Epidemi beban ganda obesitas dan diabetes tipe 2 sedang berlangsung. Menurut sebuah artikel di care.diabetesjournals.org edisi Mei 2011, sepanjang 1986-2000, prevalensi body mass index (BMI) 30 kg/m2 naik dua kali lipat. Bahkan, kasus BMI lebih dari 40 melonjak jadi empat kali. Makin besar angka BMI, orang bersangkutan kian gemuk.
Di dunia, lebih dari 2,5 juta kematian per tahun disebabkan oleh obesitas. Angka harapan hidup penderita obesitas akan berkurang 9 tahun pada perempuan dan 12 tahun pada laki-laki. Obesitas meningkatkan risiko diabetes, jantung, stroke, dan kanker.
Berdasarkan laporan Lancet edisi Mei 2014, Indonesia berada di peringkat ke-10 negara dengan tingkat obesitas tertinggi di dunia. Urutan pertama diduduki Amerika Serikat, disusul Tiongkok dan India. Riset yang dipimpin Institute for Health Metrics and Evaluation AS itu menyebutkan, jumlah orang gemuk di dunia naik dari 875 juta orang pada 1980 menjadi 2,1 miliar orang pada 2013.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Data Diabetes Atlas Update 2014 dari Federasi Diabetes Internasional (IDF) menunjukkan, lebih dari 387 juta warga dunia mengidap diabetes, 77 persen hidup di negara berkembang. Pada 2013, sekitar 5,1 juta orang meninggal karena diabetes.
Indonesia dengan 254,9 juta penduduk, terbanyak keempat di dunia, masuk 10 besar negara dengan kasus diabetes. Taksiran IDF, Indonesia memiliki 10 juta kasus diabetes pada 2015.
Penyebab diabetes adalah kurang gerak; pola makan berlebih karbohidrat, gula, dan lemak; kegemukan; serta merokok. Dalam jangka panjang, diabetes menimbulkan komplikasi berupa tekanan darah tinggi, gangguan jantung, stroke, gagal ginjal, kebutaan, neuropati, dan gangren. Diabetes mengurangi harapan hidup 12-14 tahun.
“Bypass” lambung
Operasi pemotongan lambung (gastric bypass surgery) dipandang sebagai terapi efektif untuk mengatasi obesitas. Jumlah operasi ini mencapai lebih dari 200.000 per tahun di AS dan setengah juta per tahun di seluruh dunia.
Ternyata, operasi bagi penyandang obesitas itu memberi manfaat tambahan, yakni mengontrol diabetes tipe 2. Riset menunjukkan, tingkat insulin penderita diabetes menjadi normal beberapa hari setelah operasi. Itu karena turunnya asupan makanan, berkurangnya penyerapan, serta perubahan anatomi lambung dan usus yang mengubah sistem inkretin (hormon yang dikeluarkan saluran pencernaan sebagai stimulator sekresi insulin) sehingga mendorong keseimbangan glukosa.
Dalam laporan di Journal of the American Medical Association Surgery, para peneliti Universitas Pittsburg, AS, meneliti 61 pasien diabetes tipe 2 berusia 25-55 tahun dengan obesitas. Didapatkan, 40 persen pasien yang menjalani operasi pemotongan lambung Roux-en-Y (Roux-en-Y gastric bypass/RYGB) terkontrol diabetesnya setelah tiga tahun. Demikian juga yang menjalani pengikatan lambung (laparoscopic adjustable gastric banding/LAGB). Berat badan pasien turun 66-80 persen dalam 18-24 bulan setelah operasi. Sementara mereka yang hanya mengubah gaya hidup dan minum obat diabetesnya kurang terkontrol.
Penelitian senada dilakukan Klinik Cleveland AS dan dipublikasi pada 2012. Hasilnya, operasi pemotongan lambung lebih efektif ketimbang obat untuk mengontrol diabetes tipe 2.
Di Tiongkok, operasi pemotongan lambung berkembang pesat. Salah satu ahlinya ialah Prof Wu Liang Ping, Kepala Pusat Bedah Bariatrik dan Diabetes Asia Pasifik Rumah Sakit Jinshazhou, Guangzhou. Ahli bedah digestif itu 20 tahun berkarier dan melakukan lebih dari 3.000 berbagai jenis operasi laparoskopi.
Laparoskopi adalah operasi minimal invasif yang dilakukan dengan membuat 3-5 lubang berdiameter 0,5-1 cm pada dinding perut. Melalui lubang itu, dimasukkan kamera mini dan alat-alat operasi. Dengan cara itu, bekas luka minimal dan pasien pulih lebih cepat. Pasien keluar 3-5 hari setelah operasi.
Menurut Wu, ada sejumlah metode operasi disesuaikan dengan kondisi pasien. Sejauh ini, RYGB cocok bagi pasien obesitas dan diabetes. Dokter memotong lambung atas dengan volume 30 ml. Usus juga dipotong. Usus halus langsung disambungkan dengan lambung atas, sedangkan sisa lambung beserta usus 12 jari disambungkan di tengah usus halus untuk mendapat enzim pencernaan.
Selain itu, ada pemotongan lambung dan usus (loop duodenojejunal bypass with sleeve gastrectomy/LDJB SG). Prosedur itu cocok bagi pasien obesitas berusia muda, tanpa gejala diabetes atau diabetes ringan. Lambung dikecilkan dan usus 12 jari diubah salurannya. Makanan dari lambung langsung masuk jejunum usus halus. Usus 12 jari disambungkan ke jejunum untuk mendapat enzim pencernaan. Prosedur lain, pengangkatan lengan lambung (sleeve gastrectomy/SG), yakni memperkecil volume lambung jadi 100 mililiter tanpa memotong usus.
Adapun pengikatan lambung (LAGB) baru dimulai di Tiongkok tahun 2000. Prosedur itu tak memotong lambung, hanya mengikat lambung sehingga volumenya menjadi lebih kecil.
Operasi pemotongan lambung membuat tubuh lebih efisien dalam memproses gula darah sehingga ketergantungan pasien pada insulin berkurang. Hal itu memperbaiki pankreas dan mengontrol diabetes.
Dalam kunjungan di RS Jinshazhou, 9 Maret 2016, para wartawan Indonesia berkesempatan menyaksikan Wu melaksanakan operasi pengangkatan lengan lambung (SG) lewat monitor. Menurut dr Dai Xiao Jiang yang mendampingi wartawan, yang dioperasi pasien pria berusia 35 tahun dengan diabetes, obesitas (berat badan 125 kg), dan tekanan darah tinggi.
Dalam operasi yang berlangsung sekitar 100 menit itu, dibuat empat lubang di perut pasien untuk memasukkan peralatan operasi. Lambung pasien dipotong, menghasilkan potongan rapi seperti retsleting yang lalu diperkuat dengan jahitan. Adapun sisa lambung dikeluarkan lewat lubang tempat masuk peralatan operasi.
Terkait risiko, Dai menyatakan, risiko umum bedah adalah kebocoran lambung. Namun, dengan persiapan rinci pada operasi minimal invasif, risiko dapat dikontrol.
Setelah operasi, pasien mengalami risiko kurang gizi karena asupan makanan sedikit dan tak semua zat gizi terserap baik. Pasien bisa kekurangan protein, kalori, mineral, dan vitamin. Karena itu, mantan pasien, Jerry Ang, menuturkan, ia terus minum suplemen zat besi, seng dan kalsium, serta vitamin B untuk mencegah kurang gizi.
Operasi pemotongan lambung juga dilakukan di Pusat Bedah Bariatrik dan Metabolik Internasional Asia Prio Beijing. Tim medis rumah sakit itu dipimpin Prof Huang Chih-kun.
Pasien Indonesia
Awal Maret, Wu mengoperasi tiga pasien Indonesia. Mereka adalah Sihol Manullang (54), Tapian Manullang (40), dan Hendra Gunawan (36). Sihol dan Tapian dari Jakarta adalah penderita diabetes. Sihol 14 tahun menderita diabetes dan terus minum obat. Kadar gula darahnya 250-650 mg/dl. Ia menjalani operasi RYGB. Sebelum operasi, kadar gula darahnya 270 mg/dl. Dua hari setelah operasi, gula darahnya turun jadi 144 mg/dl dan tak lagi minum obat diabetes.
Kenapa memilih operasi pemotongan lambung? “Saya percaya teknologi yang digunakan dan berharap sembuh dari diabetes,” katanya.
Adapun Hendra, asal Ketapang, Kalimantan Barat, menderita obesitas. Berat badannya 134 kilogram. “Saya senang makan apa saja,” kata Hendra. Tekanan darah Hendra cukup tinggi, 170/110. Setelah operasi LDJB SG, Hendra mengaku badannya terasa lebih ringan.
Berobat ke Tiongkok mungkin dirasa tidak mudah. Selain bahasa dan huruf berbeda, tak semua orang di negara itu bisa berbahasa Inggris. Pasien juga tidak tahu persis rumah sakit, dokter, dan terapi yang sesuai dengan penyakitnya.
Norgenhealth yang membuka cabang di Indonesia sejak Februari lalu memberikan pelayanan untuk mengurus keperluan itu. Menurut CEO Norgenhealth Tiongkok Lin Junxiong, agensi yang bermitra dengan sekitar 20 rumah sakit terkemuka di Tiongkok itu bisa menyediakan pilihan dokter, rumah sakit, dan biaya sesuai dengan masalah kesehatan pasien. Juga mengurus visa, perjalanan, dan segala kebutuhan pasien. — ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
—————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Cara Jitu Atasi Diabetes dan Obesitas”.