Kementerian Kesehatan Singapura, awal Mei lalu, untuk pertama kalinya melaporkan kasus cacar monyet (monkeypox) pada seorang pria (usia 38 tahun) dari Nigeria (Kompas, 11/5/2019). Pria itu sedang mengikuti lokakarya di Singapura.
Warga Nigeria itu tiba di Singapura pada 28 April 2019, kemudian jatuh sakit dengan menunjukkan gejala demam, nyeri otot, dan kemerahan pada kulit tiga hari kemudian sehingga dibawa ke rumah sakit. Setelah didiagnosis sebagai cacar monyet, pasien dikarantina di National Centre for Infectious Disease (NCID), meskipun kondisinya relatif baik.
Sebagai tindakan kewaspadaan, 18 orang yang telah berdekatan dengan pasien selama mengikuti lokakarya: seorang panitia lokakarya dan empat pegawai hotel divaksinasi. Mereka kemudian juga dikarantina dan dimonitor selama 21 hari dari sejak mereka berdekatan dengan pasien. Tidak seorang pun dari mereka menunjukkan gejala klinis cacar monyet ketika diperiksa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jarang terjadi
Penularan antarmanusia memang sangat jarang terjadi. Penyakit ini biasanya sembuh sendiri dalam tempo 2-3 minggu. Beruntung, Singapura dapat mendiagnosis secara cepat sehingga kekhawatiran berlebihan bisa diredam.
Pasien cacar monyet ini diduga tertular di Afrika, tetapi tidak jelas bagaimana ia sampai tertular. Cacar monyet menular melalui kontak langsung dengan monyet penderita atau melalui cakaran rodensia pembawa virus ini.
Rodensia Afrika, tikus raksasa Gambia (Cricetomys gambianus), pernah menularkan cacar monyet di Amerika (Kompas, 17/6/2003). Tikus ini diimpor sebagai pet animal. Dalam tempo relatif singkat, penyakit tersebar di Wisconsin (21), Indiana (29), Illinois (12), dan New Jersey (1), melalui penjualan rodensia. Lebih dari 37.000 orang yang berisiko segera divaksin untuk menghentikan penyebaran.
Di Afrika, cacar monyet tersebar sporadis di Kongo, Kamerun, Nigeria, Pantai Gading, Sierra Leone, Sudan, dan Republik Afrika Tengah. Namun, penemuan cacar monyet pertama kali justru terjadi di luar Afrika, yakni di laboratorium primata Kopenhagen, Denmark (1958). Satwa primata memang banyak dipakai untuk penelitian bidang kedokteran manusia. Setelah temuan di Denmark, kemudian di Kongo (1970).
Untuk menyikapi kasus cacar monyet di Singapura, sebaiknya sekilas kita mengetahui virus cacar.
Virus cacar
Banyak jenis virus cacar yang termasuk dalam Famili Poxviridae. Salah satu yang dahulu sangat ditakuti adalah cacar manusia (small pox) oleh virus variola, yang menular terutama lewat kontak. Kemudian cacar sapi (cow pox) oleh vaccinia (CPXV), dan cacar monyet oleh MoxV. Kedua penyakit belakangan ini menular dari hewan ke manusia lewat kontak.
Di samping itu, ada cacar ayam (fowl pox), cacar babi (swine pox), cacar kambing/domba (goat/sheeppox), tetapi tidak menular ke manusia. Cacar ayam ditularkan oleh nyamuk.
Sebagai catatan, ada chicken pox pada manusia, penyebabnya adalah virus varicella-zoster. Pada kambing atau domba ada penyakit mirip cacar kambing/domba, tetapi menular ke manusia, yakni penyakit orf (scabby mouth disease).
Cacar manusia sangat ditakuti pada masa lalu karena sangat mudah menular dan cukup banyak memakan korban manusia. Penyakit ini telah ada sejak zaman sebelum Masehi.
Edward Jenner, seorang dokter dari Inggris, adalah orang yang paling berjasa memperkenalkan vaksinasi, untuk memberikan kekebalan bagi orang (1798). Ide pemberian vaksinasi ini muncul ketika Jenner mengamati pemerah susu sapi yang terserang cacar sapi pada tangannya, tidak ada seorang pun yang terserang cacar manusia. Dalam pikiran Jenner, orang yang tertular cacar sapi mempunyai kekebalan siang (cross immunity) dengan cacar manusia. Kemudian Jenner menggunakan virus cacar sapi untuk memberikan kekebalan terhadap cacar manusia, dan ternyata berhasil.
Pada 1967, WHO mencanangkan vaksinasi massal terhadap cacar di seluruh dunia sehingga akhirnya dunia bebas cacar manusia 1977. Tahun 1980, WHO menyerukan penghentian vaksinasi karena sudah bebas cacar. Ini adalah capaian luar biasa; satu-satunya eradikasi penyakit yang tersebar di berbagai penjuru dunia yang sukses sampai saat ini melalui vaksinasi.
Dampak bagi Indonesia
Kasus cacar monyet di Singapura sangat kecil, kalau tidak boleh dikatakan nihil, dampaknya bagi Indonesia. Alasannya, di Singapura sejauh ini penularan antarmanusia belum/tidak terjadi. Andaikan nanti terjadi penularan pada manusia, akan mudah dicegah dengan vaksinasi, seperti pengalaman cacar monyet di Amerika.
Kemungkinan masuknya cacar monyet ke Indonesia, pertama, lebih besar melalui turis asal Afrika atau wisatawan Indonesia yang kembali dari tamasya di Afrika, terutama setelah mengunjungi tempat satwa liar. Kedua, bisa juga terjadi lewat pertukaran satwa primata antarkebun binatang atau penggunaan satwa primata untuk penelitian medik atau produksi vaksin.
Menyimak masuknya cacar monyet ke Amerika, impor satwa kesayangan berupa rodensia, seperti tikus raksasa Gambia, juga bisa membawa virus ke Indonesia.
Andaikan cacar monyet masuk ke Indonesia pun kita tidak perlu panik karena penyebarannya akan sangat terbatas. Yang diperlukan adalah deteksi dini oleh laboratorium sehingga tidak terjadi kekhawatiran yang berlebihan.
Soeharsono Dokter Hewan; Penulis Buku Zoonosis dari Hewan Liar
Sumber: Kompas, 29 Mei 2019