menerus setiap hari hingga awal Agustus.

Erupsi itu datang sehari sebelum Idul Fitri 1436 Hijriah. Setelah selesai shalat Id di masjid sekitar pos, ia langsung kembali ke pos untuk mengamati dan berjaga. Setiap enam jam, ia wajib membuat laporan tentang kondisi gunung. Ia tidur di pos.

Ketika siang hari, ia memantau kondisi visual gunung dari pos yang berjarak sekitar 6 kilometer dari puncak, sembari melihat pergerakan seismograf yang mendeteksi guncangan. Gempa menunjukkan terjadinya peningkatan aktivitas vulkanologi.

Ia tidak berani meninggalkan pos untuk urusan yang tidak penting, semisal pulang ke rumahnya meski hanya berjarak sekitar 10 kilometer. Ia meninggalkan pos hanya untuk mengikuti pertemuan dengan tim tanggap darurat guna melaporkan kondisi terakhir agar menjadi informasi dan kewaspadaan jika ada ancaman bahaya.

Kesetiaan memantau gunung bukan hanya ketika terjadi letusan. Khawatir terjadi peningkatan aktivitas tiba-tiba, ia mengurungkan niatnya untuk cuti. Ia merasa bertanggung jawab dengan keselamatan warga Ternate yang tinggal di sekitar gunung itu. Saat ini, warga Ternate berjumlah lebih kurang 230.000 jiwa.

Selama 30 tahun bekerja di pos itu, ia baru sekali mengajukan cuti, yakni pada 2014. Dari 20 hari yang diberikan, ia hanya menghabiskan 10 hari saja. “Sebenarnya saya belum mau cuti. Hanya saja ada urusan keluarga yang membutuhkan kehadiran saya,” ucapnya.

Ia bertekad tidak akan cuti lagi hingga pensiun nanti. Tanggung jawab dan kecintaannya pada profesi yang digelutinya selalu memanggil dan tidak pernah dirasakan memaksa.

Dedikasi yang tinggi memantau Gunung Gamalama mengantar ayah dua anak itu menjadi pegawai teladan pada tahun 1996. Saat itu, ia hadir menerima penghargaan langsung dari Presiden Soeharto di Jakarta. Selain itu, ada juga penghargaan Satyalencana Karya Satya selama beberapa tahun. Ia lupa menghitungnya. Penghargaan, apalagi jumlahnya, tidak menjadi perhatiannya.

Tugas menjadi pemantau gunung itu bakal berakhir paling lama empat tahun lagi ketika ia harus pensiun dari kariernya sebagai pegawai negeri sipil. Lalu, apa yang ia lakukan setelah pensiun nanti?

“Tubuh ini butuh istirahat,” jawabnya dengan senyum ramah.

83615fd9ed3649bca69476acc8c779deKOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
—-
Darno Lamaneu Tempat
Tanggal Lahir: Madapolo, Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, 28 April 1963u
Jabatan: Kepala Pos Pemantau Gunung Gamalama (1990-sekarang)
Pendidikan: SDN Madapolo (1970-1976), SMP Muhammadiyah Ternate (1976-1979), SMA Muhammadiyah Ternate (1979-1982)
Istri: Otu Abahi (42)
Anak: Alima Lamane (9) dan Ramdan Lamane (3)

FRANSISKUS PATI HERIN
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2015, di halaman 16 dengan judul “30 Tahun Bersama Gamalama”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB