Banyak peneliti di perguruan tinggi yang enggan melakukan penelitian karena persoalan administrasinya rumit dan jika keliru bisa berdampak hukum. Akibatnya, dana penelitian banyak yang tak terserap.
Persoalan tersebut mengemuka dalam lokakarya ”Penguatan Kapasitas Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) di Perguruan Tinggi”. Acara yang diikuti peneliti dan pimpinan LPPM dari 24 perguruan tinggi negeri dan swasta ini diselenggarakan USAID/Higher Education Leadership Management (HELM) di Jakarta, Kamis (17/10).
”Penelitian bukan dilihat dari output-nya, tetapi banyak direpotkan urusan administratif, serba harus berkuitansi. Karena tak mau repot, banyak peneliti yang malas memanfaatkan dana penelitian,” kata Entis Halimi, Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Sriwijaya.
Menurut Entis, sekitar Rp 50 miliar dana untuk kerja sama dan penelitian tidak termanfaatkan. Hal ini lebih karena ada kekhawatiran salah dalam penggunaan yang nanti bisa berimplikasi terjerat kasus hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sudirman dari Universitas Hasanuddin (Unhas) mengatakan, banyak peneliti senior yang mundur untuk penelitian karena rumitnya administrasi pelaporan. Apalagi perguruan tinggi ”dipaksa” segera menghabiskan dana, padahal ada keterlambatan pengucuran dana APBN.
”Unhas sebenarnya dapat anggaran dalam perubahan APBN, September-Oktober lalu. Dananya akan keluar November, tetapi harus sudah selesai Desember. Kami tidak mau menerima. Lebih baik menolak daripada berisiko hukum,” kata Sudirman.
Iskandar Z Siregar, Direktur Riset dan Inovasi Institut Pertanian Bogor, mengatakan, jika belenggu birokrasi dalam penelitian di PT tidak ada terobosan, Indonesia akan terus tertinggal dari negara lain. Inovasi semakin sulit untuk bermunculan.
Abdul Azis, Kepala Subdirektorat I Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), mengatakan, memang ada kerepotan dengan penelitian berbasis pendapatan negara bukan pajak. Namun, peneliti tetap harus patuh karena yang digunakan standar biaya umum. ”Seharusnya untuk penelitian mengacu pada standar biaya khusus. Sebab, penelitian itu kegiatan yang khas. Variasi lapangannya banyak,” ujarnya.
Secara terpisah, Himpunan Peneliti Indonesia (Himpenindo) dideklarasikan dalam Kongres I di Jakarta, Kamis. Kongres diikuti sekitar 350 peneliti dari berbagai institusi riset. Salah satu tujuannya untuk mengatasi kesenjangan antara hasil penelitian dan kebijakan. (ELN/NAW)
Sumber: Kompas, 18 Oktober 2013