Nilai sakral sebuah riset terwujud ketika data hasil temuannya termanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat. Sekali dihasilkan, sebuah data riset akan mendapatkan napas kehidupan, sampai kapan pun, selama terinseminasi dalam wadah perpustakaan yang sehat, jantung datanya akan tetap berdenyut, hidup dan berbicara, berkomunikasi selamanya, dan merupakan sumber inspirasi bagi generasi ke generasi.
Namun, jika hasil sebuah riset tidak termanfaatkan, datanya tidak bernilai apa-apa. Nilai sakral yang luhur menjadi barang mati. Penyebab ketidaktermanfaatkannya, pertama, hasilnya dianggap tidak berkualitas, tidak ada nilai kontribusinya. Kedua, hasil riset berkualitas, berbobot kontribusi, tetapi tidak tersalurkan karena sistem tidak bekerja dengan baik dalam sebuah komunitas seperti negara.
Di Indonesia, akibat ketidakjelasan arah pascariset, sejumlah besar hasil riset yang baik kehilangan nilai sakralnya. Ia terkubur hidup-hidup, mati suri dalam laci perpustakaan, laboratorium periset, karena tidak mendapatkan saluran untuk ditindaklanjuti bagi kemaslahatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fenomena ini berlangsung terus-menerus. Alhasil, terjadi akumulasi hasil riset yang telah menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tahun ke tahun. Ujung dari masalah riset adalah kontribusinya belum signifikan terhadap pembangunan versus biaya besar.
Tahun 2017 saja disediakan dana Rp 24 triliun untuk membiayai sekitar 18.000 judul, tersebar di sejumlah institusi (Kompas, 17/1/2018). Jumlah ini dipandang masih rendah karena hanya 0,2 persen dari PDB, jauh di bawah negara-negara ASEAN pesaing Indonesia. Akan tetapi, angka ini tetap besar bagi sebuah negara yang memiliki biaya pembangunan relatif terbatas sehingga harus menentukan prioritas bidang yang lebih produktif dan ekonomis untuk didanai. Kontrasnya, keluhan kecilnya dana riset terus diwacanakan, tetapi hasil riset belum ditindaklanjuti secara optimal.
Peran swasta
Tampaknya belum ada pihak yang sepenuhnya jadi pengawal hasil pascariset. Lembaga riset dan periset dibiarkan berjibaku menjajaki peluang bersinergi dengan pihak swasta-industri guna mengadopsi hasil riset adalah kurang tepat karena mereka bukan disiapkan ke arah sana.
Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Menristek Kusmayanto Kadiman menerbitkan 100 judul hasil riset terpilih tepat di Hari Kebangkitan Iptek, diseleksi oleh sebuah tim pengusaha swasta untuk meningkatkan minat industriawan melakukan investasi berbasis hasil riset nasional. Namun, belum membudayanya partisipasi swasta dalam riset menyebabkan konsep ini belum teradopsi baik. Saat ini, baru sekitar 25 persen biaya riset berasal dari swasta-industri. Sejumlah negara sudah mencapai 80 persen. Ini masih jauh panggang dari api! Pihak swasta pun tak mau ambil risiko dalam ketidakpastian hasil dibandingkan mengimpor.
Padahal, kendati dalam kondisi keterbatasan dana, tidak sedikit capaian hasil berkualitas oleh para periset yang layak didesiminasikan ke masyarakat, baik di bidang pangan, energi terbarukan, biofertilizer, maupun biomaterial. Namun, hal itu masih terkendala sistem negara yang belum mampu menangkap dan menindaklanjutinya.
Contoh, daging sapi terus diimpor dengan mengorbankan devisa negara. Padahal, peta jalan hulu-hilir produksinya sudah terpetakan dengan baik oleh para periset sejumlah institusi, meliputi pembibitan berbasis sperm sexing yang mampu menyediakan anak sapi dengan jenis kelamin yang diinginkan, pakan regular berkualitas, kandang sederhana-sehat, dan kesiapan para peternak untuk dibina dalam sistem inti-plasma.
BUMN hasil riset
Di sisi lain, pemerintah terus mewacanakan kebijakan pembangunan berbasis iptek nasional. Artinya, hasil riset dalam negeri perlu diadopsi ke masyarakat. Sebagai pemangku kepentingan, sebenarnya pemerintah adalah pemilik hasil riset instansi sendiri sehingga jika hasil riset tidak ditindaklanjuti, hal itu sebuah kerugian dan kehilangan besar. Akan tetapi, dari mana harus dimulai?
Harus ada keberanian negara yang berinisiatif melakukan terobosan dalam kebijakan pembangunan berbasis iptek nasional. Perlu dibentuk sebuah BUMN untuk menghimpun dan menjaring pengetahuan dari hasil riset in-country yang berserakan di seantero penjuru negeri, diformulasi dan dituangkan ke dalam kegiatan ekonomi yang produktif dan kontributif. Adalah masih dalam koridor UU No 19/2003 tentang BUMN jika dana CSR sejumlah BUMN yang ada diurun sebagai modal awal untuk membentuk BUMN pengelola hasil riset ini. Selaras dengan amanat UU ini (Pasal 2 Ayat 1d) pula, BUMN ini seyogianya jadi perintis kegiatan usaha berbasis riset yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta.
Keunggulan pengambilalihan hasil riset oleh BUMN (pemerintah) terletak pada tiga hal. Pertama, ketersediaan dana yang pasti dan memadai. Kedua, kemampuan manajemen. Pemerintah telah cukup banyak makan garam, cakap, dan ajib dalam pengelolaan sejumlah BUMN sukses—seperti Pertamina, Jasa Marga, dan Bulog—sehingga terjamin keberhasilannya. Ketiga, fleksibilitas pemerintah yang tinggi menjamin kelebih-mudahan dalam bermanuver menghimpun data hasil riset yang berserakan itu.
Semua aspek ini ada dalam tangan dan kontrol pemerintah. Jika tidak, pemborosan sumber daya keuangan untuk kegiatan riset akan terus berlangsung tak berkesudahan tanpa hasil nyata!
B Paul Naiola Periset Purnabakti LIPI
Sumber: Kompas, 21 Juni 2018