Cita-cita masa remaja adalah dorongan yang begitu berkuasa. Cita-cita itu bisa mengubah seorang dara Jakarta nan manja, yang nyaris tak kenal cara menumpang bus umum, menjadi peneliti hiu paus. Dia bahagia hidup di kesenyapan Teluk Cendrawasih, Papua.
Langit sudah gelap di pesisir Teluk Cendrawasih pada pengujung Juni lalu. Lunas ganda Tuturuga, kapal milik WWF Indonesia, baru menggerus pasir pantai Kampung Napanyaur yang menjadi bagian Kabupaten Nabire.
Setelah sekitar 12 jam berlayar menyusuri teluk, inilah saat untuk beristirahat. Pernyataan itu berlaku bagi sebagian besar dari delapan penumpang Tuturuga, tetapi tidak bagi Casandra Tania.
Cassie (27), panggilannya, tak banyak berbeda dari anak muda kota besar. Tawanya lepas dan celotehnya ceplas-ceplos, jauh dari basa-basi. Ia mengaku tak ada yang rumit dari hobinya, yakni tidur, makan enak, dan membaca buku, seperti novel dan manga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pekerjaan yang digeluti Cassie dua tahun terakhir di Teluk Cendrawasih kontras dari penampilannya itu. Dia adalah Marine Species Officer WWF Indonesia yang berkantor di Wasior, ibu kota Kabupaten Teluk Wondama, kota kecil di Teluk Wandamen, Papua Barat.
Cassie adalah peneliti yang menjadi ujung tombak lembaga nirlaba yang berfokus pada pelestarian alam itu. Pekerjaannya memonitor ”kesehatan” habitat laut di Taman Nasional Teluk Cendrawasih. Menyelam guna mengamati dan mencatat terumbu karang, yang jadi langganan banyak ikan untuk berpijah, adalah bagian dari pekerjaannya.
Namun, fokus utamanya dalam dua tahun ini adalah hiu paus atau gurano bintang (Rhincodon typus). Dalam kurun waktu itu sudah 50 hiu bongsor tutul-tutul pemakan teri yang dia amati. Sebanyak 30 ekor di antaranya diberi nama ”kesayangan”, seperti Kenjo, Bardin, dan Dewi.
Pergerakan gurano bintang, si ikan penjelajah itu, dipantaunya terus. Demi pengamatan tersebut, Cassie harus menyelam, lalu menyematkan alat pemindai ke tubuh gurano bintang yang panjangnya mencapai 12 meter dengan bobot 20 ton. Itu berarti 334 kali bobot Cassie yang bertinggi badan 165 sentimeter.
Secara berkala ia juga mencari lagi gurano bintang, memotret mereka, dan mengambil data dari alat pemindai tersebut.
Selain itu, April lalu, bersama Brent Stewart, peneliti dari Sea World Research Institute, San Diego, Amerika Serikat, ia menyuntikkan kapsul mungil ke balik kulit di dekat sirip punggung gurano bintang. Dengan kapsul itu, alur penjelajahan si hiu tambun bisa terpantau satelit.
”Kami bisa mencatat hiu paus dari Teluk Cendrawasih; ada yang menjelajah sampai Samudra Pasifik di timur Filipina, ada juga yang sampai perairan Papua Niugini,” katanya.
Cassie bisa jadi satu-satunya perempuan peneliti yang mendedikasikan dan mengkhususkan diri pada hiu paus. ”Umumnya peneliti Indonesia, yang dari kampus, meneliti satu subyek dalam waktu tertentu saja,” kata Fahmi, pakar hiu dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.
Tenaga bantuan
Namun, Taman Nasional Teluk Cendrawasih amat luas. Perairan konservasi itu merentang 1.305.000 hektar atau 17,6 kali luas Jakarta. Agar tugasnya lancar, Cassie mempunyai tenaga bantuan. Misi itu pula yang harus dia jalani di Napanyaur, kampung yang penduduknya tak sampai 200 jiwa.
Malam itu, tak lama setelah Tuturuga ditambat, ia berjalan mencari rumah kepala kampung. Malam itu gelap, listrik bertenaga generator bagi sebagian rumah di permukiman itu mati.
Atas permintaan Cassie, sekitar tiga jam kemudian diadakan pertemuan di salah satu rumah warga. Ia berembuk dengan 11 pemuka dan pemuda kampung. Ia perlu beberapa sukarelawan dari kampung itu.
Sukarelawan yang rutin mencatat kehadiran gurano bintang di sejumlah perahu bagan di lepas pantai Napanyaur. Cassie, penyelam bersertifikat dive master (hanya setingkat di bawah instruktur) itu meyakinkan mereka bahwa tugas itu penting dan mulia.
Bergaul dengan sesama adalah bagian dari kerjanya. Dalam tiga-empat hari pelayaran, ia juga harus singgah di 20 perahu bagan di lepas pantai. Sebelumnya, ia menitipkan lembaran kertas pemantauan gurano bintang kepada nelayan bagan.
Itulah saat dia mengumpulkan kertas tersebut. Bagi nelayan yang baru, Cassie harus bertamu lebih lama, meminta kesediaan nelayan untuk memantau, dan menjelaskan caranya.
Menyelam di perairan dangkal dan laut dalam, menyuluh penduduk, mengemudi kapal motor, sampai memasak adalah gambaran yang jauh dari masa kecilnya.
”Anak mami”
Cassie lahir dan dibesarkan dalam keluarga kelas menengah di Jakarta. Kedua orangtuanya adalah dokter gigi. Mereka memasukkan si sulung dari tiga bersaudara itu ke sekolah yang berdisiplin ketat sampai tamat SMA.
Ia bisa disebut ”anak mami”. Pergi-pulang sekolah, les dan melakukan berbagai kegiatan, ia biasa diantar- jemput dengan mobil pribadi. Cassie kecil hingga remaja nyaris tak kenal bus kota dan tak piawai menawar ongkos bajaj.
Jadilah hingga kini ia tak hafal arah menuju Ciganjur, Jakarta Selatan, dari rumahnya di bilangan Tebet. Itu kontras dengan kepiawaiannya menentukan arah ke tanjung, atol, pulau mungil, dan kampung kecil di Teluk Cendrawasih.
Jalan hidupnya kini berawal dari liburan keluarga di Pantai Carita, Banten. Saat itu ia masih siswa SMP. ”Saya suka sekali liburan itu. Saya jadi pengin bekerja yang berkaitan dengan laut,” ceritanya.
Cita-cita itu pula yang membuatnya memilih studi Ilmu Kelautan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Dari kampus itu, penyuka sastra karya YB Mangunwijaya ini mulai mewujudkan mozaik cita-citanya. Ia aktif ikut meneliti dan mengikuti kegiatan yang terkait laut dan biologi kelautan.
Begitu lulus, dia memperoleh beasiswa pascasarjana dalam program multikampus di tiga universitas, yakni di Portugal, Perancis, dan Belanda. Program studi yang dia ambil sama, biologi kelautan.
Ia tak berpikir untuk meneruskan jenjang pendidikannya saat menuntaskan studi pascasarjana. ”Kalau tidak bekerja, saya enggak akan pintar-pintar,” ujarnya. Ia tak ingin hasil studinya sekadar menjadi teori tanpa bisa diaplikasikan.
Untuk itulah ia memburu pekerjaan sebagai peneliti biologi kelautan. Pilihannya, kembali ke kampung halaman. ”Kalau mau bekerja di laut, tempatnya memang di Indonesia dan tugas kami (peneliti WWF) adalah memberi data memadai sebagai masukan bagi pengelola (pemerintah) untuk mengetahui asetnya.”
Pekerjaan yang memaksa dia mandiri itu jauh dari gambaran hidup masa kecil Cassie, tetapi amat dia syukuri. ”Apa yang saya baca di buku kini di depan mata,” ungkapnya.
Casandra Tania
Lahir: Jakarta, 10 Maret 1986
Orangtua: drg Trisno Budiono (ayah) dan drg Hesawati Koesnadi (ibu)
Adik: Clarissa Tania dan Conchita Tania
Pendidikan:
S-1 Ilmu Kelautan IPB, 2009
S-2 Universidade do Algarve, Portugal; Universite Pierre et Marie Curie, Perancis; Royal Institute for Sea Researche, Belanda, 2011
Pekerjaan: Marine Species Officer WWF-Indonesia
Oleh: Yunas Santhani Azis
Sumber: Kompas, 24 Agustus 2013