Indonesia harus bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan inovasi. Salah satu caranya dengan memperbaiki kualitas pendidikan di perguruan tinggi.
Kemajuan suatu negara saat ini didasari oleh penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan inovasi. Namun, kemampuan inovasi Indonesia masih kalah dibanding negara-negara ASEAN lainnya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam peringatan puncak Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) di Denpasar, Bali, Rabu (28/8/2019) mengingatkan makna penting dari Hakteknas adalah kemampuan bangsa menghasilkan inovasi-inovasi yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa, bukan peringatan harinya semata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA–Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla (kiri) yang didampingi Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir (kanan), meninjau stan peserta pameran Ritech Expo 2019 di Lapangan Puputan Margarana, Niti Mandala Renon, Denpasar, Bali, Rabu (28/8/2019). Pameran Ritech Expo 2019 digelar serangkaian peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) ke-24 di Denpasar.
“Inovasi harus mampu meningkatkan nilai tambah, efisiensi, biaya yang lebih murah, waktu yang lebih cepat, hingga peningkatan produktivitas,” katanya.
Inovasi juga harus berkembang tiap hari. Karena itu, Kalla mengritik lembaga riset yang selalu menampilkan karya inovasi yang sama selama empat kali perayaan Hakteknas yang dihadirinya dalam lima tahun terakhir. Kondisi itu membuat kemampuan inovasi Indonesia makin tertinggal dibanding negara-negara lain, khususnya di Asia Tenggara.
Indeks Inovasi Global (GII) 2018 menempatkan Indonesia pada rangking 85 dari 126 negara yang disurvei. Di ASEAN, peringkat Indonesia kalah dibanding SIngapura yang ada di peringkat 5, Malaysia (35), Thailand (44), Vietnam (45), Brunei Darussalam (67), Filipina (73) dan hanya unggul dari Kamboja (98).
Kemampuan inovasi Indonesia juga kalah dibanding negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang baik, seperti Korea Selatan (12), China (17), Turki (50), India (57) dan Arab Saudi (61).
“Itu berarti, Indonesia masih harus bekerja keras,” katanya.
Kunci kemajuan China, lanjut Kalla, adalah kemampuannya menirukan dan menambahi produk inovasi berbasis iptek yang sudah ada hingga akhirnya melahirkan inovasi baru. Cara itu juga dilakukan sejumlah negara lain sebab untuk melakukan inovasi memang tidak harus selalu dimulai dari nol karena akan membutuhkan waktu lama.
Perguruan tinggi
Langkah awal untuk memperbaiki kemampuan inovasi, lanjut Kalla, salah satunya adalah dengan memperbaiki kualitas pendidikan di perguruan tinggi.
Pada 2017, China memiliki sekitar 2.900an akademi dan universitas negeri dan jumlah universitas swasta yang tidak banyak. Sejak ekonomi China tumbuh tinggi pada 1990an, negara itu merestrukturisasi perguruan tingginya dengan menggabungkan sejumlah akademi dan universitas agar lebih efisien.
Sementara Indonesia saat ini memiliki sekitar 4.600 perguruan tinggi dalam berbagai bentuk dengan lebih separuhnya berupa sekolah tinggi. Namun, besarnya jumlah perguruan tinggi Indonesia itu nyatanya tak mendongkrak peringkat inovasi.
“Artinya, jumlah perguruan tinggi Indonesia yang banyak itu tidak relevan dengan hasilnya,” tambah Kalla.
Bangsa Indonesia juga perlu serius memikirkan masa depan, sama seperti cara yang dilakukan perusahaan untuk terus maju dan berkembang. Ke depan, Indonesia butuh lebih banyak inovasi yang menyangkut banyak hal yang tidak selalu terkait dengan teknologi informasi, tetapi bisa juga inovasi di bidang manufaktur atau layanan dan sistem.
“Indonesia masih impor beras atau sapi, artinya inovasi sangat dibutuhkan,” tambahnya.
Perguruan tinggi memiliki kesempatan besar untuk melakukan inovasi. Namun, tujuan akhir dari inovasi adalah produk-produk atau layanan yang bisa dikomersialisasikan, bukan sekedar berakhir dalam publikasi di jurnal ilmiah semata.
Budaya ilmiah juga perlu ditumbuhkan di masyarakat, mulai dari budaya membaca hingga melakukan riset. Terbangunnya budaya maju akan meningkatkan mutu dan kemajuan bangsa.
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir sependapat dengan pernyataan Wakil Presiden. Untuk itu, Kemristekdikti mendorong agar hasil riset perguruan tinggi dan lembaga penelitian tidak berhenti hanya sampai tahap pengembangan purwarupa semata. Hasil riset harus dapat dimanfaatkan dan digunakan masyarakat, termasuk industri.
“Inovasi dari hasil riset harus dilakukan hilirisasi dan komersialisasi. Artinya, secara ekonomi, pengembangan hasil riset harus menghasilkan profit dan menguntungkan pengembangnya,” katanya.
Pemerintah juga mendorong agar perguruan tinggi membangun inkubasi bisnis sebagai bagian ekosistem bagi pengembangan perusahaan pemula (start up) di daerah. Indonesia memiliki potensi besar untuk tumbuhnya perusahaan pemula menjadi komersial.
“Dalam kurun lima tahun sejak 2014, Kemristekdikti sudah mengembangkan 1.330 start up yang dikomersialisasikan. Ini sangat tinggi,” tambahnya.–M ZAID WAHYUDI / COKORDA YUDISTIRA
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 29 Agustus 2019