Sikap meremehkan dan terlambat menyadari dahsyatnya ancaman Covid-19 telah menghadapkan Indonesia di tubir bencana. Kini, kita harus bersiap pada kemungkinan yang terburuk.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Spanduk himbauan karantina wilayah atau lockdown terbatas di gerbang utama perumahan di kawasan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Senin (30/3/2020). Warga kampung dan perumahan mulai melakukan tindakan antisipasi penyebaran virus korona baru dengan membatasi tamu, kurir hingga ojek daring memasuki wilayah tempat tinggal mereka.
Setelah dua bulan menyangkal risiko, bahkan membuat lelucon tentang virus korona baru ini, Indonesia belum juga menunjukkan langkah progresif untuk menghentikan pandemi. Kegagalan anjuran menjaga jarak fisik 14 hari pertama, diikuti dengan langkah gamang berikutnya. Kini, masyarakat harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, untuk mengalahkan virus SARS-CoV2, pemicu penyakit infeksi Covid-19 yang bisa berbiak secara eksponensial ini, kita harus berpacu dengan waktu. Pertumbuhan eksponensial ini artinya, jika jumlah kasus meningkat 2 kali setiap hari, di mana setiap satu pasien menularkan ke dua orang saja, maka jumlah kasus pada hari ke-7 sudah mencapai 64.
Karena sifatnya yang eksponensial, jika dari 2 kasus pertama menjadi 4 kasus hanya butuh 2 hari. Demikian seterusnya hingga dari 1.000 kasus menjadi 2.000 kasus dan 10.000 menjadi 20.000 juga hanya dibutuhkan waktu masing-masing dua hari.
Dengan perhitungan ini Iqbal Elyazar, peneliti biostatistik di Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU), memperkirakan penularan COVID-19 di Indonesia mencapai 71.000 pada akhir April 2020. Dalam perhitungan tersebut, Iqbal menggunakan waku penggandaan kasus di Indonesia selama 5 hari atau menggunakan model Italia.
Padahal, berdasar data di Our World in Data, waktu penggandaan Covid-19 di Indonesia rata-rata 2 hari, atau jumlah kasus berlipat dua setiap dua hari. Ini berarti, lonjakan kasus di Indonesia bisa lebih parah dari Italia.
ISTIMEWA–Sejumlah tenaga kesehatan menangani wabah Covid-19 yang disebebkan virus korona baru (SARS-CoV-2) dengan bantuan teknologi. Alibaba Cloud menyediakan sejumlah aplikasi berbasis teknologi untuk menekan pandemi Covid-19.
Pada Senin (30/3) angka kasus positif di Indonesia mencapai 1.414 atau bertambah 129 kasus baru dibandingkan sehari sebelumnya. Sedangkan yang sembuh 75 pasien dan meninggal menjadi 122 orang sehingga agka kematian rata-rata sebesar.
Angka ini dipastikan jauh lebih kecil dibandingkan kasus di lapangan. Pusat Pemodelan Matematika Penyakit Infeksi (CMMID) di London menyebutkan, hanya sekitar 2 persen dari infeksi Covid-19 di Indonesia yang telah dilaporkan. Maka, pada awal pekan ini harusnya sudah ada 70.700 orang yang terinfeksi, dan mereka berpotensi terus menulari orang lain.
Kesenjangan antara kasus dan yang dilaporkan ini, disebabkan terbatasnya kapasitas pemeriksaan, yaitu sekitar 1.000 per hari dengan rekor tertinggi 1.439 pada 27 Maret (KawalCovid-19). Angka ini masih paling rendah dibandingkan negara lain. Bandingkan dengan Korea Selatan yang bisa melakukan tes 10.000 per hari.
Ainun Najib dari KawalCovid-19 menyebutkan, untuk melihat kasus infeksi riil Covid-19 di Indonesia sebaiknya dengan melihat tingginya angka kematian yang per Senin mencapai 8,63 persen dan merupakan yang tertinggi setelah Italia. Seperti disampaikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, untuk Jakarta saja selama Mare ini sebanyak 283 orang dikubur dengan prosedur penanganan pasien korona.
Kita juga bisa melihat rumah sakit yang sudah penuh dan kewalahan, sehingga Kementerian Kesehatan menginstruksikan untuk merawat hanya yang sudah berat gejalanya, sedangkan yang ringan disarankan isolasi mandiri. Akibatnya, banyak pasien yang meninggal sebelum dites.
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO–Warga di Desa Karangrau, Kecamatan Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah bergotong-royong menyemprotkan disinfektan secara mandiri, Minggu (29/3/2020) untuk mencegah penyebaran virus korona jenis baru.
Terlambat
Selain faktor kurangnya pemeriksaan, kesenjangan antara angka riil dan kasus yang dikonfirmasi disebabkan keterlambatan pelaporan kasus pertama. “Menurut perhitungan kami, Covid-19 sebenarnya sudah bersirkulasi domestik di Indonesia sejak awal Februari 2020,” kata ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Iwan Aran.
Menurut kajian Iwan bersama para ahli epidemiologi dan biostatistik UI lainnya yaitu Pandu Riono, Muhammad N Farid, dan Hafizah Jusril, kasus positif Covid-19 di Indonesia seharusnya sudah mencapai 3.500 kasus pada awal Maret 2020, saat Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya dua kasus pertama di Depok, Jawa Barat.
Dengan kondisi saat ini, strategi untuk menahan bencana Covid-19 di Indonesia menjadi sangat terbatas. Untuk menghadapi penyakit infeksi seperti Covid-19 ini, tahap yang bisa dilakukan sesuai skala wabah adalah dengan deteksi dini, mencegah penularan lanjut melalui pelacakan riwayat kontak, isolasi mandiri, pemeriksaan massal, dan menjaga jarak fisik.
Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan relatif berhasil melakukan deteksi dini dan penelusuran riwayat kontak, selain melakukan tes secara masif untuk menekan sebaran wabah. Mereka juga menerapkan isolasi mandiri serta menjaga jarak fisik dengan menutup sekolah, larangan berkerumun, dan mengurangi perjalanan.
Masing-masing negara ini tidak menerapkan lockdown atau karantina wilayah, namun memilih menerapkan disiplin individu, walaupun tetap dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya. Sebelumnya, mereka juga relatif dini menutup arus masuk orang dari China, yang menjadi sumber awal wabah.
Kisah berbeda dialami Italia. Sekalipun telah melaporkan adanya kasus pertaa pada 31 Januari 2020, namun mereka nyaris tidak menerapkan deteksi dini secara ketat. Pintu wisata tetap dibuka, dan mereka masih bersantai hingga lonjakan kematian terjadi di awal Maret 2020.
Pada 8 Maret mereka terpaksa mengarantina seluruh negeri. Namun, Covid-19 telanjur menyebar luas, terutama karena arus mudik telah terjadi sebelum karantina wilayah diberlakukan. Anak-anak muda dari kota yang pulang ke desa itu membawa virus mematikan bagi orang lanjut usia. Kini, Italia menghadapi 5.000 kasus baru 700 orang meninggal per hari. Adapun total kasus di negara itu saat ini 97.689 orang dan 10.779 pasien meninggal.
Hampir serupa dengan Italia, Indonesia terlambat menutup arus masuk dari negara sumber awal wabah, gagal dalam deteksi dini, penelusuran riwayat kontak, maupun tes massal. Akibatnya, virus bersirkulasi tanpa kendali.
Sejak pertengahan Maret, para ahli telah merekomendasikan adanya karantina wilayah atau lock down di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi, yang jadi episenter wabah. Dewan Guru Besar UI juga merekomendasikan karantina wilayah secara selektif.
Dalam rekomendasi yang ditandatangani pada 26 Maret 2020 ini disebutkan, local lockdown atau karantina wilayah menurut Undang Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, merupakan upaya menutup sebuah wilayah atau provinsi yang terjangkit Covid-19.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Sepeda motor melintas di jalan protokol Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat yang lengang, Sabtu (28/3/2020). Penularan Covid-19 kian meluas di Tanah Air menuntut langkah lebih progresif dari pemerintah untuk mengatasinya. Salah satu opsi yang perlu dipertimbangkan adalah melakukan karantina wilayah yang jadi pusat penyebaran penyakit disebabkan virus korona baru ini. DKI Jakarta merupakan wilayah dengan jumlah pasien Covid-19 terbanyak di banding daerah lain.
Hal itu dimaksudkan untuk memutuskan rantai penularan di dalam maupun diluar wilayah, sebagaimana sukses dilakukan di China. Karantina wilayah disarankan dilakukan selama minimal 14 hari, di provinsi-provinsi yang menjadi pusat wabah Covid-19 atau daerah lain dengan pertimbangan.
Rekomendasi ini juga dilengkapi dengan kebutuhan dana yang harus disiapkan negara untuk menjamin kehidupan masyarakat di wilayah karantina Jakarta selama dua minggu. Negara perlu mengeluarkan anggaran sekitar Rp 4 triliun untuk biaya karantina wilayah Jakarta.
Namun, Presiden Jokowi Widodo memilih anjuran membatasi jarak fisik, dengan tanpa sanksi. Padahal, setelah dua minggu anjuran ini terbukti tidak manjur. Wabah Covid-19 kian menjadi, karena pemudik mulai meninggalkan Jabodetabek yang melesu ekonominya. Mereka terpaksa pulang karena tidak adanya jaminan sosial jika bertahan di tempat wabah.
Pada Senin ini, Presiden menyatakan akan melakukan pembatasan sosial berskala besar, namun bukan karantina. “Kebijakan ini belum progresif, mungkin karena Pemerina tidak berani menjamin kehidupan di wilayah karantina,” kata Pandu Riono.
Dengan tiadanya langkah progresif, kini kita harus bersiap menghadapi kondisi terburuk. Menurut proyeksi Iwan dan timnya, jika tanpa intervensi maka orang yang terinfeksi Covid-19 di Indonesia dengan kategori parah dan butuh layanan rumah sakit bisa mendekati 2,5 juta pada pertengahan Mei 2020. Dengan intervensi seperti saat ini, yaitu melalui anjuran menjaga jarak sosial dan membatasi kerumunan massal dengan cakupan rendah masih bisa terjadi 1,8 juta orang yang harus dirawat.
Sementara itu, intervensi moderat melalui tes massal dengan cakupan rendah dan mengharuskan jaga jarak sosial dengan penutupan seluruh kegiatan sekolah dan bisnis, maka orang yang butuh dirawat karena Covid-19 mencapai 1,2 juta orang. Dengan intervensi tertinggi, yaitu karantina wilayah untuk membatasi pergerakan dan tes massal skala luas, orang yang butuh perawatan intensif mencapai 600.000.
Dengan menghitung kapasitas rumah sakit dan layanan medis, Iwan menyebutkan, dari empat skenario ini, jika tanpa intervensi angka kematian di Indonesia bisa mencapai 240.244 orang, dengan intervensi rendah 144.266 orang, intervensi moderat 47.984 orang, dan intervensi tertinggi 11.898 orang.
Kini, harapan kita tinggal pada daya tahan fisik dan juga ikatan sosial di masyarakat. Upaya mitigatif dengan menutup desa, bahkan hingga level rukun tetangga, diharapkan bisa meminimalkan angka korban itu, dan meredam gejolak sosial yang bisa memperdalam dampak wabah.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 31 Maret 2020