Desember ini genap 11 tahun gempa dan tsunami Aceh. Inilah bencana alam dengan 160.000 korban jiwa, terbanyak dalam sejarah modern negeri ini. Namun, bukan gempa atau tsunami yang sesungguhnya menewaskan banyak orang di Aceh. Ketidaktahuan tentang gempa, tsunami, dan cara meresponsnya, itulah yang mematikan.
Warga tak siap menghadapi tragedi yang melanda Aceh pada Minggu, 26 Desember 2004, pagi. Tak lama setelah gempa, ketika laut mulai surut, banyak orang justru datang ke pantai, melihat ikan yang menggelepar. Bahkan saat gelombang mengejar mereka, tidak banyak yang paham itu tsunami
Namun, situasi berbeda di Simeulue, pulau terdekat dari pusat gempa. Begitu melihat laut surut setelah gempa, orang-orang Simeulue langsung berhambur mendaki bukit sambil berteriak, ”Smong, smong, smong!” Sekalipun ribuan rumah rusak dilanda tsunami, tujuh warga Simeulue yang jadi korban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagi orang Simeulue, gempa 26 Desember 2004 itu membuka kembali ingatan tentang smong, kisah turun-temurun tentang gelombang laut dahsyat yang menghancurkan pulau mereka tahun 1907. Dikisahkan sejak anak-anak Simeulue masih dalam ayunan, gelombang smong datang setelah gempa besar dan laut surut hingga jauh. Maka, begitu gempa itu disusul laut surut, orang Simeulue langsung tahu smong bakal datang.
Merawat ingatan
Masyarakat Aceh kini sudah sangat mengenali tsunami, tetapi barangkali sebagian mulai lupa tragedinya. Apalagi, jejak kehancuran tsunami di Aceh makin sulit ditemukan, seiring penghunian kembali kawasan pesisir, persis sebelum 2004.
Kenapa masyarakat Indonesia selalu menghuni kembali zona bencana? Salah satu jawabannya terletak pada cara pandang memaknai bencana. Bagi banyak orang di Aceh, juga Indonesia umumnya, tsunami adalah takdir yang harus diterima.
Upaya mengaitkan bencana alam dengan keyakinan dan agama memang terus dipraktikkan masyarakat Indonesia. Penelitian Oman Fathurahman dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014, menemukan, bencana biasanya ditafsirkan sebagai hukuman atas dosa, peringatan, ujian keyakinan, atau berbagai tafsir teologis lainnya. Pandangan ini, mengacu konsep Ulrich Beck (Risk Society, 1992), menunjukkan masyarakat Indonesia termasuk kelompok praindustri.
Sikap berbeda ditunjukkan masyarakat Jepang. Bagi mereka, tsunami adalah mekanisme alam yang bisa dijelaskan dengan nalar. Mengaitkan dengan teologi adalah aib besar. Maka, ketika mantan Gubernur Tokyo Shintaro Ishihara menyatakan tsunami yang melanda Sendai pada 11 Maret 2011 sebagai hukuman dewa atau tenbatsu, dia menuai kritik pedas.
Rasionalitas pandangan terhadap tsunami mendorong mereka memindahkan permukiman ke dataran tinggi, menjauh dari pesisir. Tanggul laut dianggap tak lagi memadai menangkal gelombang panjang tsunami. Respons masyarakat Jepang dalam mengelola risiko tsunami banyak ditiru, termasuk di Indonesia. Di antaranya, sirene tsunami hingga bangunan evakuasi. Dari aspek infrastruktur mitigasi, Jepang adalah contoh ideal.
Namun, masyarakat Jepang trauma menghadapi bencana. Angka bunuh diri di Jepang melonjak hingga 20 persen sebulan setelah tsunami Sendai (Japan Cabinet Office, 2011). Hingga saat ini, pemulihan mental korban tsunami masih jadi persoalan.
Jika bencana tsunami telah berakhir di Aceh saat ini, di Jepang bencana itu masih berlangsung. Berbeda dengan di Jepang, sulit menemukan korban tsunami di Aceh didera trauma berkepanjangan, apalagi sampai bunuh diri. Jumlah penduduk Aceh bahkan berlipat dibandingkan dengan sebelum tsunami.
Karena tsunami ditafsirkan sebagai takdir, masyarakat cenderung lebih mudah ”menerima” bencana. Dalam keyakinan masyarakat Aceh, seperti diteliti James T Siegel (The Rope of God, 1969), mereka yang terus menangisi kematian keluarga disebut sebagai orang yang ”belum bisa menerima” dan kerap dipandang negatif oleh komunitasnya. Mereka yang lebih cepat menerima—biasa disebut sudah ikhlas—dianggap beriman kuat.
Bagaimana menyeimbangkan mitigasi dan daya liat untuk pulih dari trauma merupakan tugas berat manajemen bencana alam di Indonesia. Kita tak bisa mentah-mentah meniru Jepang, tetapi kita juga tak bisa menutup mata tentang pentingnya mitigasi bencana sebagaimana dipraktikkan Jepang. Sebagai negeri yang berada di zona tumbukan tiga lempeng benua, hanya soal waktu gempa dan tsunami akan berulang.–AHMAD ARIF
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Desember 2015, di halaman 14 dengan judul “”Smong, Smong, Smong!””.