Awalnya hanya untuk pakan ikan, “mariles” atau bibit kelapa sawit sembarangan itu dikembangkan jadi tanaman berkualitas. Ini cerita sukses dari Muara Manompas, Muara Batang Toru, Tapanuli Selatatan, Sumatera Utara.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Julkifli Nababan, pekebun sawit mandiri di Muara Manompas, Kecamatan Muara Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Selasa (4/2/2020), menunjukkan buah sawit yang dipetik di kebunnya. Petani setempat mendapatkan bimbingan dan penyuluhan untuk meningkatkan produktivitas sawitnya dengan praktik-praktik perkebunan berkelanjutan dari program Good Growth Partnership yang dikerjakan Conservation International Indonesia.
Kata “mariles” bagi pekebun sawit di Sumatera Utara adalah kata pelesetan yang berasal dari kata “Marihat” dan “Lelesan.” “Marihat” merupakan jenis bibit unggul kelapa sawit dan “lelesan” memiliki arti seadanya atau hasil dari memungut di sembarang tempat. Kira-kira artinya adalah bibit sawit seadanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Julhadi Siregar, Ketua Gabungan Kelompok Tani Sawit Maju Bersama di Muara Manompas, saat ditemui awal Februari 2020 lalu, mengatakan awalnya biji sawit masuk ke daerah itu karena dikenalkan oleh orang Riau. Saat itu, daerah Muara Manompas masih berganti-ganti jenis tanaman dari padi hingga buah-buahan.
Namun, sawit yang diperkenalkan tersebut bukan tujuan untuk diambil minyaknya. “Mereka (orang Riau) itu kasih tahu kalau biji sawit bagus buat umpan lele,” katanya . Tips ini ketika dipraktikannya bener-benar menghasilkan. Biji sawit yang ditaruh di dalam bubu (jebakan ikan) dipenuhi dengan ikan lele.
Karena itu, warga menanam sawit di daerah tersebut untuk dimanfaatkan sebagai umpan ikan. Seiring waktu, sawit menjadi booming dan warga secara beramai-ramai mengganti komoditas tanamannya dengan buah asal Afrika ini. Bibit didapatkan dari buah sawit di berbagai sumber yang dibenihkan secara mandiri.
Tanpa pengetahuan awal terkait budidaya sawit, warga menggunakan metode try and error untuk merawat kebunnya. Euforia sawit ini pun terus berkembang hingga membuat petani setempat mengganti tanaman jeruk manis, padi, dan pisang sibarangan. Ini seiring berdirinya pabrik kelapa sawit yang menerima setoran bagi sawit-sawit rakyat.
Tanpa pengetahuan akan budidaya sawit, Julkifli Nababan, petani sawit setempat mengatakan melakukan pemupukan bila memiliki uang. “Kalau pas ada uang banyak, kami sebar pupuk sebanyak-banyaknya. Kalau tidak ada uang, tidak kami pupuk,” kata dia.
Tak heran, hasil petani sangat rendah, hanya sekitar 10 ton tandan buah segar per hektar per tahun. Idealnya, angka ini masih bisa ditingkatkan dua kali lipatnya bila menggunakan benih unggul disertai perawatan yang benar dan tepat.
Dengan ketelanjuran bibit yang tidak berkualitas, maka petani setempat yang terkendala modal untuk melakukan peremajaan atau penggantian bibit, peningkatan produktivitas bisa dilakukan dengan cara perbaikan cara pemeliharaan. Cara-cara ini yang didapatkan sebagian pekebun di Muara Manompas sejak mengikuti sekolah lapang yang diselenggarakan Pemkab Tapanuli Selatan bersama CI Indonesia dalam program Good Growth Partnership (GGP).
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Petani di Muara Manompas, Kecamatan Muara Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara menanam tanaman semak berupa bunga pukul delapan ini sebagai teknik alami mengendalikan ulat. Serangga hama akan menyerang tanaman ini sehingga mengurangi tekanan pada tanaman sawit. Tampak pada 4 Februari 2020 di sela-sela kebun warga di Muara Manompas.
Sekolah lapang
Sekolah lapang yang diselenggarakan sejak tahun 2018 tersebut mengajarkan petani untuk mempraktikkan pengelolaan kebun secara tepat dan ramah lingkungan. Ini mengubah kebiasaan pekebun mandiri setempat.
“Saya dulu semprot herbisida pakai pompa door smeer (pompa pencuci mobil), guyur saja. Semua (rumput, ilalang) bersih dan saya tidak pikir kehidupan penting yang ada di tanah,” kata Julkifli Nababan, pekebun mandiri. Dari semula 9 liter herbisida, ia kini hanya menggunakan 3 liter.
Contoh lain, ia kini mengubah kebiasaan menaruh tangkai tanaman kering berserakan, menjadi teratur atau di antara dua batang sawit. Tujuannya agar tidak menjadi sarang tikus yang merusak batang serta menjaga kelembaban tanah agar tidak kering di saat kemarau.
Petani setempat juga menggunakan teknik ramah lingkungan untuk mengendalikan kumbang tanduk dan ulat. Caranya, untuk penanganan ulat, mereka menanam bunga pukul delapan agar ulat “menyerang” tanaman ini, bukan menyerang tanaman sawit. Kumbang tanduk dikendalikan dengan menggunakan jebakan dengan umpan berupa feromon.
Untuk pengendalian tikus, mereka sempat menggunakan predator alami burung hantu. Namun saat Kompas melongok ke “rumah” burung hantu, tidak ada lagi penghuninya. Julkifli mengatakan, penggunaan burung hantu ini kontradiktif dengan warga setempat yang memelihara burung walet di sekitarnya. Ini karena burung hantu juga memburu walet itu.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Petugas menyortir buah sawit berkualitas baik dari buah sawit berkualitas buruk yang dikirim pemasok ke pabrik kelapa sawit PTPN III Hapesong, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 4 Februari 2020. Tapanuli Selatan. Kualitas buah sawit yang baik menjadikan pengolahan lebih efisien.
Produktivitas meningkat
Hasilnya, menurut evaluasi kegiatan sekolah lapang petani sawit, rata-rata peningkatan produktivitas sebesar 3 persen. Bila dibandingkan kebun demplot dengan penerapan praktik yang ideal, rata-rata peningkatannya bisa mencapai 57 persen.
“Dulu hasilnya sering buah landak (tidak berisi dan berupa duri-duri),” kata dia. Buah landak ini meski bisa lolos dari toke, tapi akan tersaring pada saat memasuki pabrik. Seperti di PT Perkebunan Nusantara 3 Hapesong di Tapanuli Selatan, buah sawit yang dikirimkan oleh mobil-mobil boks dan truk dihampar untuk disortir antara buah yang baik dan buruk (busuk, “landak”, maupun kempes).
“Kerjasama dengan pemasok kami lakukan tiga bulan lalu dievaluasi kuantitas dan kualitas,” kata Monika Manurung, Masinis Kepala PTPN 3 Hapesong. Ini kudu dilakukan pabrik karena buah-buah berkualitas buruk tersebut hanya akan menjadi pengotor dalam proses pengolahan tanpa menghasilkan minyak nabati.
PN 3 Hapesong ini mengaku masih membutuhkan pasokan sawit berkualitas dari petani. Pasalnya, perusahaan milik pemerintah tersebut sejumlah lebih dari 85 persen pasokannya didapat dari petani atau di luar kebun perusahaan. Hingga kini kapasitas pabrik sebanyak 30 metrik ton per jam belum bisa maksimal.“Kami bersaing dengan mills (pabrik kelapa sawit) di sekitar sini,” kata dia sambil menyebut dua perusahaan sawit lainnya di daerah tersebut.
Menurut Field Program Manager Conservation International Indonesia Isner Manalu, kebutuhan pasokan kelapa sawit ini bisa didapatkan melalui intensifikasi perkebunan mandiri masyarakat, bukan melalui ekstensifikasi yang bisa mengancam hutan-hutan tersisa setempat. Karenanya, kini program GGP yang dijalankan CI Indonesia, memberikan penyuluhan kepada 760 petani sejak dua tahun terakhir melalui sekolah lapang.
Tak cukup sekadar meningkatkan kualitas sawitnya, pekebun mandiri didorong untuk memenuhi sejumlah regulasi pemerintah seperti legalisasi demi memenuhi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Mulai dari status kepemilikan lahan hingga praktik-praktik berkelanjutan menjadi pekerjaan rumah yang kini masih menjadi tantangan pekebun mandiri, seperti di Muara Manompas.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 19 Februari 2020