Pembuatan pakan ikan selama ini masih menyisakan limbah cair sisa pengolahan ikan sebagai bahan bakunya. Limbah cair yang mencemari lingkungan kini telah dapat diatasi dengan menerapkan sistem bak pengurai limbah secara biologis atau biodigester.
“Uji coba biodigester dilakukan di zona pembuatan tepung ikan Pelabuhan Perikanan Tegalsari, Tegal,” kata pakar teknologi pakan dan nutrisi ikan Mas Tri Djoko Sunarno dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Jakarta, Minggu (15/3).
Pengurai limbah secara biologis terdiri atas tiga bak yang masing-masing berkapasitas 1 ton. Penguraian secara biologis tersebut dilakukan dengan cara limbah cair hasil pengolahan ikan dicampur dengan larutan biakan mikroba sebanyak 0,5 liter. Lalu, campuran cairan tersebut dimasukkan ke dalam bak. “Dalam empat hari, bau menyengatnya sudah hilang,” ujar Tri Djoko.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hasil penguraian oleh mikroba yang diisolasi dari tanah tersebut berupa sisa protein yang mengendap di dasar bak. Endapan itu dapat digunakan sebagai pupuk padat, sedangkan air yang terurai dapat dibuang langsung ke lingkungan.
Meski demikian, menurut Tri Djoko, sistem pengolahan itu masih perlu dikembangkan lebih lanjut. “Sebab, air hasil penguraian mikroba di-digester masih mengandung kadar garam yang tinggi,” lanjutnya.
Oleh karena itu, untuk menurunkan salinitas air, akan digunakan mikroba hasil isolasi dari kawasan air payau. Penelitian dan pengembangan penguraian limbah industri pakan ikan secara biologis akan dilanjutkan tahun 2015.
Penerapan penguraian secara biologis tersebut terkait dengan program nasional pengembangan sentra tepung ikan di 11 lokasi di Indonesia, antara lain di Kampar (Riau), Tegal (Jawa Tengah), Gunung Kidul (Yogyakarta), hingga Sorong (Papua Barat). Program itu akan berjalan selama lima tahun.
Terbengkalai
Pengoperasian unit pengolah limbah di Pelabuhan Perikanan Tegalsari setelah uji coba tahun 2013 telah diserahkan kepada kelompok pengolah ikan Sari Ulam. Namun, pada kunjungan Catur Pramono Adi, Kepala Bidang Pelayanan Teknis Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, biodigester dalam keadaan terbengkalai.
Kondisi itu disayangkan karena untuk pembangunan unit biodigester mengeluarkan dana hingga miliaran rupiah. Selain itu, penyediaan sistem pengolah tersebut untuk memenuhi peraturan daerah Wali Kota Tegal yang akan mengenakan sanksi penutupan kepada industri tepung ikan yang masih mencemari lingkungan.
Menurut Ketua Kelompok Sari Ulam Budi, para pengolah tidak lagi menggunakan bak pengolah tersebut karena dianggap tidak efisien. Pada pembuatan tepung ikan, cacahan ikan tidak dipres lagi untuk mengeluarkan cairan, tetapi langsung dimasukkan oven hingga kering. Cara tersebut tak menimbulkan cairan limbah.
Menanggapi praktik yang dilakukan para pengolah tepung itu, Tri Djoko menilai cara tersebut tidak memenuhi standar produk tepung ikan. Hal itu karena pada pembakaran langsung akan menghasilkan kadar abu yang tinggi dan kandungan asam amino yang tidak memenuhi standar. (YUN)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Maret 2015, di halaman 14 dengan judul “”Biodigester” Diterapkan di Sentra Pakan Ikan”.