Belajar dari pengalaman adalah kunci kehidupan. Nasihat bijak ini telah banyak dituturkan. Namun, seperti disampaikan Friedrich Hegel, filsuf Jerman yang dikenal dengan metode Dialektika Idealisme, apa yang bisa kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak belajar dari sejarah.
Hukum Gravitasi tercipta dari peristiwa jatuhnya apel dari pohon ke tanah, di hadapan Newton yang bermenung. Bukan karena Newton memikirkan tentang Hukum Gravitasi, maka apel jatuh ke tanah. Dan, begitulah ilmu pengetahuan modern diciptakan; sebagai respons terhadap alam.
Masyarakat tradisional membahasakan teknik belajar dari perilaku alam yang kerap berulang itu sebagai ”ilmu titen”. Sebagaimana ilmu pengetahuan modern yang terus berkembang, pengetahuan lokal ini pun bukan produk yang statis. Dia adalah proses mengetahui yang harus terus diperbarui.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika tidak lagi dimodifikasi, ”pengetahuan”—baik modern maupun tradisional—bisa saja menyesatkan. Usia manusia berbilang puluhan tahun, dibandingkan siklus alam yang ribuan, bahkan jutaan tahun. Apalagi, alam juga memiliki kompleksitas yang menuntut kita harus rendah hati untuk terus belajar.
Terus belajar
Bencana longsor yang kembali menelan korban jiwa di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, akhir pekan lalu, sekali lagi mengingatkan kita agar terus belajar memahami alam.
Pada 2007, seperti dituturkan Faisal Fathani, ahli longsor dari Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada telah datang ke Karangkobar dan menyampaikan studi timnya bahwa kawasan itu menempati peringkat pertama rawan longsor. Faisal pun menawarkan alat deteksi pergerakan tanah atau ekstensometer, tetapi sayangnya tak ada kata sepakat dengan warga.
Padahal, bencana longsor di kawasan ini telah menyejarah. Sepanjang 2005-2014 saja, Banjarengara dilanda 22 longsor atau rata-rata 2,4 kali kejadian tiap tahunnya. Salah satu longsor besar yang melanda kawasan ini terjadi di Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, pada 2006 yang menewaskan 76 orang.
Maka, longsor yang melanda Dusun Jemblung pada Jumat (12/12) yang menewaskan 56 orang dan 52 orang masih dicari di mata sebagian ahli longsor tidaklah mengejutkan. Segenap syarat fisik longsor telah terpenuhi di sana.
Bagaimana pun bencana sudah terjadi. Yang kini bisa dilakukan adalah memulihkan dan memastikan pembangunan kembali kehidupan korban selamat menjadi lebih baik. Namun, tak kalah penting adalah belajar dari kejadian ini untuk memperbaiki manajemen bencana nasional.
Langkah awal, menurut Abdul Muhari, peneliti International Research Institute of Disaster Science (IRIDeS)-Jepang, adalah melakukan forensik kebencanaan guna mengetahui mekanisme kejadian ataupun mengetahui dinamika sosial-politik yang menyebabkan jatuhnya banyak korban.
Abdul Muhari menyebutkan, riset sangat diperlukan untuk memberikan dasar dalam menentukan upaya mitigasi tanah longsor ke depan. Inilah yang selama ini menjadi titik lemah kita, selain juga, yang paling penting, implementasi hasil riset untuk kebijakan.
Berdasar informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, selama 25 tahun terakhir tercatat total 2.181 kejadian tanah longsor di Indonesia. Namun, pelacakan yang dilakukan Muhari, data publikasi riset yang diindeks oleh Scopus (institusi index paper dan jurnal internasional), hanya terdapat 16 riset yang dipublikasikan terkait bencana longsor di Indonesia.
Adapun data di Google Scholar mencatat hanya 79 laporan terkait tanah longsor di Indonesia, atau rasio jumlah kejadian dengan jumlah riset tak lebih dari 3,62 persen. ”Jika kita bandingkan dengan Jepang, rasio antara jumlah kejadian dan riset biasanya antara 100 dan 600 persen,” katanya.
Artinya untuk setiap kejadian, ada 1-6 publikasi yang diterbitkan untuk bisa memahami satu kejadian. ”Inilah yang harus terus dipacu jika kita tidak mau selalu terperosok di lubang yang sama,” ujar Muhari.
Oleh: Ahmad Arif
Sumber: Kompas, 17 Desember 2014