Tulisan cat semprot merah ”Cla-X”, ”Indonesia”, dan ”Rudal” pada batuan di Gunung Fuji, Jepang, meramaikan jagat media, utamanya media sosial. Vandalisme di gunung yang begitu dihormati masyarakat Jepang itu melukai perasaan tidak hanya masyarakat ”Negeri Matahari Terbit”, tetapi juga sebagian masyarakat Indonesia.
Pemusik Jepang yang mahir memainkan gamelan Jawa, Noriko Cecillia Sasaki, memajang berita plus foto coretan itu di laman Facebook-nya dengan komentar singkat: ”menyedihkan”.
Ketika beberapa kawan dari Indonesia menyampaikan rasa malu dan berucap maaf, Noriko berkata, ”Belum tentu pelakunya orang Indonesia walaupun tulisannya ’Indonesia’. Koran mana pun (di Jepang) tidak menulis pelakunya orang Indonesia. Saya harap kasus ini cepat diselesaikan dan tak diulangi.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pelaku pencoretan di tiga lokasi di Gunung Fuji itu memang belum dipastikan dari Indonesia. Saud Ringo, anggota staf Divisi Sosial Budaya dan Informasi KBRI Tokyo, mengatakan, kedutaan telah menghubungi Kosaka Ishio, koordinator Gunung Fuji, untuk mengetahui duduk soalnya. Disebutkan, coretan pada batu di Gunung Fuji yang dianggap suci masyarakat Jepang itu memang ada, seperti ramai diberitakan. Di Jepang, diberitakan di Fuji TV dan FNN-News.com, Jumat (8/8).
Namun, menurut Kosaka Ishio, pihaknya belum punya bukti pelakunya warga negara Indonesia (WNI). ”Perlu sedikit waktu,” ujar dia.
Sekalipun belum pasti pelakunya, Meta Sekar Puji Astuti, dosen Jurusan Sastra Jepang Universitas Hasanuddin, Makassar, mahasiswa program doktoral di Keio University, tak kaget apabila vandalisme itu dilakukan orang Indonesia.
Menurut Meta, tulisan itu telah ditemukan patroli polisi Gunung Fuji, 31 Juli 2014, di beberapa batuan di jalur pendakian. ”Rasanya terlalu naif untuk tidak menuduh bukan orang Indonesia pelakunya, sekalipun sampai sekarang belum diketahui persis siapa dia,” tutur dia.
Saat ke Jabal Rahmah, Arafah, Mekkah, tahun lalu, Meta menemukan banyak coretan berbahasa Indonesia dan Melayu, selain aksara Arab di batuan di gunung yang disucikan umat Muslim itu. ”Saya juga menyaksikan perempuan jamaah Indonesia menulis dengan spidol besar di batu tanpa rasa bersalah. Menyedihkan,” ungkap dia.
Penggunaan kata ”Cla-X” kerap dipakai anak gaul untuk menyebut Kota Klaten di Jawa Tengah. Bahkan, di Facebook ada ”Komunitas Cla-X (Klaten)”.
Seorang WNI, yang tinggal di Shizuoka, Jepang, di profil Facebook-nya ada juga yang mencantumkan kata Cla-X sebagai nama keduanya, berlatar belakang foto puncak Gunung Lawu. Beberapa foto di laman jejaring sosialnya juga menunjukkan foto dirinya di Gunung Fuji.
Namun, saat dikonfirmasi soal heboh vandalisme di Fuji melalui pesan di Facebooknya, yang bersangkutan diam. Tak lama, tulisan Cla-X di profil Facebooknya menghilang, diganti kata Klaten.
Pada jejaring sosial Facebook dan Twitter, sikap masyarakat Indonesia terbelah. Sebagian besar menghujat, tetapi ada juga yang mendukung. Gentur Wicaksana, pengguna akun @dukalara di Twitter berujar, ”Sebagai Klaten Youth kubangga dengan grafiti Cla-X Indonesia di Gunung Fuji.”
Perilaku sosial
Vandalisme pada bentang alam, terutama gunung-gunung di Indonesia, lazim dijumpai. Hampir semua jalur pendakian hingga puncak gunung tak lepas dari coretan tangan-tangan jahil. Vandalisme kadang berupa torehan pisau di batu atau pohon.
Selain membuang sampah sembarangan, vandalisme juga merupakan potret buruk perilaku sebagian pendaki di Indonesia. Saat mendaki Merapi, Juni 2014, kami membawa turun sekarung sampah plastik, botol, kertas, hingga kain bekas yang berceceran di sekitar Pasar Bubrah pada ketinggian 2.500 meter.
Kian bermasalah ketika coretan ”Indonesia” dan ”Cla-X” eksis di Fuji, gunung yang dihormati masyarakat Jepang. Menurut Meta Sekar, setiap tahun Kaisar Jepang menjamu tamu penting dari negara asing menggunakan air kemasan dari mata air di Gunung Fuji. ”Di catatan kuno Jepang, Gunung Fuji satu dari ’Kami’ atau Dewa dalam kosmologi Jepang,” kata dia mengutip Byron Earhart, profesor emeritus Japanese religion dari Western Michigan University. (AHMAD ARIF)
Sumber: Kompas, 10 Agustus 2014