Semula, terapi hiperbarik atau pemberian oksigen kadar tinggi dipakai untuk mengatasi penyakit dekompresi pada penyelam. Seiring kemajuan riset, terapi itu juga jadi pendukung pengobatan beragam penyakit akibat kerusakan jaringan serta meningkatkan kebugaran dan stamina tubuh.
Penyelaman di Raja Ampat, Papua, pada 2014 dikenang Susanto (34), warga Tangerang Selatan, Banten. Sepekan setelah penyelaman, pusing yang dialaminya tak kunjung hilang. Khawatir kena dekompresi, ia memeriksakan diri ke Rumah Sakit TNI Angkatan Laut dr Mintohardjo, Jakarta.
Menurut dokter, ia harus diterapi hiperbarik dengan menghirup oksigen murni di ruang udara bertekanan tinggi (RUBT) atau hyperbaric chamber. “Hanya sekali terapi lebih dari dua jam, pusing hilang, tubuh terasa ringan dan segar,” katanya. Senin (14/3), empat orang tewas dalam ruang terapi di RSAL Mintohardjo itu, diduga akibat korsleting listrik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dekompresi akibat penyelaman ialah terjebaknya nitrogen di jaringan tubuh akibat tekanan lingkungan turun mendadak. Itu biasa terjadi pada penyelam tradisional tanpa alat selam standar. Akibatnya, nitrogen yang keluar pembuluh darah dan beredar di tubuh saat menyelam belum masuk lagi ke pembuluh darah.
Berkurangnya tekanan di permukaan air membuat gelembung nitrogen membesar dan menekan jaringan tubuh. Akibatnya, organ rusak dan memicu gangguan di tubuh. Gejala yang muncul akibat dekompresi beragam, di antaranya pusing, mual, muntah, kesemutan, sesak napas, emboli atau penyumbatan pembuluh darah, kelumpuhan, stroke, bahkan kematian.
KK Jain, dalam Textbook of Hyperbaric Medicine, 2009, menyebut terapi hiperbarik bagi pasien dekompresi dilakukan sejak 1937 oleh Behnke dan Shaw. “Belum banyak penyelam tradisional, seperti di Pulau Bara Lompo (Sulsel) dan Kepulauan Aru (Maluku), memanfaatkan layanan hiperbarik,” kata Sekretaris II Ikatan Dokter Hiperbarik Indonesia Erick Supondha, Rabu, di Jakarta.
Selain itu, hiperbarik jadi terapi utama mengatasi keracunan karbon monoksida dan karbon dioksida serta emboli.
Efek pemberian oksigen kadar tinggi itu mempercepat perbaikan jaringan dan organ tubuh, membuat pemanfaatannya meluas. Terapi itu juga untuk membantu mempercepat penyembuhan luka gangren pada pasien diabetes melitus, mengatasi luka bakar, mempercepat tumbuhnya jaringan saat transplantasi, hingga kasus stroke. Itu juga membantu penyerapan obat lebih baik dan proses radioterapi kanker.
MANFAAT TERAPI HIPERBARIK:
- Mengatasi penyakit dekompresi.
- Mengatasi keracunan karbon monoksida dan karbon dioksida.
- Mempercepat penyembuhan luka pada penderita diabetes.
- Membantu mengatasi luka bakar.
- Mempercepat tumbuhnya jaringan dalam proses transplantasi.
- Membantu penyerapan obat dan proses radioterapi kanker.
Meningkatkan kebugaran. - Membentuk antioksi dan.
Prosedur terapi hiperbarik
- Menjalani pemeriksaan: – Foto rontgen dada; – Kadar oksigen dalam jaringan; – Pengecekan kondisi gendang telinga.
- Memastikan tidak ada trauma.
- Meninggalkan semua benda yang mengandung logam dan mudah terbakar.
SUMBER: DIOLAH DARI PENJELASAN SEKRETARIS II IKATAN DOKTER HIPERBARIK INDONESIA, ERICK SUPONDHA
“Namun, terapi hiperbarik adalah terapi pendamping. Jadi, terapi utama mengatasi penyakit harus tetap dilakukan,” ucapnya. Hiperbarik bisa dilakukan selama jaringan rusak yang disasar belum mati.
Tono (50), warga Cimanggis, Depok, sudah 16 kali menjalani terapi hiperbarik karena punya penyakit kencing manis. Hasilnya, setiap selesai terapi, ia bisa tidur nyenyak dan jadi lebih bugar. “Kaki pun tak lagi kesemutan,” katanya.
Kini, terapi hiperbarik berkembang luas untuk menghilangkan kelelahan serta meningkatkan kebugaran dan stamina tubuh. Oksigen murni memicu pembentukan antioksidan alami dalam tubuh. Bahkan, atlet di sejumlah negara memanfaatkan terapi itu sebelum bertanding.
“Terapi hiperbarik meminimalkan pembentukan laktat di tubuh yang memicu pegal. Karena pegal berkurang dan peredaran darah lancar, tubuh jadi bugar,” kata Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan Tri Hesty Widyastoeti Marwotosoeko.
Proses
Untuk menjalani terapi di RUBT, pasien harus menjalani pemeriksaan, antara lain foto rontgen dada, pemeriksaan kadar oksigen di jaringan atau transcutaneous oxygen pressure (TcPO2), pengecekan gendang telinga, dan memastikan tak ada trauma tubuh. Pengulangan terapi tergantung kondisi pasien. “Terapi hiperbarik bersifat individual,” kata Erick.
Sebelum masuk RUBT, pasien harus meninggalkan benda berbahan logam, barang elektronik, bahan mudah terbakar, balsam, hingga sepatu. Itu untuk mencegah gesekan material mengandung besi di ruang tekanan tinggi karena bisa memicu api.
Oksigen murni diberikan kepada pasien dalam dua cara, tergantung model RUBT. Pada model RUBT tunggal (monoplace) yang hanya memuat satu orang, oksigen dimasukkan ke semua tabung dan pasien menghirupnya sambil berbaring. Sementara pada RUBT berdaya tampung banyak orang (multiplace), oksigen diberikan melalui masker khusus untuk bernapas dan udara di tabung sama, seperti udara di luar tabung, hanya tekanannya berbeda.
Pemberian oksigen itu akan meningkatkan kadar oksigen dalam plasma darah dari 0,3 sentimeter kubik (cc) per 100 cc plasma menjadi 4,4-6,8 cc per 100 cc plasma darah.
Saat terapi, petugas di luar RUBT selalu mengabarkan peningkatan tekanan ruangan. Pasien selalu diminta menginformasikan jika tak nyaman saat terapi. Karena lama terapi 3 x 30 menit, keluhan umumnya adalah bosan. Namun, kini banyak RUBT dilengkapi perangkat hiburan dan pendingin ruangan demi kenyamanan pasien.
Keamanan
Keputusan Menkes Nomor 120 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Medik Hiperbarik mengelompokkan hiperbarik sebagai terapi komplementer-alternatif. Data Kemenkes, kini ada sembilan rumah sakit di DKI Jakarta dan Tangerang yang menyediakan layanan terapi hiperbarik. Layanan juga tersebar di 12 daerah mulai dari Sabang, Aceh, hingga Sorong, Papua Barat.
Menurut Erick, RUBT di Indonesia mesti mendapat sertifikasi dari American Society of Mechanical Engineers dan Kementerian Tenaga Kerja tentang bejana bertekanan tinggi.
Namun, terapi hiperbarik punya efek samping, di antaranya dekompresi. Saat jeda menghirup oksigen murni, nitrogen di udara dalam RUBT bisa terhirup sehingga terjadi dekompresi. Dampak lain, trauma akibat tekanan saat udara terjebak di tubuh memicu nyeri hebat. Efek lain, keracunan oksigen akibat menghirup oksigen murni berlebih hingga mual, pusing, kejang, dan kadar gula darah turun. “Efek samping itu terkontrol, mudah diantisipasi,” ujarnya.
Hesty berharap RS penyedia layanan terapi hiperbarik mematuhi prosedur standar demi meminimalkan risiko. (EVY)–M ZAID WAHYUDI
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Dari Dekompresi sampai Kebugaran”.