Tahun 1987, ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mulai mencanangkan Hari Tanpa Tembakau, masyarakat dunia memang dalam genggaman industri rokok. Kala itu, rokok dengan tembakau sebagai bahan baku utama seakan menjadi simbol utama kekuasaan, kekayaan, dan ketenaran.
Kesadaran akan bahaya rokok muncul ketika berbagai penyakit tidak menular terus meningkat signifikan. Disebut epidemi tembakau, para ahli kesehatan menemukan keterkaitan penyakit yang erat dengan rokok: gangguan paru obstruktif kronik sampai kanker, jantung koroner, pembuluh darah, hingga gangguan kehamilan dan pertumbuhan.
Selain berdampak buruk pada perokok, asap rokok ternyata juga memengaruhi kesehatan orang di sekitarnya. Sebagai perokok pasif, mereka sama rentannya terhadap 400 lebih senyawa kimia beracun—43 di antaranya bersifat karsinogenik—yang menyebar bersama asap rokok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rokok telah menyebabkan kematian sekitar 6.000.000 orang setiap tahunnya, dengan 600.000 di antaranya perokok pasif. Maka, berawal dengan Hari Tanpa Tembakau yang diperingati setiap 31 Mei, WHO terus mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengurangi kebebasan industri rokok. Meski sambutan yang antusias sama banyaknya dengan yang melawan, ratifikasi kebijakan anti tembakau terus berlangsung di sejumlah negara.
Sepanjang 1987-2015, berbagai program dan slogan diluncurkan. Mulai dari perempuan tanpa tembakau, membebaskan anak dan remaja dari bahaya, tembakau adalah siklus kemiskinan, hingga Kerangka Konvensi yang Mengontrol Tembakau.
Sepanjang itu pula berbagai upaya untuk menurunkan angka perokok terus bermunculan. Dari melarang penjualan rokok di kawasan dekat sekolah, menghentikan iklan pada jam tayang utama, sampai membatasi perokok di kawasan publik.
Namun, setelah 28 tahun Hari Tanpa Tembakau diperingati, kenyataannya masih saja memprihatinkan, terutama di negara berkembang. Ketika peraturan semakin menjerat di negara maju—terutama Amerika Serikat yang pernah menjadi surga perokok—industri rokok memindahkan produksinya ke negara berkembang yang masih longgar, termasuk Indonesia. Tidaklah mengherankan apabila jumlah perokok nasional ataupun global terus meningkat.
Indonesia peringkat ketiga
Jika sampai tahun 2009 tingkat konsumsi rokok di Indonesia masih menempati peringkat keempat dunia, sejak tahun 2013 Indonesia sudah menempati peringkat ketiga dunia. Hanya kalah dengan Tiongkok dan India yang jumlah penduduknya memang jauh lebih banyak.
Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, perokok pemula usia remaja (10-14 tahun) naik dua kali lipat dalam 10 tahun. Jika tahun 2001 hanya 5,9 persen, tahun 2010 menjadi 17,5 persen. Namun, pada perokok pemula dengan usia lebih tua (15-19 tahun) terjadi penurunan dari 58,9 persen menjadi 43,3 persen. Artinya, perokok pemula menjadi semakin muda yang membuat ketergantungan terhadap rokok semakin kuat dan risiko terkena epidemi tembakau semakin tinggi.
Kondisi itu kian diperparah dengan kelas menengah ke bawah yang masih memprioritaskan belanja rokok di atas belanja bahan makanan yang menyehatkan ataupun pendidikan. Menurut penelitian Abdullah Ahsan dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia, porsi belanja rokok hanya kalah dengan belanja beras.
Dampaknya tentu saja adalah membengkaknya biaya kesehatan. Menteri Kesehatan Nila Djuwita Anfasa Moeloek menyebutkan, akibat merokok, kejadian penyakit tidak menular terus meningkat dan menjadi beban ekonomi (Kompas, 28/5/2015). Maka, 30 persen pembiayaan rawat inap dan 10 persen rawat jalan yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terserap untuk mengobati penyakit tidak menular ini. Tanpa intervensi, keuangan negara jelas terbebani.
Namun, selama pemerintah masih terlena dengan cukai puluhan triliun rupiah dari industri rokok, angka kesakitan dan kematian akibat rokok tampaknya hanya statistik belaka.–Agnes Aristiarini
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Juni 2015, di halaman 14 dengan judul “Menghalau Rokok”.