Jika bangsa adalah sebuah tubuh, maka pengetahuan-dalam pengertiannya yang paling luas-adalah oksigen yang menentukan kesehatan dan keutuhan bangsa tersebut.
Buku-buku yang beredar, dan musik yang menjalar (dan itu bukan hanya musik Bob Dylan yang tahun lalu mendapat Hadiah Nobel untuk Sastra), mungkin bisa dilihat sebagai hemoglobin yang mengikat oksigen pengetahuan itu. Pustaka yang bergerak memburu pembaca bisa dilihat sebagai sel-sel darah merah yang mencoba mengedarkan oksigen itu ke bagian-bagian tubuh, termasuk yang paling jauh dari jantung.
Menyamakan antara relawan pustaka dan sel darah merah ini mungkin terlalu menyederhanakan banyak hal, dan karena itu bisa menyesatkan. Maklum, analogi ini dibuat oleh mahasiswa kedokteran yang gagal meneruskan kuliah karena terdeteksi mengidap lemah warna merah dan buta warna hijau. Tapi, mereka yang buta warna pun, bahkan buta total seperti Helen Keller, bisa melihat jelas betapa pengetahuan baru itu bisa benar-benar hadir bagai oksigen yang memungkinkan produksi energi yang sangat penting bagi kehidupan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Memburu pembaca
Sekitar 2.000 meter dari markas Noken Pustaka Papua di Pasirputih, Manokwari, ada satu kampung yang diisi para pendatang dari satu sub-suku Gunung Arfak. Ketika saya tiba di Manokwari, kampung itu masih disebut Kampung Vietnam. Permukiman dan penduduk kampung ini memang tampak lebih asing dan tertinggal dibandingkan tetangganya yang hanya berjarak hampir 1.000 meter.
Sekalipun ada sekolah gratis di wilayah itu, anak-anak perempuan di Kampung Vietnam dilarang bersekolah. Relawan Noken Pustaka berupaya mendatangi kampung itu membawa bacaan gratis dengan harapan buku-buku tersebut akan membantu anak-anak perempuan itu membangun kemampuan baca tulis. Anak-anak itu pun makin banyak yang bersemangat belajar karena mereka tahu, sekali mereka bisa membaca, mereka akan dapat membujuk bahkan mendesak orangtua mereka agar mereka diperbolehkan bersekolah. Di tangan anak-anak perempuan itu, buku menjadi senjata untuk membebaskan diri dari kurungan keluarga.
Beberapa puluh kilometer dari Kampung Vietnam, ada seorang kepala sekolah dari keluarga kepala suku yang agak kesal ketika rombongan Pustaka Bergerak Papua Barat datang mendadak tanpa pemberitahuan. Ia menyesali tak dapat menyuguhkan yang terbaik kepada rombongan, yang terdiri dari “Si Belang Kuda Pustaka”, Agus Mandowen si pemanggul noken, dan Anand Yunanto si pengendara “Motor 3 Roda Noken”. Seandainya pak kepala sekolah diberi tahu lebih awal, ia akan dengan senang hati mengajak warganya berburu rusa dan lobster untuk menjamu rombongan pustaka bergerak itu.
Memang yang dibawa bukanlah buku baru semua, tapi buat pak kepala sekolah, buku-buku itu adalah barang amat langka yang bisa memperbaiki kehidupan warganya. Pak kepala sekolah yang sempat mengenyam pendidikan formal itu bisa bercerita panjang lebar bagaimana buku telah mengubah hidupnya, dan ia juga ingin kehidupan warganya meningkat lebih baik.
Sementara bagi Asnan Khaerul dan para relawan Kandayan Pustaka yang bergerak di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, buku-buku sumbangan adalah senjata untuk melindungi dan memperbaiki kehidupan masyarakat asli dan para pendatang yang banyak bekerja di perkebunan. Godaan untuk berpindah ke wilayah seberang perbatasan dibentangkan setiap hari di depan mata. Tapi, para relawan itu, dan warga yang mereka dampingi, rupanya masih punya ikatan emosional kuat dengan tanah air bernama Indonesia. Dan, yang mereka harapkan agar bisa menangkal godaan dan merawat ikatan emosional itu hanyalah sumbangan buku, hemoglobin yang mengikat oksigen. Iswan Kinsank, relawan Kandayan Pustaka Kalimantan Utara, menyeru: “Kirimlah buku agar NKRI tetap utuh.”
Buat orang-orang ini, pengetahuan yang diikat dalam teks, atau dalam nada, sungguh mirip oksigen yang diikat dalam hemoglobin: sumber kekuatan untuk membakar metabolisme, membangkitkan daya hidup mengolah dunia. Jika buku dan aneka karya yang mengikat pengetahuan segar tak banyak beredar, maka sebuah bangsa bisa tampak seperti tubuh yang mengidap anemia. Kelesuan metabolisme yang kadang dirasakan dalam tubuh bangsa kita ini disebabkan bukan hanya oleh belum banyaknya sel darah merah, juga oleh kurang bagusnya pembuluh nadi. Banyak wilayah kita yang belum tertembus oleh jalan, dan para relawan jadi seperti sel darah merah yang harus menumbuhkan kaki sendiri dan tak semata mengandalkan dorongan dari jantung agar bisa bergerak mencapai pembaca yang nyaris tak terjangkau.
Darah dan sumsum
Pengembangan jaringan pembuluh nadi yang luas dan lancar adalah harapan besar yang juga ditunggu oleh Pustaka Bergerak. Disebut harapan besar karena untuk saat ini biaya pengiriman buku dari Jakarta ke Intan Jaya, Papua, misalnya, bisa demikian tinggi sehingga nilainya lebih mahal daripada harga buku.
Selain menyiasati sistem distribusi, membangun jalur, dan menerobos rintangan yang menghalangi jaringan pembuluh nadi, kita juga punya tantangan dalam memproduksi hemoglobin yang baik. Jika pustaka bergerak dinilai dari mobilitasnya memburu pembaca, pustaka tak bergerak dinilai dari kemampuannya membangun koleksi yang bagus dan unik. Jika relawan pustaka bergerak bisa dilihat sebagai sel darah merah pengangkut hemoglobin, maka pekerja pustaka tak bergerak yang secara sadar membangun koleksi yang segar dan kaya, menghimpun serpihan pengetahuan yang nyaris hilang ke dalam kliping, seperti yang dilakukan HB Jassin, Pramoedya, atau kawan-kawan di Indonesia Buku (I-Boekoe), misalnya, bisa dilihat sebagai sel sumsum yang memproduksi hemoglobin.
Pustaka tak bergerak yang ada di kampus-kampus dan lembaga-lembaga pengetahuan tentu harus ditakar prestasinya bukan hanya pada kemampuannya mengoleksi buku, juga pada kesuburannya memproduksi buku bagus, menghasilkan hemoglobin pengikat oksigen segar yang bisa diedarkan oleh sel darah merah ke seluruh tubuh.
Oksigen yang segar, pengetahuan yang unggul, selalu mengandung paradigma yang juga unggul, yang paling bisa menjelaskan dan menyatukan banyak hal. Sayang sekali bahwa masih banyak buku kita yang hanya mereproduksi paradigma lama yang sudah kehilangan kekuatan. Buku-buku seperti ini tak cukup banyak mengandung oksigen segar dan lebih banyak menyimpan karbon dioksida, sisa-sisa metabolisme, produk pandangan dunia lama, yang jika menumpuk dalam jumlah besar akan merusak kesehatan tubuh.
Oksigen paling segar, pengetahuan paling ampuh, yang membentuk kenyataan dunia saat ini, datang dari nalar kritis yang telah meledakkan revolusi ilmu dan teknologi. Memang, ada yang tampak mencemaskan dari revolusi ilmu dan teknologi saat ini. Nalar kritis yang habis-habisan meneliti dirinya dan semesta ini tampak seperti mempereteli segala yang dulu mulia yang disematkan pada dirinya, dan menemukan bahwa nalar kritis itu tak lain dari algoritme saja.
Tarian semesta
Saya juga pernah, lebih 10 tahun yang lalu, menganggap bahwa alam semesta seisinya ini adalah sejenis algoritme, sebuah “Labirin Berujung Tunggal” yang tujuannya adalah pengekalan dan penyempurnaan diri sistem. Anggapan ini masih bertahan sampai sekarang, tapi ketimbang melihat seluruh kenyataan ini sebagai algoritme semesta data yang dingin, ada unsur “api” yang membuat seluruh kenyataan semesta jadi semacam maha-sastra yang terus berproses, karya setengah jadi yang merindukan mitra pencipta untuk melampaui diri.
Dibantu perangkat deteksi nuklir, ilmu-ilmu kehidupan mutakhir telah mengubah seluruh tubuh organisme, termasuk manusia, menjadi draf teks sastra yang kaya dan menantang. Kalimat-kalimat yang kurang bagus dalam teks gen yang diwarisi dari leluhur bisa digunting dan dibuang. Kalimat-kalimat yang lebih bagus bisa saja dimasukkan ke dalam draf teks tersebut.
Ilmu-ilmu alam seperti kosmologi dan fisika nuklir yang dibimbing oleh matematika pelan-pelan juga bekerja dan bermimpi meringkas semesta raya ini menjadi sebaris rumus, selarik puisi. Puisi semesta raya ini mungkin saja juga perlu disunting, mungkin juga tidak. Tapi, cukup jelas bahwa puisi semesta itu menunggu sekaligus memberikan jalan bagi penciptaan puisi semesta lainnya.
Pemahaman tentang penyastraan semesta ini tentu juga mencakup pemahaman tentang hakikat sastra yang bertaut sangat erat dengan musik, tentang sejarah puisi yang berasal dari nyanyian, tentang lirik yang berasal dari lyre. Pemahaman seperti ini bukan hanya mengubah seluruh rasa cemas menjadi takjub, ia juga mengundang kita untuk ikut menari bersama dalam tarian semesta raya.
NIRWAN AHMAD ARSUKA, PENDIRI PUSTAKA BERGERAK
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Februari 2017, di halaman 7 dengan judul “Buku adalah Senjata”.