Untuk sementara, penduduk dunia bisa bernapas lega ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan panduan penentu berakhirnya masa kedaruratan ebola. Di Guinea, Liberia, dan Sierra Leone—negara-negara pantai barat Afrika yang terkena wabah—angka kasus ebola sudah dapat dikendalikan. Pekan lalu, Liberia bahkan dinyatakan bebas ebola karena kasus baru sudah minimal.
Meski badai bisa dikatakan usai, sebenarnya para ahli kesehatan tetap saja waswas. Selain virusnya masih misterius, dalam arti sudah teratasi, tetapi sebenarnya belum diketahui pasti pengelolaannya, ditemukan fakta bahwa pada banyak pasien yang bertahan hidup, kondisi tubuhnya tidak lagi prima.
Menurut Prof dr Tjandra Yoga Aditama SpP (K) MARS DTM&H DTCE, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) yang juga anggota WHO Advisory Group on Pandemic Influenza Prevention Framework, virus ebola ditemukan hidup dalam cairan sperma hingga beberapa bulan setelah pasien sembuh. Media CNN juga mengabarkan baru-baru ini, virus ebola ditemukan pada mata seorang dokter Amerika Serikat yang pernah terinfeksi ebola, meski di darahnya tidak ada lagi virus.
Ian Crozier, nama dokter itu, dirawat di RS Emory University, Atlanta, tahun lalu. Kurang dari dua bulan setelah dinyatakan sembuh, ia kembali ke rumah sakit dengan keluhan mata menjadi sensitif cahaya, nyeri, dan buta sebagian. Crozier (44), terinfeksi ebola ketika bertugas di RS Sierra Leone.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski bereplikasi dan aktif di mata, virus ebola ini untungnya negatif sehingga tidak berisiko menulari orang lain. Ini berbeda dengan ebola di cairan sperma, yang ternyata masih menular. Yang pasti, keluhan para pasien ebola yang masih bertahan hidup tidak jauh berbeda: nyeri pada mata, sendi, dan otot, selain sakit kepala, badan lemah, dan berbagai gangguan metabolisme lainnya.
Masih banyak pekerjaan
Oleh karena itu, pekerjaan rumah untuk melawan ebola masih panjang. Betul ada temuan yang menggembirakan ketika pasien ebola menunjukkan kemajuan berarti begitu diobati dengan steroid dan antiretroviral (ARV) yang banyak digunakan untuk pengidap HIV/AIDS. Namun, pada kasus Crozier, sebenarnya belum jelas apa yang membuat matanya kembali normal: apakah steroid, ARV, atau sistem kekebalan tubuhnya.
Sepanjang 2014-2015, tercatat 25.000 orang terinfeksi ebola. Dari jumlah itu, lebih dari 10.000 orang meninggal terutama di kawasan pantai barat Afrika. Sayangnya, meski masa kedaruratan ebola sudah dianggap selesai, masih ditemukan beberapa kasus infeksi. Hingga 6 Mei 2015, WHO melaporkan ada 18 kasus yang positif ebola, terendah untuk tahun ini, setelah sebelumnya bisa mencapai 30-37 kasus per minggu.
Walaupun begitu, prinsip kehati-hatian tidak boleh ditinggalkan. WHO mengingatkan para petugas medis tetap menggunakan pelindung lengkap saat menangani pasien ebola, sekalipun pasien itu sudah pernah sembuh seperti Crozier. Seperti diketahui, penularan ebola adalah melalui kontak langsung dengan darah, cairan tubuh, dan feses pasien.
Indonesia pun tidak boleh lengah, mengingat salah satu spesies ebola, Reston ebolavirus, ditemukan di Filipina dan Tiongkok. Meski spesies ini tidak menimbulkan kesakitan dan kematian—bandingkan dengan Bundibugyo ebolavirus, Zaire ebolavirus, dan Sudan ebolavirus yang memicu angka kesakitan dan kematian tinggi—setiap kasus yang mengindikasikan ebola wajib ditangani dengan prosedur yang benar. Maka, Laboratorium Biology Safety Level (BSL) 3 di Balitbangkes lengkap dengan alat dan petugasnya, harus selalu disiagakan.—Agnes Aristiarini
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Mei 2015, di halaman 14 dengan judul “Seusai Badai”.