Sepsis atau keracunan darah adalah “pembunuh tersembunyi” yang sering menyebabkan kematian di dunia. Namun, peneliti Inggris dan Amerika Serikat menemukan cara membantu mencegah sepsis dengan mempelajari sistem kekebalan anak-anak yang lebih tahan terhadap infeksi penyakit menular dibanding orang dewasa. Temuan ini diharapkan mempermudah penemuan obat sepsis.
Penelitian terobosan itu dilakukan tim ilmuwan internasional di Universitas Sheffield, Inggris, dan Fakultas Kesehatan Masyarakat TH Chan Harvard, AS, yang dimuat dalam jurnal Molecular Systems Biology. Hasil penelitian tersebut juga disiarkan sciencedaily.com edisi 19 Juni 2018.
SHARON UNTUK KOMPAS–Stasiun Senen menyiapkan area bermain untuk anak-anak di peron 3. Hal ini disambut baik oleh para orangtua dan juga anak-anak. Anak-anak lebih tahan terhadap penyakit infeksi dibandingkan orang dewasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peneliti dari Harvard di antaranya adalah Rose B Joachim dan John N Hutchinson, sedangkan dari Universitas Sheffield di antaranya Gabriel M Altschuler dan Winston A Hide.
Sepsis adalah reaksi terhadap infeksi yang menyebabkan tubuh menyerang organ dan jaringannya sendiri. Sepsis menyebabkan kematian lebih dari 20 juta orang per tahun di seluruh dunia. Sepsis juga bertanggung jawab atas lebih banyak kematian di Inggris dibandingkan gabungan kematian karena penyakit usus, payudara, dan kanker prostat. Sepsis sering disebut sebagai pembunuh tersembunyi karena gejala awalnya muncul sebagai flu, radang lambung dan usus, atau infeksi dada.
–Balai Laboratorium Kesehatan Dinas Kesehatan Jawa Barat mengambil sampel lendir pasien penyakit difteri di ruang isolasi Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (10/2), untuk dilakukan pemeriksaan kultur bakteri. Penyakit infeksi saluran pernapasan atas itu ditemukan di Kabupaten Cirebon, Majalengka, dan Indramayu. Bahkan, tiga anak di Cirebon dan seorang anak di Majalengka meninggal dunia, serta belasan pasien terjangkit difteri.
Kompas/Abdullah Fikri Ashri (IKI)–10-02-2016
Para peneliti tersebut telah mengidentifikasi respons kunci yang digunakan anak-anak untuk mengendalikan infeksi yang membuat mereka tahan terhadap banyak infeksi berat dan sepsis. Penelitian ini telah membantu para ilmuwan mengidentifikasi perbedaan utama dalam aktivitas jalur sel dalam darah orang dewasa dan anak-anak yang terkena sepsis. Penetapan jalur yang membantu mencegah sepsis adalah cara baru yang ampuh untuk menemukan obat untuk intervensi terhadap sepsis dan memberikan wawasan langsung ke penemuan obat untuk sepsis.
“Anak-anak secara alami lebih tahan terhadap banyak penyakit menular,” kata Profesor Winston Hide, Guru Besar Biologi Komputasi di Institute of Translational Neuroscience (SITraN) Universitas Sheffield.
–Petugas Palang Merah Sierra Leone bersiap untuk membawa mayat keluar dari sebuah rumah di Freetown pada 12 November 2014. Palang Merah telah menyediakan pemakaman yang aman dan bermartabat, dengan tim dari 9 atau 10 termasuk komunikator penerima di bertanggung jawab untuk menyikapi masyarakat, menjelaskan cara melindungi dari virus Ebola.–AFP/ FRANCISCO LEONG
Selama wabah seperti flu Spanyol dan Ebola, anak-anak dapat bertahan jauh lebih baik daripada orang dewasa. Dengan menganalisis profil darah anak-anak yang terinfeksi dan membandingkannya dengan orang dewasa dengan sepsis, peneliti dapat mengidentifikasi anak-anak yang ketahanan alaminya membantu mereka untuk menangkal infeksi.
Dengan menggunakan pelajaran yang telah dipelajari dari sistem kekebalan anak-anak, para ilmuwan sekarang dapat membuka cara mencegah dan mengendalikan penyakit. Temuan penelitian sekarang digunakan untuk merancang obat untuk penelitian pencegahan penyakit patologis lainnya termasuk Alzheimer.
KOMPAS/RIANA AFIFAH–Ibu dengan demensia alzheimer, Tien Suharya, mengikuti kegiatan Jalan Sehat Peduli Alzheimer di Jakarta, ditemani suaminya, Yaya Suharya, 2014.
Peneliti lain dari Departemen Biologi Molekuler Biomediik Universitas Ghent, Belgia, Steven Timmermans dan Claude Libert dalam jurnal yang sama memuji inovasi yang dilakukan Joachim dan timnya.
Menurut Timmermans dan Libert, penelitian sepsis dianggap sangat sulit. Selama beberapa dekade terakhir, investasi besar telah dilakukan baik oleh para peneliti akademis dan perusahaan farmasi, tetapi tidak ada obat yang bertahan dari uji klinis dan mencapai pasar. Beberapa perusahaan rugi besar karena upaya yang gagal ini.
“Masalah utama dari penelitian sebelumnya adalah terjemahan dari hewan pra-klinis ke situasi klinis yang sebenarnya (pada manusia),” tulis Timmermans dan Libert dalam jurnal Molecular Systems Biology.
Penggunaan model binatang seperti tikus dapat dilakukan dalam penelitian, tetapi perbedaan dalam menanggapi sepsis antara tikus dan manusia terlalu besar. Selain itu, ada perbedaan fisiologis mendasar antara tikus dan manusia. Misalnya, sepsis melibatkan krisis metabolik yang signifikan. Tikus, yang memiliki rasio permukaan dan volume yang jauh lebih besar daripada manusia, masuk ke hipotermia, sementara manusia tidak.
–Aktivitas peneliti muda di Laboratorium Bioteknologi di Cibinong Science Centre yang dikelola Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Cibinong, Kabupaten Bogor, Senin (24/10). –Kompas/Iwan Setiyawan (SET)
Oleh karena itu, aspek inovatif dari pendekatan Joachim dan kawan-kawan adalah bahwa mereka mampu memprediksi jalur yang penting dalam proses terjadinya sepsis, serta obat-obatan yang terkait dengan jalur ini, secara eksklusif berdasarkan data ekspresi gen sepsis dari sampel darah dari dua kelompok pasien dengan respon penyakit yang berbeda. Tidak ada model binatang yang terlibat dalam penelitian.
Pendekatan Joachim dan tim melalui metode Pathway Drug Network (PDN). Metode PDN unik mereka diterapkan pada data 167 orang dewasa (berusia 18-91 tahun, usia rata-rata 59 tahun) dan 95 pasien sepsis pra-pubertas (usia 5–11 tahun, usia rata-rata 8 tahun).
“Pendekatan mereka (Joachim dkk) dalam penggunaan PDN menjadi inspirasi untuk pendekatan penelitian masa depan,” tulis Timmermans dan Libert.–SUBUR TJAHJONO
Sumber: Kompas, 20 Juni 2018