There comes a time, in everybody’s life
When alone is not enough, to make things right
There comes a time, when we need to ask for help.
Penggalan lagu “There Comes A Time” yang dinyanyikan Celine Dion tersebut menemani perjalanan rombongan besar NextDev Creative and Productive Telkomsel ke Korea Selatan, akhir November 2015. Saat itu, tiga komunitas kreatif asal Indonesia diboyong Telkomsel untuk belajar mengenai bisnis teknologi di negara ginseng tersebut.
Tiga komunitas pemenang kegiatan CSR Telkomsel tersebut adalah komunitas Rumah Sinau, Gandeng Tangan, dan Jejakku. Ketiganya sedang merintis bisnis kreatif berbasis, dengan tetap mengusung nilai-nilai sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rumah Sinau, misalnya, merupakan pengembang aplikasi berbasis situs web terkait pendidikan. Rumah Sinau dibangun tiga orang, yaitu Abdul Basir (Abas), Aprilia Nur Fitrianti, dan Lintang Matari Hasani. Abas dan April adalah guru biologi SMA. Sementara Lintang adalah mantan murid Abas dan kini sedang menempuh kuliah di universitas. Rumah Sinau berfungsi mempertemukan siswa yang ingin les, lokasi les terdekat, dan tutor les. Semuanya dipertemukan via situs web Rumah Sinau.
Pelajar membayar sejumlah uang, pemilik ruangan kosong mendapatkan uang sewa, tutor mendapatkan penghasilan, dan Rumah Sinau memiliki sedikit modal untuk menggerakkan sistem tersebut. “Idenya adalah kami ingin memanfaatkan ruang kosong di rumah, kantor, kampus, atau mal menjadi tempat les siswa. Siswa tidak perlu jauh-jauh mencari lokasi les, cukup akan diarahkan ke lokasi terdekatnya saat itu. Ini menghemat waktu siswa, menyebabkan waktu mereka tidak habis di jalan untuk pergi ke tempat les yang jauh sehingga kondisi siswa tetap fit hingga keesokan hari mereka berangkat sekolah lagi. Harapannya, dengan kondisi itu, secara akademis siswa akan terbantu,” tutur Abas.
Sistem Rumah Sinau tersebut sudah digunakan siswa-siswa di sejumlah tempat, seperti DKI Jakarta hingga Jawa Tengah. Sistem itu sudah dibuat sejak tahun 2014.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI—Pemenang NextDev Telkomsel di kantor Microsoft Indonesia, awal Desember lalu. Sejumlah anak muda tersebut merupakan pengembang aplikasi pemula bersifat sosial dan bisnis yang terjaring Telkomsel. Mereka diajak untuk mengunjungi sejumlah perusahaan di Korea Selatan untuk menimba ilmu.
Komunitas kedua adalah Gandeng Tangan. Komunitas ini dikembangkan Betania Jezamin Setiawan (Jesie), mantan bankir yang kini mencurahkan waktunya di dunia digital, beserta dua temannya, yaitu Dhini Hidayati dan Nur Roni Dinnurohman.
Seperti komunitas sebelumnya, Gandeng Tangan merupakan aplikasi digital bagi wiraswasta di bidang sosial untuk mendapat suntikan modal dari para “donor” yang dijaring Gandeng Tangan dengan sifat berupa pinjaman selama 2 tahun.
“Pengusaha bidang sosial yang kesulitan modal bisa melayangkan permohonan, lalu kami carikan pinjaman dari banyak orang. Pinjaman ini sifatnya harus dikembalikan setelah dua tahun saat usaha dinilai sudah mulai mendapat keuntungan,” kata Jesie. Pendonor biasanya mau meminjamkan uangnya (mulai dari Rp 50.000 per orang hingga jutaan rupiah) karena merasa hal itu merupakan salah satu upaya menyimpan uang mereka agar tidak habis di tengah jalan.
Gandeng Tangan khusus membantu mencarikan pinjaman hanya untuk usaha yang bersifat sosial (tidak murni bisnis) karena memang ide awalnya adalah lebih bersifat sosial. Gandeng Tangan mendapat pemasukan 5 persen dari total pinjaman yang terhimpun untuk suatu usaha.
Pengusaha yang terbantu Gandeng Tangan, misalnya pengusaha anyaman bambu di Desa Duntana Lewoingu, Nusa Tenggara Timur. Saat itu, suatu desa di NTT memiliki angka kematian ibu melahirkan tinggi. Hal itu karena ibu hamil masih turun ke ladang untuk bertani. Akibatnya, mereka rentan mengalami keguguran atau kecelakaan kehamilan karena kelelahan. Muncullah pengusaha muda di sana yang ingin menampung para ibu hamil tersebut agar tetap bisa bekerja, tetapi dari rumah. Akhirnya dibuatlah usaha membuat anyaman, yang hasilnya dijual ke Bali dan Lombok. Di sini, ibu hamil pun tetap bisa berpenghasilan tanpa harus berisiko membahayakan bayi dan jiwanya.
Adapun komunitas ketiga adalah di bidang wisata, yaitu Jejakku. Komunitas ini diwakili dua orang, yaitu Luthfi Ali dan Ahimsa Denhas Afrizal. Komunitas ini membangun aplikasi berbasis Android yang menghubungkan wisatawan, trip advisor, dan masyarakat. Jejakku tidak sekadar mengarahkan orang berwisata di suatu daerah. Dalam setiap kunjungannya, Jejakku selalu mengajak wisatawan untuk berbuat di lokasi kunjungan. Misalnya, mengajar anak-anak pedalaman atau membantu membersihkan sampah di pantai atau gunung yang disinggahi.
“Intinya, kami bukan hanya mengajak orang berwisata, namun mengajak mereka juga mengenali masyarakat dengan cara membantu berbuat sesuatu di lokasi yang dikunjungi,” kata Luthfi.
Pemula
Tiga pengembang aplikasi tersebut masih start up atau pemula. Namun, garis besar ide dan gagasan ketiganya adalah sama, yaitu berbuat sesuatu untuk membantu orang lain, tetapi tetap berorientasi bisnis. Sebagaimana lagu Celine Dion di atas, ada kalanya tidak semua hal bisa dilakukan sendiri. Ada saatnya kita butuh bantuan orang lain. Nah, anak-anak muda berusia 18-26-an tahun tersebut datang untuk menawarkan bantuan. Untuk masa depan lebih baik di Indonesia.
Nah, peluang inilah yang ditangkap Telkomsel sebagai perusahaan telekomunikasi di Indonesia untuk turut memfasilitasi kiprah mereka. “Kami bersama mereka sebenarnya mendorong terciptanya ekosistem dan kultur digital tersebut, demi masa depan Indonesia yang lebih baik,” kata Adita Irawati, Vice President Corporate Communications Telkomsel.
Hal tersebut sesuai dengan target Telkomsel menuju perusahaan digital. Sebuah perusahaan digital harus memiliki tiga hal, yaitu peralatan (disediakan sejumlah perusahaan), jaringan (peran Telkomsel selama ini), dan aplikasi. Di sinilah, Telkomsel berusaha menggandeng para pengembang aplikasi untuk bergandeng tangan sama-sama membangun kultur digital di Indonesia.
Anak-anak muda berbakat dengan beragam ide membangun itu selama di Korea Selatan diajak berkeliling kota, yang kini dikenal karena kemajuan industri dan teknologinya. Mereka diajak mengunjungi Samsung D’light (ekspose teknologi Samsung), kantor Microsoft Korea, serta Incheon Free Economic Zone (IFEZ) di Songdo (kota modern masa depan berbasis teknologi informasi yang terintegrasi).
Korea Selatan merdeka pada 15 Agustus 1945 dengan kondisi sangat miskin. Saking miskinnya bahkan tentara Amerika Serikat sampai membagi-bagikan roti untuk masyarakatnya.
Kondisi tersebut menyebabkan kudeta, dan tahun 1960-an akhirnya Park Chung-hee memegang tampuk pimpinan tertinggi. Duta Besar Indonesia untuk Republik Korea John Prasetio mengisahkan, Park Chung-hee adalah presiden dengan semangat kerja keras dan disiplin tinggi. Pali-pali adalah semangat bekerja dan bergerak cepat yang terus didengungkan di Korea. Tak heran, dengan semangat itu, Korea Selatan kini dengan cepat melejit dari negara miskin menjadi negara besar di dunia.
Kepada para pengusaha muda tersebut, Anthonius Henricus, Developer Experience and Evangelism Director, Microsoft Indonesia, berpesan agar mereka menjaga semangat berkarya selagi muda. Biasanya, menurut Anthon, ada dua kendala utama yang menyebabkan usaha start up tidak berkembang, bahkan gagal.
“Dua kendala itu adalah pemula bisa tidak fokus mengembangkan karya karena perhatiannya terbelah karena mungkin bekerja di tempat lain. Selain itu, usaha mula ini tidak berkembang karena venture capital sulit menjangkau mereka,” kata Anthon.
Adita Irawati mengatakan, ajang seleksi pemenang pengembang aplikasi tersebut tidak berhenti hanya dengan kunjungan ke Korea. Telkomsel akan mengajak mereka bertemu dengan para pemangku kepentingan agar jika bermanfaat, teknologi yang dikembangkan anak-anak muda itu bisa dikembangkan dengan dukungan para pemangku kepentingan.
Indonesia terbukti memiliki anak-anak muda berbakat dan berprestasi. Dengan dukungan semua pihak-bergandengan tangan antara negara, swasta, dan masyarakat-harapannya Indonesia akan selangkah lebih baik, seperti kisah Korea Selatan.(DAHLIA IRAWATI)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Desember 2015, di halaman 26 dengan judul “Bergandengan Tangan untuk Indonesia”.