Urine sapi yang awalnya hanya merupakan limbah biogas kini bisa dimanfaatkan sebagai bioslurry untuk pupuk organik penyubur tanaman. Pemanfaatan limbah ini selain bisa melestarikan lingkungan diharapkan juga bisa memberdayakan masyarakat dari sektor ekonomi dan sosial. Pemupukan dengan bioslurry lebih efektif dibandingkan dengan pupuk kimia.
Pemanfaatan urine sapi untuk pupuk itu dipraktikkan di Desa Keningar, Sumber, dan Ngargomulyo di Kecamatan Dukun, Magelang, Jawa Tengah. Meski program tersebut baru berjalan kurang dari setahun, manfaatnya sudah sangat dirasakan warga.
“Awalnya warga menampung kotoran sapi dengan membuat biodigester. Dari kotoran yang ditampung ada bioslurry (campuran urine dengan feses cair) yang selama ini menjadi limbah, tetapi kemudian diujicobakan sebagai pupuk organik,” kata Ines Septi Arsiningtyas, petugas bidang konservasi Yayasan Sedya Samahita Memetri Indonesia, di Magelang, Senin (7/8). Di ketiga desa tersebut ada 10 biodigester.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bioslurry itu kemudian diambil dari bak penampung yang tersambung ke biodigester dan ditempatkan ke tong-tong plastik yang diletakkan di pusat pembibitan milik kelompok tani setempat. Setelah itu dicampur dengan molase gula tebu dan difermentasikan selama sepekan.
“Setelah sepekan baru bisa digunakan sebagai pupuk. Caranya dilarutkan dengan air dengan perbandingan 1:5. Baru disemprotkan ke tanaman,” kata Ines. Tanaman yang diberi nutrisi bioslurry adalah kayu sengon, kayu afrika, dan cabai rawit. Bioslurry lebih bernutrisi daripada pupuk kandang biasa karena mengandung banyak urea dan nitrogen. Bentuknya yang cair juga memudahkannya diserap tanaman.
Purwanti, petani cabai dari Desa Keningar, mengungkapkan, perubahan tanaman yang dipupuk dengan bioslurry sangat drastis. Tanaman cabainya subur, berbuah lebat, dan produktif. Dengan pupuk kimia, cabai hanya bisa dipanen 10 kali dalam satu musim tanam, yaitu 4-5 bulan. Pada musim tanam lalu, ia mengganti pupuk dengan bioslurry. Hasilnya, cabai bisa dipanen hingga 25 kali tanpa kehilangan kesuburan.
“Setiap kali panen dapat 30 kilogram. Kalau dulu pasti selalu berkurang,” ujar Purwanti. Bagi dia, hal ini sangat menguntungkan karena kebun cabainya berada di lahan bekas tambang batu dan pasir yang kesuburannya tergolong rendah.
Saat membeli pupuk kimia, Purwanti harus mengeluarkan uang Rp 2 juta-Rp 4 juta per musim panen. Artinya, biaya yang ia keluarkan dalam satu musim tanam bisa mencapai Rp 40 juta. Total untuk satu tahun mencapai Rp 80 juta. Dengan pupuk bioslurry, ia tidak mengeluarkan uang sepeser pun.
Program bioslurry ini merupakan salah satu proposal pemenang sayembara yang diadakan Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia (ICCTF) yang bernaung di bawah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Direktur Eksekutif ICCTF Tonny Wagey mengatakan, program yang mereka ajukan harus sesuai dengan misi pemerintah terkait rencana aksi nasional untuk gas rumah kaca dan perubahan iklim. (DNE)
————————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Agustus 2017, di halaman 16 dengan judul “”Bioslurry” Efektif untuk Penyubur Tanaman”.