Apa kecemasan terbesar manusia? Jawabannya ternyata menjadi tua. Paling tidak, itulah yang disoroti Jacques Peretti, penggagas sekaligus narator dalam acara televisi ”The Men Who Made Us Spend” dalam episode 2.
Sebagai jurnalis, Peretti mengemas program pemberdayaan konsumen ini dalam bentuk laporan investigasi. Mengapa kita berbelanja? Apa yang kita beli? Siapa yang membuat kita begitu konsumtif? Mengapa? Maka ia mewawancarai produsen, konsultan iklan dan penjualan, peneliti, dan konsumen.
Ia menyimpulkan, pasar anak-anak adalah target utama para produsen dan dari situlah produsen belajar strategi peningkatan penjualan ke konsumen dewasa. Namun, yang paling mendasar adalah, produsen paham betul bahwa kecemasan terbesar manusia adalah ”tambang emas”. Dan, kecemasan itu adalah kekhawatiran menjadi tua. Bukan pada proses penuaannya, tetapi pada konsekuensinya: keriput, pikun, rapuh, dan mati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidaklah mengherankan bila produsen menangguk keuntungan miliaran dollar AS dengan menyediakan produk-produk yang menawarkan kesehatan, kemudaan, dan daya ingat. Menurut lembaga riset pasar Transparency Market Research dalam Global Industry Analysis, Size, Share, Growth, Trends and Forecast, 2013-2019, pasar kosmetik anti-aging atau anti penuaan mencapai 122,3 miliar dollar AS tahun 2013. Jumlah ini melebihi prakiraan dan akan semakin tinggi ke depan, diprediksi naik 7,8 persen—mencapai 191,7 milliar dollar AS—tahun 2019.
Produk kosmetik anti penuaan itu baru mencakup obat oles seperti anti kerut, pewarna rambut, penumbuh rambut, dan memperbesar payudara. Angka tersebut, belum termasuk suplemen dan obat yang diminum untuk memperpanjang daya ingat, meningkatkan daya tahan terhadap penyakit, dan tentu saja memperpanjang umur. Industri farmasi seluruh dunia, kini beramai-ramai mengeksplorasi omega 3, minyak zaitun, DHA, demi kebugaran fisik dan pikir.
Industri miliaran dollar
The American Academy of Antiaging Medicine menyebutkan, setiap tahun dokter meresepkan obat senilai 70 miliar dollar AS untuk mengatasi penyakit terkait penuaan. Total pasar anti penuaan diperkirakan mencapai 292 miliar dollar AS tahun 2015, mencakup kosmetik, suplemen, hingga obat resep. Dengan proporsi populasi dunia yang berusia di atas 60 tahun mencapai 10 persen saat ini, dan diperkirakan meningkat menjadi 22 persen tahun 2050, bisa dibayangkan betapa besarnya pangsa pasar anti penuaan ini.
Salah satu pemicu peningkatan populasi usia lanjut adalah generasi baby boomers yang lahir sepanjang 1946-1964, yang sekarang mulai menua. Berkat paparan pengetahuan dan terutama produsen, mereka menunjukkan minat besar untuk tetap menarik, awet muda, dan sehat.
Indonesia pun kini termasuk negara berstruktur tua dengan persentase penduduk yang berusia lebih dari 60 tahun mencapai 8,05 persen (Statistik Penduduk Lanjut Usia, Biro Pusat Statistik, 2013). Di satu sisi struktur semacam ini menunjukkan perbaikan usia harapan hidup yang seiring dengan perbaikan ekonomi, tetapi di sisi lain penyakit usia lanjut mulai menggerogoti.
Dengan target Organisasi Kesehatan Dunia ”meningkatkan usia harapan hidup yang berkualitas untuk semua” bisa dibayangkan betapa maraknya penelitian dan pengembangan produk yang berbasis anti penuaan. Tahun 2029, diramalkan pengetahuan dan riset tentang sel punca, kloning terapetik, dan nanoteknologi akan diimplementasikan dalam berbagai cara untuk memperpanjang dan memperbaiki kualitas usia harapan hidup manusia. Dalam hal ini, semua produk anti penuaan, baik kosmetik, suplemen, maupun obat yang harus diresepkan dokter, akan berperan besar dalam layanan kesehatan preventif.
Namun, faktanya belum ada rumusan untuk memutar balik waktu. Mengikuti hukum alam, intervensi hanya membuat proses biologi melambat, bukan berhenti. Semua upaya kosmetik, hanya bertahan sementara, karena proses fisiologis di dalam tubuh terus berlangsung. Maka yang terbaik memang ikhlas menjalaninya.
Kata George Bernard Shaw, sastrawan pemenang Nobel Sastra 1925, ”Jangan berhenti tertawa saat kita menua, justru kita menua bila berhenti tertawa.”–AGNES ARISTIARINI
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Juli 2015, di halaman 14 dengan judul “Menuai Kecemasan”.