Tahun ini, 5 Juni 2016, ke-43 kalinya Hari Lingkungan Hidup Internasional diperingati. Dengan tema ”Go Wild for Life”, kita pribadi-pribadi diminta menyelamatkan spesies yang terancam bagi kehidupan generasi mendatang. Persoalan lingkungan yang sebenarnya tidaklah sesederhana menyelamatkan hewan terancam punah. Persoalan sebenarnya adalah penyelamatan ruang hidup. Ruang hidup untuk seluruh makhluk hidup.
Tema itu merujuk fakta perdagangan ilegal satwa liar yang nilai ekonominya lebih dari Rp 200 triliun per tahun (Kompas, 27/5). Di Indonesia Rp 9 triliun per tahun. Angka itu puncak gunung es, yang terdata. Delapan satwa dapat perhatian khusus, di antaranya orangutan, penyu, badak, harimau, dan gajah. Hewan-hewan itu ada di Indonesia, beberapa endemik.
Faktanya, bukan hanya perdagangan ilegal yang mengancam satwa liar, melainkan juga kebiasaan mengonsumsi satwa liar di sejumlah wilayah. Di Sulawesi biasa mengonsumsi yaki (Macaca nigra/lutung hitam) atau anoa (Bubalus depressicornis).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perdagangan ilegal satwa liar hanya satu keprihatinan. Kehilangan satwa liar adalah inti pesan yang disampaikan Program Lingkungan PBB (UNEP). Achim Steiner, Direktur Eksekutif UNEP, mengatakan soal penghancuran kekayaan alam yang bisa menjadi modal wisata alam. Selain itu, isu satwa liar juga terkait isu korupsi, pengabaian penegakan hukum di seluruh dunia, dan ”penggendutan dompet” sindikat kejahatan terorganisasi.
Langkah besar
Di belakang fakta lenyapnya satwa liar adalah hancurnya lingkungan. Satu lingkungan hancur akan menyeret ruang di sebelahnya untuk turut terdegradasi. Rangkaian ekosistem itu merupakan rantai yang membentuk ruang hidup.
Bumi adalah ruang hidup kita yang di dalamnya terdapat beragam ekosistem yang jalin-menjalin berkelindan. Setiap bagian dari ekosistem memiliki fungsi dan tugasnya sendiri. Satwa, tumbuhan, dan manusia punya tugas masing-masing. Namun, keseluruhannya memungkinkan terbentuk sebuah ruang hidup.
Persoalannya, kita semua telah menganggap fakta-fakta itu hal biasa. Kita tak lagi menyadari keberadaan ”oksigen” karena kita bernapas secara otomatis. Dampak ikutannya, kita tak lagi menyadari pabrik oksigen terbesar di bumi adalah pohon.
Keterbatasan indera manusia tak lagi kita sadari. Kita hanya mampu melihat dan mengamati apa yang ada di depan mata. Membunuh satu gajah hanya berarti gading dan uang.
Bahkan, fakta yang sudah nyata dan pasti pun terlewat dari indera kita dan pada akhirnya terlewat dari kesadaran kita sebagai manusia penghuni bumi, yaitu: keterbatasan bumi.
Buku rujukan yang melegenda, Limits to Growth, dinafikan dengan kemajuan teknologi, yang sesuai pandangan arus utama mampu menggantikan berbagai kebangkrutan sumber daya alam. Kawat timah ketika timah habis bisa digantikan serat optik.
Cara berpikir itu berlanjut hingga sekarang. Maka, kepunahan satwa liar tak jadi soal. Sebab, suatu saat akan ada teknologi yang menggantikan. Gejala awal sudah ada ketika Jepang menciptakan ”hewan piaraan” elektronik. Keyakinan seperti itu yang sekarang berkembang, termasuk ketika ada ancaman perubahan iklim.
Kembali ke satwa liar, dengan keterbatasan indera dan nalar kita, penghancuran habitat pun terus berlangsung. Dan, satwa liar pun semakin kehilangan daya hidupnya. Satu hektar hutan alam yang dipotong habis dan dialihfungsikan menghilangkan beratus-ratus mungkin ribuan spesies pohon dan satwa—mulai dari mikroorganisme hingga satwa besar.
Potensi sumber pangan, obat, dan air—hutan berfungsi menyimpan air—lenyap seketika. Waduk yang juga menyimpan air jelas tak setara dengan hutan. Hutan menyimpan air dan bertahan ribuan tahun tanpa menyebabkan banjir.
Di balik tema Peringatan Hari Lingkungan Hidup Internasional tahun ini tersimpan pesan besar, yaitu ketika satwa liar menghilang, bumi pun siap kehilangan daya sebagai ruang hidup kita, seluruh makhluk hidup. Siapkah kita?–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Juni 2016, di halaman 14 dengan judul “Ruang Hidup”.