CEO Smartfren Merza Fachys: Dari Nyolong Kabel hingga Sukses Berjubel

- Editor

Kamis, 21 Juli 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Merza Fachys memiliki semangat dan kecintaan yang besar terhadap dunia telekomunikasi. CEO PT Smartfren Telecom Tbk. itu kenyang pengalaman berkarier di sektor itu selama 36 tahun.

Awal jatuh cinta bapak tiga anak ini kepada dunia telekomunikasi dimulai ketika Merza kecil suka nyolong kabel telepon. Kabel telepon telanjang itu kemudian dihubungkan dengan perangkat untuk kemudian melakukan panggilan secara cuma-cuma. Rasa ingin tahu yang besar mendorong Merza untuk belajar telekomunikasi.

“Kok bisa ya ngobrol dengan orang yang jauh memakai barang begini.” Ia berusaha mengingat antusiasmenya kala itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Merza kemudian masuk ke ITB dengan target utama belajar telekomunikasi. Ia lantas mengambil jurusan elektro dengan spesialisasi C alias Control di mana belajar perihal komputer. Hal itu tidak lepas dari bisikan seorang teman asal Jepang yang mengatakan bahwa telekomunikasi masa depan ialah berbasis komputer.

Ia mengklaim keputusan saat itu terbukti tepat karena hari ini dunia telekomunikasi dan komputer ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Semua perangkat telekomunikasi saat ini menggunakan hardware dan software yang sangat dekat dengan komputer.

“Di ITB ada tiga jurusan. A itu arus kuat, yang ngurusin listrik dan pembangkit. B itu telekomunikasi. C itu kontrol isinya komputer. Hari ini terbukti yang namanya dunia telekomunikasi dan komputer itu sudah tidak bisa dipisahkan.”

Setelah lulus Merza bergabung dengan PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero), perusahaan telekomunikasi yang berbasis di Bandung. Proyek pertama Merza muda ialah membuat software untuk komunikasi data. Padahal saat itu jumlah komputer masih sangat terbatas.

Setelah proyek demi proyek dilalui, pada 1989 Merza dipanggil dan dipercaya menjadi pemimpin cabang Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) di Jakarta. Sempat ragu karena tidak memiliki dasar marketing tetapi disuruh menjual produk, Merza membulatkan tekad untuk mulai bertarung di Ibu Kota.

“Apa tugasnya? Sales. Lah, saya kan orang development, kenapa di bidang sales? saya kaget disuruh jualan. Pokoknya ke sana, cari tahu dulu lalu tingkatkan,” ujarnya mengenang kata-kata bosnya saat itu.
Merza menuturkan pada saat datang ke Jakarta, penjualan cabang Jakarta sekitar Rp2 miliar per tahun.

Angka itu dinilai kecil jika dibandingkan dengan kompetitor saat itu. Merza diberi target untuk meningkatkan penjualan menjadi dua digit atau dengan kata lain harus meningkat sekitar 500%.
Keberuntungan berpihak kepada orang berani. Ungkapan itu tepat untuk menggambarkan pencapaian Merza pada tugas barunya. Pada tahun pertama, Merza berhasil meningkatkan penjualan hingga menyentuh Rp15 miliar berkat pemahaman yang baik perihal produk teknologi.

“Ternyata menjual barang yang related ke teknologi itu tidak seperti menjual jamu. Ada ilmunya, kalau orang tidak mengerti teknisnya maka akan susah,” paparnya.

Merza mengenang produk andalan INTI saat itu ialah sentral telepon, telepon meja, dan telepon mobil. Salah satu pelanggan pertama Merza di Jakarta ialah Setia Budi Building yang pada saat itu gedung perkantorannya tidak laku karena tidak memiliki jaringan telepon. Kesulitan membangun jaringan kabel menjadi hambatan terbesar Telkom saat itu.

Merza memberikan solusi dengan mengusulkan untuk menarik kabel hingga ke Setia Budi Building untuk kemudian dipasang alat yang mampu menampung hingga 1.000 line telepon. Adapun, saat itu harga satu line telepon Rp1 juta sehingga jika 1.000 line maka seharga Rp1 miliar.

“Solusi saya gak sampai Rp1 miliar, saya tawarin ke gedung 1 juta, 1.000 line Rp1 miliar. Saya buka perjanjian, setelah jadi peralatan dihibahkan ke Telkom, dibangun swasta lalu dihibahkan, setuju kawinkanlah. Dari situ satu per satu pelanggan bertambah, gak sampai satu tahun omzet saya sudah sampai Rp15 miliar,” kenangnya.

Lompatan Karier
Karier Merza terus menanjak dan dipercaya menjadi GM pabrik pesawat telepon. Tugasnya ialah memproduksi pesawat telepon yang dimulai dari membeli komponen hingga merakit. Saat itu kapasitas pabrik hanya sekitar 200.000 unit per tahun.

Ketika Telkom mencanangkan program 1 juta line per tahun, Merza merasa ada peluang untuk meningkatkan kapasitas produksi. Merza kemudian bekerja sama dengan pabrik plastik, speaker, elektonik, sehingga pabrik yang sebelumnya memproduksi dari hulu hingga hilir menjadi hanya assembling (perakitan).

“Saya bisa meningkatkan produksi jadi 1 juta unit. Apa yang ingin saya katakan ialah work by heart, saya bilang getaran hati. Ketika kerja dengan passion, orang akan yakin dan tidak ragu memberikan tanggung jawab yang lebih tinggi,” jelasnya.


DSC_9816Merza Fachys/

Setelah berkarier selama 16 tahun bersama PT INTI, Merza hengkang ke Siemens Indonesia. Merza direkrut karena dinilai memahami jaringan dan perangkat teknologi yang menjadi bisnis inti Siemens di Indonesia. “Saya adalah satu-satunya GM kulit begini, yang lainnya bule,” tuturnya.

10 tahun berkarier di Siemens, Merza kemudian memutuskan pensiun dini ketika usia menginjak 50 tahun. Tawaran kemudian datang dari MNC Grup untuk mengurus salah satu lini bisnis telekomunikasi, Mobile-8. Pada 1 Mei 2007, Merza resmi bergabung dengan Mobile-8 dengan alasan visi Hary Tanoesoedibjo yang ingin mengembangkan layanan data Mobile-8.

Sempat ingin hengkang ketika Mobile-8 mengalami kesulitan finansial, tetapi tanggung jawab sebagai pemimpin membuat Merza bertahan hingga Mobile-8 akhirnya merger dengan Smart Telecom Tbk., (Smart). Merza diminta bertahan untuk menyatukan dua jaringan milik Mobile-8 dan Smart-yang saat itu babak belur.

“Tidak mudah, ini tantangan berat dan risikonya besar karena ada duit, ada pelanggan dan syukur dalam waktu 6 bulan selesai walaupun belum 100% hingga Smartfren menjadi solid.”

Masalah tidak berhenti di situ, karena bisnis CDMA saat ini seperti hidup enggan mati tak mau. Jika ingin bertahan lebih lama, maka Smartfren harus berinvestasi. Merza mengusulkan kepada para pemegang saham untuk berinvestasi ke LTE. Smartfren akhirnya migrasi ke 4G seperti saat ini dengan tetap mempertahankan jaringan bisnis CDMA.

Merza mengaku tak pernah bermimpi menjadi CEO. “Namun, semangat saya ialah ingin bekerja yang gereget, passion itu ikut bekerja. Bekerja dengan perasaan seperti orang jatuh cinta. Itu yang membuat kita punya achievement di atas rata-rata. Itu yang membuat hasil kita berbeda dengan yang hanya sekadar bekerja. Hasil kerja keras ialah apresiasi. Apresiasi berupa kenaikan jabatan, Alhamdulillah.”

Penulis: Thomas Mola, Editor : Gita Arwana Cakti

Sumber: Bisnis Indonesia (20/7/2016), Rabu, 20 Juli 2016
————
‘LTE Memperpanjang Umur Kami’

JAKARTA –PT Smartfren Telecom Tbk menjadi salah satu pelopor pengembangan teknologi 4G/LTE di Indonesia. Perjalanan perusahaan hasil merger Mobile-8 dan Smart itu tidaklah mudah di tengah ketatnya persaingan industri telekomunikasi di Tanah Air. Apa saja kiat dan pandangan CEO Smartfren Merza Fachys dalam mengembangkan bisnis perusahaan? Bisnis mewawancarainya baru-baru ini. Berikut petikannya.

Bagaimana Anda memandang industri telekomunikasi di Tanah Air ke depan?

Telekomunikasi adalah industri yang tidak akan pernah mati, berbeda dengan industri lain yang menggunakan sumber daya alam yang bisa habis, telekomunikasi tidak. Kebutuhan bertelekomunikasi itu menjadi kebutuhan manusia karena kita tidak mungkin tidak berkomunikasi.

Dulu orang berkomunikasi face to face, lama-lama makin jauh dan sekarang dunia maya. Media untuk berkomunikasi pasti dibutuhkan, jadi industri ini enggak ada matinya. Industri ini akan berkembang terus dan mengikuti perkembangan manusia, apapun kebutuhan manusia, walaupun diam, otaknya tetap berkomunikasi.

Nah, sekarang kalau bicara di Indonesia, semua yang menggarap telekomunikasi idenya sama, menciptakan media komunikasi. Kami di mana? Apakah kami hanya pemain yang menyediakan media komunikasi atau ikut berkecimpung di dalamnya?

Saya sih pengennya kami berkecimpung. Kalau kita bicara sekarang, hardware itu hanya tempatnya, tapi isinya ada aplikasi, ada software, dan lainnya. Di situ kami bisa berbuat banyak. Mari kita jadi pemain, gimana bagi tugasnya? Itu tugas kita semua yang berkecimpung di dunia ini, kalau kita gunakan mindset hanya telepon, hari ini sudah berbeda.

Saya tetap optimistis melihat potensi negara ini dengan 250 juta penduduk yang membutuhkan media berkomunikasi. Itulah kesempatan kami. Jangan lihat dari segi ekonominya. Mengapa kita terjebak dalam ekonomi hari ini di mana industri telekomunikasi tampaknya melambat, karena kita terlambat mengantisipasi masa yang seperti sekarang ini.

Sampai hari ini saya agak sedih ketika kawan-kawan masih mindset telepon, bikin hardware, ini nilainya paling kecil ini paling 20% -30% , nyawa dia yang mahal yakni aplikasi dan operating system (OS), ini yang mahal. Ini sekarang gratis semua, Android itu enggak mahal. Satu handphone hanya sekitar US$1 sampai US$2, tetapi setahun ada ratusan handphone. Artinya, jangan terkecoh dengan bisnis aplikasi, Google gratis, Google maps gratis, tetapi multiplayer aplikasi gratis itu yang harus dilihat.

Whatsapp dari mana dapat duitnya? Data pribadi itu ke mana, mereka juga ke big data untuk petakan apa yang disukai pengguna Whatsapp. Software gratis tetapi di belakangnya ada bisnis, itulah yang saya maksudka kita ini mau bermain di mana? Mau di perangkatnya atau di belakang perangkat, makanya kembali Iagi kenapa operator tidak bermain di OTT. OTT depannya, kita butuh yang di belakangnya OTT, saya optimis bisnis ini bisa hidup 4O tahun Iagi.

Apa benar investasi di telekomunikasi saat ini makin murah karena perangkat yang makin murah?

Itu betul, ambil unitprise, dulu investasi untuk hasilkan 1GB data nilai investasinya misalnya US 100 dolar, sekarang mungkin 10 US dollar, tapi orang tidak puas lagi dengan 1 GB mintanya 10 GB maka saya keluarkan US$ 100 lagi, jadi kebutuhan terus meningkat.

Selama kurang lebih 36 tahun berkarier di dunia telekomunikasi, apa keputusan tersulit atau dilematis yang pernah dibuat?

Banyak sih tapi migrasi Smartfren itu termasuk paling sulit untuk meyakinkan stakeholder. Ini kan new investment bayangkan, sementara CDMA masih indah-indahnya, kami datang ganti CDMA. Are you crazy? CDMA lagi mekar-mekarnya, tapi umumya pendek, kalau datang ajal dan kami tidak punya solusi pengganti maka kami akan mati. LTE akan memperpanjang umur kami, CDMA mungkin hanya 2 atau 3 tahun lagi, kalau kami punya LTE, apakah pasti akan sukses dan berkembang? Itu pertanyaan lain lagi, tapi umur saya lebih panjang, kalau 3 tahun diputuskan mati pasti mati. Jadi yang satu ada kesempatan hidup, pertarungannya Rp 10 triliun untuk LTE, itu perdebatan setengah mati tetapi stakeholder sangat komitmen, dukung penuh perkembangan, go ahead, jadi patut disyukuri.

Apa obsesi yanq belum tercapai?

Sebetulnya obsesi yang berlebihan saya gak punya, keinginan sederhana tercapai semua. Saya hanya ikuti satu pepatah manage your expectation, kalau gagal jangan terlalu berlarut-larut, kalau sukses jangan terlalu over gembira, ingatlah itu semua relatif. Kalau kita jatuh jangan sedih ada orang yang lebih jatuh, tetap pada posisi dengan tetap semangat untuk berjuang.

Bagaimana membagi waktu dengan keluarga?

Sekarang relatif sering ngumpul, dulu berpisah lama karena saya kerja di Jakarta dan keluarga di Bandung. Paling Sabtu Minggu doang, ketika anak-anak lulus, satu per satu pindah ke Jakarta.

Siapa tokoh idola atau panutan Anda?

Pak Harto (Soeharto). Dia pemimpin yang selalu berperan sesuai pada waktunya. Di saat dibutuhkan untuk keras, dia bisa keras, di saat dibutuhkan kebijaksanaan, dia bisa bijak, bisa merangkul semua pihak dengan caranya. Saya selalu berjuang untuk itu, saya ingin menjadi panutan, didukung orang sekitar, disayang oleh orang sekitar.

Pewawancara: Agnes Savithri

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 35 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB