Catatan Iptek; Migrasi Manusia

- Editor

Rabu, 23 September 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Potret bocah Suriah-Kurdi tergeletak tanpa nyawa di pantai Turki, berkaus merah, dan masih bersepatu seharusnya menampar kemanusiaan kita. Perahu butut yang ditumpangi Aylan—nama bocah tiga tahun itu—dan keluarganya untuk menyeberang ke Eropa tenggelam di laut.

Ibu dan saudaranya, Galip, dua tahun lebih tua, juga tewas. Hanya ayah Aylan yang selamat. Kisah ini menambah panjang daftar migrasi manusia yang berujung pada tragedi. Dalam setahun ini, setidaknya 1.500 imigran Timur Tengah tewas.

Migrasi pada dasarnya adalah insting menemukan tempat hidup terbaik, tetapi belakangan menjadi masalah sosial dan politik. Selain ancaman keselamatan di perjalanan, banyak negara tujuan menutup perbatasan. Foto juru kamera televisi Hongaria, Petra Lazio, dengan sengaja menjegal lelaki imigran yang menggendong anaknya saat berlari menggambarkan penolakan itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pengembara
Padahal, leluhur kita, manusia modern (Homo sapiens) sejatinya berasal dari rahim yang sama, yaitu dari kelompok kecil manusia di Afrika. Banyaknya penemuan fosil manusia modern tertua di Afrika, salah satunya di Omo Kibish, Etiopia, yang berusia sekitar 200.000 tahun lalu, menjadi fondasi teori ini.

images (1)Model Eva mitokondrial yang diajukan Douglas Wallace dan Allan Wilson semakin menguatkannya. Mereka meneliti materi genetis, asam deoksiribonukleat atau DNA di dalam sel yang disebut mitokondria. Ketika sel telur ibu dan sperma ayah bersatu, hanya mitokondria yang jadi bagian dari sel embrio baru. Karena itu, DNA mitokondrial diwarisi hanya melalui garis ibu.

Dengan metode ini, manusia modern bisa dirunut dari leluhur genetis mereka pada perempuan yang hidup di Afrika 150.000 tahun lalu. Bahkan, juga bisa diketahui kapan dan di mana leluhur kita bermigrasi. Setelah berdiam puluhan ribu tahun, sekitar 70.000 ribu tahun lalu, mereka mulai meninggalkan Afrika.

Ketika berangkat dari Afrika, mereka hanya berupaya menemukan ruang hidup baru yang lebih menjanjikan, barangkali mirip dengan situasi imigran Timur Tengah saat ini. Rombongan para migran pertama berjalan menyusuri pantai selatan India, mengikuti cuaca tropis yang hangat. Sekitar 50.000 tahun lalu, jejak manusia ini ditemukan di Asia Tenggara, termasuk Sumatera dan Jawa yang masih menyatu dengan Asia (Eurasia). Sekitar 46.000 tahun lalu, mereka tiba di Australia.

Eropa baru dirambah Homo sapiens sekitar 43.000 tahun lalu, tetapi baru sekitar 24.000 tahun lalu, mereka akhirnya menggantikan manusia arkaik, Neandertal. Sementara Asia Timur baru dihuni manusia modern sekitar 30.000 tahun lalu, dan Amerika Utara kemungkinan baru dihuni 14.000 tahun lalu.

Selain menggambarkan asal-usul, riset genetika juga menemukan, DNA mitokondrial dari populasi manusia—lebih dari 4.000 orang di seluruh dunia—mirip satu sama lain. Menurut ahli genetika Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, variasi fenotipe (bentuk wajah, warna kulit, dan rambut) yang muncul karena mutasi genetika sebagai adaptasi terhadap lingkungan berbeda. Namun, asalnya satu juga: out of Afrika!

Pada titik inilah sebenarnya kemanusiaan kita digedor. Bahwa, perbedaan etnis, adalah kombinasi antara mutasi genetika dan kondisi lingkungan. Bukan kemauan Aylan dilahirkan sebagai minoritas Suriah-Kurdi. Bukan kehendak Petra lahir di Eropa.

Keragaman itu patut disyukuri dengan merayakan kemanusiaan yang tunggal, berbeda dengan kera karena memiliki kecerdasan dan kebudayaan. Sinisme pada kaum imigran, adalah pengingkaran atas asal-usul manusia yang memiliki gen pengembara!–AHMAD ARIF
—————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 September 2015, di halaman 14 dengan judul “Migrasi Manusia”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 4 Juli 2025 - 17:25 WIB

Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB

Artikel

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Jun 2025 - 14:32 WIB