Civitas Academica

- Editor

Jumat, 23 Juni 2000

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Seandainya kita berkeinginan menciptakan Civitas Academica yang sejati lewat “Penataan diri” dalam kata dan perbuatan sebagai insan akademis, maka perlu dahulu mengerti sebab apa kita merupakan suatu Civitas Academica atau mengapa kita merasa terpanggil menjadi insan akademik. Kedua pertanyaan itu dapat dirangkum menjadi satu, “Untuk apa sebuah universitas didirikan?” Hemat saya jawaban yang paling mendasar berbanyi, Universitas didirikan untuk menjadikan manusia lebih manusia.

Kalau sebuah Universitas didirikan hanya untuk mempersiapkan mahasiswa mencari pekerjaan maka perguruan tinggi tersebut bukan universitas karena tidak mungkin “mendewasakan orang pribadi sebagai manusia dan warga negara”, karena tidak pernah akan sempat memperhatikan nilai-nilai yang menentukan bobot seorang manusia dan seorang warga negara. Cita-cita ini sungguh-sungguh dikejar oleh orang Arab, Parsi, dan Europa pada mass abad pertengahan dan renaisans. Perlu dicatat bahwa. baik di Europa maupun di Timur Tengah segala kegiatan studi dimulai oleh orang agama. Sekolah?sekolah katedral, biara, dan madrasah.

Pada zaman sekarang universitas dituduh menjadi sekolah kejuruan. Hal ini disadari maka ada usaha kembali ke universitas sebagai pusat humaniora. Antara lain dengan studium generale atau kuliah-kuliah dasar. Akan tetapi menjuruskan sebuah universitas kepada tujuan pragmatis kemudian menutupi penyimpangan dari kodrat hakiki universitas dengan studium generale adalah tindakan tidak jujur. Sebab apa? Oleh karena para mahasiswa diberi kesan seakan-akan mereka dimanusiakan oleh mata-mata kuliah dasar itu, padahal bagi mereka semua mata kuliah dasar merupakan beban melulu. Hanya bahan hafalan untuk langsung terlupakan. Kita harus berani jujur. Atau kita mendirikan universitas sebagat lingkungan hidup bernalar untuk memanusiakan manusia. sesuai dengan citra manusia masa kini dan dengan demikian membentuk para mahasiswa menjadi anusia intelektual yang mampu dan sauggup menjadi manusia demi manusia lain dalam lingkup, profesi masing-masing. Atau kita membuka lembaga-lembaga yang membentuk manusia terampil untuk kebutuhan-kebutuhan yang timbul dalam masyarakat yang pragmatis. Dua-duanya sekaligus, mustahil.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam bukunya “The Idea of a University”, John Henry Newman menunjukkan bahwa nama “universitas” menonjolkan kenyataan bahwa sebuah universitas bukan tempat perkumpulan kuantitatif pengetahuan atau suatu konglomerat fakultas dan institut. Dalam sebuah universitas setiap ilmu pengetahuan tidak mampu hanya sendiri menjelaskan kepurnaan ciptaan. Jadi sebuah universitas baru boleh disebut sebuah universitas (semesta alam pada skala kecil) kalau dilaksanakan suatu integrasi kualitatif dari penelitian-penelitian yang dapat mengantar manusia kepada menghargai kebenaran yang lebih komprehensif. Betapa jauh “ide” Newman ini dari yang kita dirikan. Universitas kita sekarang ini tak lain tak bukan sebuah pranata administratif yang memayungi sejumlah disiplin yang tidak ada hubungan satu dengan yang lain. Kenyataan ini tidak hanya ada di Indonesia. Gejala bahwa sebuah universitas, ialah keanekaan dalam kesatuan, telah berubah menjadi multiversitas, ialah keanekaan dalam keterserakan, sudah menjadi ciri banyak universitas di segala penjuru dunia.

Satu-satunya jalan untuk menjadikan sebuah universitas tetap sebuah universitas adalah mengubah staf guru besar dan lektor dari instruktur-instruktur yang menanamkan keterampilan tertentu kembali menjadi ilmuwan yang sejati. Karena hanya ilmuwan sejati mampu membimbing dan membina manusia muda menjadi seorang intelektual sejati. Lewat bidang studi atau disiplin mana pun seorang ilmuwan dapat memanusiskan manusia lain. Seorang ilmuwan sejati tidak sanggup bahkan menolak membentuk sarjana diktat, sarjana hafalan, sarjana robot. Apabila seorang sarjana waktu meninggalkan bangku kuliah belum mempunyai wawasan hidup yang ditunjang oleh sikap ilmiah dewasa dan kepribadian mandiri, universitas yang bersangkutan telah gagal dalam menunaikon tugasnya. Karena seorang sarjana yang mau masuk dunia nyata padahal tidak mempunyai wawasan hidup tidak dapat berfungsi sebagai seorang intelektual, paling-paling sebagai seorang teknikus yang sempit. Seorang arsitek yang pandai membuat gambar-gambar sampai yang paling terinci namun tidak dapat menilai dampak pada lingkungan, dampak sosiologis, estesis, etis, dsb., Ia bukan seorang intelektual melainkan seorang teknikus yang amat terampil.

Mungkin ada yang heran kalau saya katakan bahwa hanya mereka yang dapat menempuh jalan hidup yang rupa-rupanya menyimpang dari disiplin yang mereka pelajari waktu di universitas merupakan seorang intelektual yang harus dibentuk oleh sebuah universitas. Saya tidak berkata yang menyimpang, tetapi yang dapat menyimpang. Memang kebanyakan akan tetap bekerja pada bidang studi mereka. Akan tetapi mereka pada dasarnya mampu pada bidang lain. Justru karena mereka intelektual sejati mereka dapat berfungsi di tempat mana pun yang membutuhkan “kemanusiaan” mereka. Kemanusisan yang dibentuk di dalam dan oleh civitas academica sebuah universitas.

Namun ini semua khayalan belaka kalau kedua pelaku pokok ialah para dosen dan para mahasiswa tidak memiliki potensi menjadi insan akademis. Dalam bahasan ini akan saya bicarakan mahasiswa.

Seorang pemuda atau pemudi memiliki potensi menjadi insan akademis, kalau lewat proses pembelajaran di sekolah menengah selama minimal 6 tahun telah beroleh “Hochschulreife”, ialah kematangan intelektual dan emosional masuk universitas.

Bisa diadakan berpuluh-puluh seminar, namun semua percuma selama masalah pokok, masalah dasar tidak ditangani. Kalau lulusan P.T. tidak bermutu, tidak mendapat pekerjaan, maka , sesuai dengan kebudayaan kita, dicari kambing hitam: sistem P.T. jelek, kurikulum tidak sesuai dengan kebutuhan (apa?), dosen-dosen tidak bermutu dsb. Tidak pernah ada yang mau mengaku bahwa dialah kambing itu!

Walau staf dosen semus doktor dan amat pandai memberikan kuliah, perpustakaan lengkap, laboratorium amat canggih, selama mayoritas besar mahasiswa tidak mampu dan tidak siap menempuh studi di universitas, lulusan kebanyakan universitas kita tidak akan memenuhi tuntutan masyarakat abad ke-21.

Mereka tidak memiliki potensi belajar untuk menempuh studi di universitas. Kenyataan ini, yang tidak mau diterima oleh kebanyakan orang kita, sudah bertahun-tahun terbukti oleh hasil UMPTN. Yang lulus UMPTN hanya 10%. Yang lain diluluskan karena ada tempat Dan yang lulus diterima di ITB, IPB, UI, UGM dan beberapa universitas lain yang baik. Maka nilai rata?rata dari mereka yang diterima di ITB 7,7, di UI 7,8. Yang sebetulnya tidak lulus tetap diterima terutama di PTN luar Jawa. Maka nilai rata-rata dari yang diterima di salah satu PTN itu 4,9. Penerimaan dari mereka yang sebetulnya tidak mempunyai kemampuan intelektual untuk studi universitas mengakibatkan bahwa secara nasional yang gugur untuk PTN: 85% dan PTS: 91%.

Herankah kita bahwa lulusan universitas luar negeri lebih baik?. Di luar negeri tidak ada UMPTN. Yang lulus VWO, Gymnasium atau A-level, dan mereka l.k. 30% dari para pelajar sekolah menengah, berhak diterima di universitas. Namun ketiga sekolah itu ada SMU Unggul. Jadi semua pelajar yang kemampuan intelektual tinggi. Ini sama dengan lulusan SMU Unggul kita. Pengalaman di Jakarta membuktikan hal itu dengan hasil EBTANAS 1997. NEM rata-rata program (IPA): 8,06, NEM rata-rata program C (IPS): 7,9. Untuk SMU non?unggul untuk A: 5,12, untuk IPS: 5,60. Jadi semua lulusan SMU Unggul bisa langsung diterima di universitas, tanpa UMPTN.

Jadi jelas bahwa persiapan para siswa untuk masuk universitas ternyata hanya terjadi di SMU Unggul. Yang menerima pelajar dengan NEM SLTP 45 keatas (7,5) yang merupakan lulusan dari SLTP umum yang termasuk yang paling baik.

Jadi Depdikbud ternyata menciptakan sekolah-sekolah seperti Gymnasium, VWO, dan A?Level dengan membiarkan, dan mendorong munculnya SMU Unggul dan SLTP Unggul. Lulusan sekolah-sekolah ini yang sungguh-sungguh mampu mengikuti kurikulum 1994 yang berat sekali, siap menjadi mahasiswa yang pandai. Celakanya bahwa sistem siluman ini mengorbankan 70% dari pelajar kita yang seperti di luar negeri membutuhkan SLTP keterampilan dan SMU yang kurikulumnya diperingan. Memang mereka tidak bisa ke universitas, akan tetapi bisa ke Sekolah Tinggi, Akademi dan Politeknik.

Akan tetapi tidak hanya keadaan sekolah menengah kacau-balau, sistem Pengajaran Tinggi pun dikacaubalaukan. Dalam pola Europa dimasukkan sistem. Amerika. Salah satu. yang amat merugikan lulusan kita ialah bahwa lulusan universitas kita sebetulnya belum boleh disebut profesional. Sistem Amerika ialah college berlangsung selama 4 tahun, dan lulusan mendapat gelar BA, namun belum profesional, masih pembentukan cukup umum. Untuk menjadi profesional mereka harus mencapal gelar magister di universitas. Dokter, Insiyur, Ahli hukum, Fisikawan dstr.

Di Indonesia stratum 1 memakai sistem Amerika dengan waktu kuliah empat tahun dan gelar sarjana. Sarjana ekonomi, sarjana kedokteran, sarjana psikologi. Yang terakhir ini karena masih menganut pola Europa. Tetapi di pola Europa, yang ber1angsung selama enam. tahun gelarnya M.A, M.Sc? Diplom, Dokterandus, dsb. Jadi semua profesional. Jadi sarjana kita sebetulnya BA ekonomi, BA teknik, BA bahasa, BA pendidikan. Akan tetapi di seluruh dunia tidak ada seorang BA yang boleh menyebut diri profesional. Ini berarti bahwa bagi universitas kita, kalau tetap berpegang pada pola Europa, harus menghapus stratum 1 dan baru boleh meluluskan para mahasiswa kalau sudah mencapai gelar magister. Atau meninggalkan pola Europa dan seperti Filipina memakai pola Amerika. Semua strata 1 menjadi College. Organisasi dan stratum tidak perlu diubah karena sudah seperti di Amerika. Hanya kurikulum tidak lagi spesialistis. Dan semua program Pascasarjana menjadi Universitas dan Institut. Bisa jadi satu perguruan tinggi terdiri atas College dan Universitas dalam satu institust Jangan memakai dua hal yang bertentangan. Atau Pola dan Sistem. Europa atau Pola dan Sistem Amerika.

Dalam rangka ini baiklah juga melihat sebuah kecenderungan yang di Europa kelihatan dalam perkembangan Universitas. Saya mengambil contoh : Sekolah Tinggi di Nederland. Di Nederland ada 3 Sekolah Tinggi Teknik, di Delft, Eindhoven dan Enschede dan satu Sekolah Tinggl Pertanian di Wageningen. Keempat sekolah tinggi ini telah diubah menjadi Universitas. Ini merupakan perubahan mendasar. Lulusan Universitas Teknik bergelar Ir yang setingkat M.Sc dan bisa dilanjutkan ke doktor. Lulusan ini bekerja pada bidang penelitian dan pengajaran. Sedangkan ahli teknik, yang bergelar Ing. dibentuk di Sekolah Teknik Tinggi. Mereka masuk Industri sebagai ahli Teknik. Jadi semua universitas termasuk universitas teknik dan universitas pertanian membentuk orang untuk karya akademis di universitas atau untuk laboratoria penelitian. Sedangkan untuk dunia teknik tenaga dibentuk di Sekolah?Sekolab Teknik Tinggi. Di Indonesia arahnya terbalik. Kebanyakan fakultas teknik makin menjadi Sekolah Teknik Tinggi. Lulusan, yang setingkat BA, terjun ke dunia teknik, tidak bisa bekerja di universitas atau di laboratoria penelitian. Karena kedua lembaga ini menuntut pembentukan selama minimal 6 tabun untuk mencapal Master of Science, yang kemudian bisa ke doktor. Sulit menyebut seorang sarjana (BA) seorang profesional. Di luar negeri baik Ir, atau diplom-Ir, Master of Engeneering maupun MA dan MSc adalah pembentukan pada tingkat Magister. Kenyataan ini makin mendorong kita untuk mengubah sistem perguruan tinggi kita. Bukan sistem Amerika yang dicangkokan pada pola Europa. Pasti timbul gejala penolakan. Sekali lagi. Atau pola Amerika: College-Universitas: BA-MA-Ph.D. atau pola Europa: Universitas: MA-Dr.
J. Drost, SJ
Rektor IKIP Sanata Dharma 1967 – 1976, Dosen di UGM, IKIP Yogyakarta, Unika Atmajaya, Angota Dewan Penyantun Unika Atmajaya

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 10 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB