Udara dingin masih menembus jaket tebal, pagi itu, ketika 140 wartawan dari berbagai kawasan bergegas turun dari bus. Di sinilah, di kawasan Wuppertal-Aprath, Jerman, perusahaan farmasi Bayer AG mengembangkan risetnya.
Di pengujung 2014, Bayer rupanya ingin memaparkan perspektif dan inovasi yang sudah dicapainya sepanjang tahun. Sebagai industri besar, biaya yang dianggarkan untuk penelitian mencapai 3,2 miliar euro (sekitar Rp 44,8 triliun) tahun 2014 saja. Jumlah ini untuk membiayai lebih dari 50 proyek farmasi yang nilainya 70 persen dari anggaran dan 30 persen sisanya untuk pengembangan produk pendukung pertanian.
Menurut Ketua Dewan Manajemen Bayer AG Dr Marijn Dekkers, tahun 2013 perusahaannya telah mengajukan hampir 500 paten untuk hasil riset di bidang ilmu hayat. ”Semua melalui proses yang serupa. Berawal dari riset di laboratorium sampai akhirnya menjadi solusi persoalan konsumen,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski tujuannya komersial, mengunjungi lembaga riset dengan dukungan dana luar biasa besar sungguh memicu rasa iri. Tidak perlu jauh-jauh, Pemerintah Indonesia hanya menganggarkan dana riset 0,1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Kalau PDB Indonesia tahun 2014 mencapai Rp 9.400 triliun, anggaran ini menjadi sangat tidak berarti apabila dibandingkan dengan anggaran Bayer di atas ataupun negara-negara lain, seperti Korea Selatan (3,6 persen PDB), Jepang (3,4 persen), Singapura (2,6 persen), dan Malaysia (0,8 persen).
Tidaklah mengherankan apabila riset nasional yang seharusnya jadi basis pengembangan sains dan teknologi bangsa menjadi tersendat perkembangannya. Banyak peneliti yang akhirnya memilih hijrah ke industri ataupun lembaga riset luar negeri dengan fasilitas kerja dan penghasilan yang jauh lebih baik.
Riset terapan vs dasar
Salah arah pengembangan riset nasional semakin menjadi ketika anggaran yang sedikit ini kemudian diprioritaskan pada riset terapan yang bisa lebih cepat dimanfaatkan hasilnya dibanding riset dasar yang lebih dipicu rasa ingin tahu—meski tak jarang hasilnya membuka kemanfaatan tak terduga.
Prof Dr Terry Mart, dosen Fisika Universitas Indonesia dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, sering menggunakan penemuan web (WWW) sebagai contoh. Awalnya hanya merupakan upaya komunikasi data para fisikawan lewat komputer untuk mendiskusikan penelitian mereka, sekarang WWW menjadi jaringan komunikasi, pengetahuan, dan hiburan dunia.
Masalah lain yang dihadapi dalam hal riset adalah panjangnya rentang waktu dari ide awal, proses riset, penemuan, hingga penerapannya. WWW perlu waktu sekitar 10 tahun hingga masuk ke sektor bisnis. Demikian pula halnya dengan jam atom—semula untuk membuktikan teori relativitas khusus Einstein—yang butuh waktu lebih panjang hingga menjelma menjadi sistem pemandu arah global positioning system (GPS) dengan nilai bisnis miliaran dollar.
Kembali ke Bayer, anggaran dan program penelitian yang terpadu telah menghasilkan produk-produk unggulan: obat untuk mengatasi stroke, gangguan mata, paru, dan menghambat pertumbuhan kanker, juga berbagai produk kimia untuk pertanian. Tanpa harus terpaku dengan nilai anggarannya, Indonesia barangkali bisa mencontoh Bayer dalam membangun iklim riset yang baik. Paling tidak dengan memberikan kesempatan kepada para penelitinya mengeksplorasi ide, mengeksekusinya di laboratorium, dan akhirnya memberi manfaat bagi banyak orang.
Oleh: AGNES ARISTIARINI
Sumber: Kompas, 28 Januari 2015