Persekolahan di Manggarai Raya kini berusia 102 tahun. Mungkin tidak banyak yang tahu, tonggak awalnya dari Labuan Bajo, perkampungan pesisir yang sejak tahun 2003 menjadi ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Kawasan Manggarai Raya hingga 11 tahun lalu merupakan wilayah satu kabupaten, yakni Kabupaten Manggarai. Belakangan, kawasan itu mekar menjadi tiga kabupaten. Selain induknya, dua kabupaten yang baru adalah Manggarai Barat (2003) dan Manggarai Timur (2007).
Sejatinya, sejarah persekolahan di Manggarai Raya tidak terpisahkan dengan kehadiran gereja Katolik di kawasan itu. Usia kehadirannya pun sama, 102 tahun. Jika kehadiran gereja Katolik awalnya ditandai pembaptisan perdana lima warga Jengkalang di Reo oleh Pastor Looijmans SJ, 17 Mei 1912, pada tahun yang sama lembaga keagamaan itu juga mendirikan tiga sekolah pertama di Manggarai Raya. Tiga sekolah itu masing-masing dua di Labuan Bajo. Satu lainnya di Reo, yang juga merupakan perkampungan pesisir di bagian utara Manggarai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Catatan kehadiran tiga sekolah perdana itu memang agak berbeda dengan publikasi yang dipaparkan dalam buku Iman, Budaya & Pembangunan Sosial, Refleksi Yubileum 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai Raya (2012). Buku khusus yang diterbitkan Keuskupan Ruteng itu (wilayah pelayanan meliputi Manggarai Raya) antara lain mencatat tiga sekolah perdana tersebut didirikan tahun 1911 (halaman 258). Catatan itu tentu saja memancing pertanyaan karena setahun lebih awal daripada kehadiran gereja Katolik di Manggarai Raya (1912).
Pertanyaannya, mungkinkah tiga sekolah perdana berlabel Katolik didirikan sebelum gereja Katolik hadir di Manggarai Raya? Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan Agama dan Pastoral (STIPAS) Ruteng yang juga dosen Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan Santo Paulus Ruteng, Pastor Hubert Muda SVD, mengakui tim penerbit buku sempat mendiskusikan catatan itu. Namun, kuat dugaan catatan tersebut keliru. Manggarai Raya seharusnya memiliki tiga sekolah perdana sejak 1912 seiring kehadiran gereja Katolik di kawasan tersebut.
Jejak kabur
Seperti di daerah lainnya, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Manggarai Barat tahun ini mengenang hari guru dengan menggelar berbagai kegiatan, termasuk seminar sehari tentang pendidikan di Labuan Bajo, Selasa (25/11). Seminar yang diikuti sekitar 600 dari lebih kurang 4.000 guru PGRI di Manggarai Barat menampilkan sejumlah narasumber.
Seminar beserta rangkaian kegiatan itu sekaligus menjadi momentum melacak jejak dua sekolah perdana Manggarai Raya di Labuan Bajo. Namun, dari penelusuran, ternyata tidak langsung bisa memastikan di mana kini posisi dua sekolah itu di Labuan Bajo.
PGRI Manggarai Barat, seperti Felix Beda Tukan (ketua) serta dua rekannya, Vinsensius Gande dan Martinus Markanedi, sama-sama menyatakan tidak mengetahui secara persis jejak sekolah tua yang didirikan gereja Katolik 102 tahun lalu di Labuan Bajo. Mereka hanya mengetahui bahwa SD Negeri 1 di Jalan Pius Papu, Labuan Bajo, adalah sekolah pertama di Manggarai Barat.
”Jejak dua sekolah pertama yang didirikan gereja Katolik itu sudah benar-benar kabur. Kami akan mendalami kembali jejak sejarahnya. Namun, banyak pihak di Labuan Bajo menduga kuat, SD Negeri 1 di Jalan Pius Papu itulah sekolah pertama di Manggarai Barat, bahkan Manggarai Raya,” kata Felix Beda Tukan.
Kepala SD Negeri 1 Labuan Bajo Bonefasius Heksin juga mencatat sekolahnya termasuk paling tua di Manggarai Barat. Ia pun mengetahui, sekolahnya itu kini berusia 102 tahun terhitung sejak awal berdirinya, 12 Januari 1912.
Sekolah itu telah hadir 33 tahun sebelum Indonesia merdeka. Sementara sekolah berstatus negeri baru terwujud setelah Indonesia merdeka tahun 1945 dan pengelolaannya langsung dikendalikan pemerintah.
Bonefasius Heksin dan rekan gurunya, Robertus Takardi, tidak mengetahui secara persis kapan sekolah mereka dinegerikan. ”Kami tidak punya catatan jelas tentang itu, kecuali kisah lepas yang menyebutkan, sekolah ini awalnya berstatus swasta yang didirikan gereja Katolik,” kata Bonefasius Heksin, di Labuan Bajo, Rabu (26/11) pagi.
Konon, sekolah yang kini memiliki 389 siswa dan 25 guru itu awalnya berlokasi di sekitar bibir pantai yang belakangan menjadi area dermaga feri di Labuan Bajo. Dalam perjalanannya, lokasi sekolah bergeser agak menjauh sekitar 200 meter dari bibir pantai, persisnya di tepi barat lapangan bola kaki.
Karena sering mengganggu kegiatan sekolah ketika berlangsung pertandingan atau kegiatan olahraga di lapangan, lokasi sekolah pada 1974 kembali dipindahkan agak ke hulu, di kaki bukit. Lokasi terakhir yang bertahan hingga sekarang jaraknya sekitar 300 meter dari lokasi kedua.
Bangga
Meskipun jejaknya belum terang benderang, Vinsensius Gande menegaskan, Manggarai Barat sepantasnya berbangga karena Labuan Bajo menjadi salah satu tonggak awal persekolahan di Manggarai Raya. ”Ini catatan sejarah amat berharga bagi persekolahan di Manggarai Barat,” kata Vinsensius Gande ketika memandu seminar di Labuan Bajo.
”Jejak bersejarah itu seharusnya menjadi faktor pendorong bagi seluruh guru di Manggarai Barat agar menjadi guru yang inovatif, kreatif, dan inspiratif. Hanya guru bermartabat yang memungkinkan revolusi mental terwujud sekaligus melambungkan prestasi sekolah,” tambah Felix Beda Tukan.
Kembali ke sekolah tua di Jalan Pius Papu. Sekolah itu berstatus negeri serta memiliki sejarah panjang dan berharga. Namun, keberadaannya kini terabaikan. Sejumlah bangunan tampak reyot, bahkan salah satu bangunan nyaris roboh yang membahayakan murid dan siapa pun di bawahnya.
Bangunan berkondisi parah itu, bagian dindingnya hancur dan berlubang-lubang. Plafon juga bergelantungan. Sebagian atap dan kerangka penopangnya sudah anjlok akibat tertimpa pohon tumbang. Akibatnya, hanya satu dari tiga ruang kelas bisa difungsikan meskipun secara darurat.
”Kami sudah berkali-kali mengusulkan kepada pemerintah agar bangunan sekolah ini dibenahi, tetapi hingga saat ini belum ditanggapi,” keluh Bonefasius Heksin.
Begitulah nasib sekolah dengan jejak sejarah panjang dan berharga, tetapi terabaikan.
Oleh: FRANS SARONG
Sumber: Kompas, 30 November 2014