DALAM adegan akhir sebuah film komedi ringan Doc Hollywood, letnan polisi yang jadi salah seorang tokoh dalam film itu berteriak marah-marah ketika menonton temannya yang sedang berperan sebagai polisi (film di dalam film) dengan gagah mengutarakan pendapat mengenai kehidupan polisi. ”He kills me,he really kills me,”teriak si letnan sewot. Puncak kemarahan memang disebabkan oleh temannya yang sedang berakting dengan seenaknya mengutip kata-kata si letnan, seakan-akan kalimat gagah berani nan menakjubkan itu adalah pendapat si aktor sendiri.
Penonton hanya tertawa melihat adegan itu dan melupakannya. Walaupun hanya komedi, adegan itu seperti mengingatkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, ada kesepakatan tidak tertulis di antara anggota masyarakat yang santun untuk senantiasa menyebut dengan jujur asal usul gagasan yang disampaikan, apabila gagasan itu bukan berasal dari dirinya. Kesepakatan ini memang acap kali terabaikan karena memang tidak ada sanksi tertulis. Lagi pula, dalam percakapan sehari-hari jarang orang berusaha mencek sumber asli dalam pembicaraan kecuali untuk kasus-kasus tertentu.
Ini tentu berbeda dengan dunia tulis-menulis, terutama dalam penulisan ilmiah, terlepas dari ilmiah populer atau bukan. Pencantuman sumber bacaan bahkan ucapan seseorang merupakan keharusan tidak tertulis yang tidak dapat diabaikan begitu saja.Tujuannya selain merupakan pertanggungjawaban terhadap isi dan asal-usul sumber serta, meminjam istilah Slamet Soeseno sebagai pernyataan berhutang informasi dengan hormat juga untuk memudahkan pembaca yang membutuhkan pendalaman mengenai bagian kutipan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sayangnya tidak semua penulis “cukup rajin” mencantumkan sumber tulisannya. Padahal ada berbagai cara elegan untuk menyebut asal-usul kutipan langsung maupun tidak langsung sehingga tidak tampak mengganggu tulisan itu sendiri sebagai tulisan yang populer. Namun, tulisan ringan ini tentu tidak bermaksud menguraikan tata krama dan teknik mengutip dalam penulisan ilmiah populer karena sudah ada beberapa buku bagus yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia mengenai hal ini. Tulisan ini lebih merupakan ungkapan prihatin yang mungkin dapat mengingatkan kita kembali untuk lebih menghargai sumber informasi.
Suatu contoh menarik untuk menunjukkan betapa kecil arti sumber tulisan untuk sebagian orang dapat dilihat dari perkembangan cukup membingungkan akhir-akhir ini. Entah bagaimana dan dari mana mulanya beberapa penulis gemar sekali mencantumkan dari berbagai sumber sebagai sumber sebuah tulisan. Kompas sendiri tidak luput dari kebiasaan ini. Sebuah majalah wanita yang semula rajin mencantumkan sumber di belakang nama penulisnya, tiba-tiba saja latah menulis dari berbagai sumber, begitu pula sebuah majalah bulanan populer berformat kecil-menarik.
Dari berbagai sumber seakan-akan menunjukkan kehebatan penulis yang berhasil mengumpulkan begitu banyak bahan. Sehingga ia tak lagi dapat menuliskannya satu demi satu. Padahal, sumber dari berbagai sumber tidak mengandung informasi apa pun sebagai sumber, kecuali mengesankan ketertutupan si penulis yang mengumpulkan banyak bahan, tetapi enggan sumbernya diketahui orang lain, atau bahkan menimbulkan kecurigaan lain bahwa tulisan tersebut sepenuhnya terjemahan dari sebuah sumber saja. Kebiasaan yang boleh jadi dapat menyebar luas ini tentu tidak memenuhi fungsi dan tujuan pencantuman sumber tulisan.
Kasus lain menyangkut tata krama pengutipan yang amat memprihatinkan adalah “pengambilan gagasan orang lain untuk kemudian menuliskan seakan-akan buah pikiran sendiri. Untuk negara seperti Indonesia, yang penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui buku dan tulisan masih terbatas tindakan kurang etis ini sering tidak terdeteksi. Lebih-lebih lagi bila sumber asli merupakan buku bahasa asing, sementara topiknya belum terlalu populer.
Ketika beberapa bulan lalu Kompas meresensi sebuah buku ilmiah popular mengenai teori-teori alam semesta Theory of Everything oleh rekan fisikawan Indonesia. Dengan penuh semangat saya bergegas membelinya, lalu merekomendasikannya kepada beberapa teman yang berminat (namun awam) terhadap topik-topik sejenis. Gairah saya meluap mengetahui ada ilmuwan muda yang berminat menguasai, bahkan dengan serius berusaha memopulerkan cabang ilmu yang teramat indah, namun ibarat ilmu “para dewa” ini. Perasaan yang muncul ibarat kebahagiaan seorang anak kecil kesepian yang tiba-tiba mendapat teman bermain.
Kegembiraan itu terganggu sedikit demi sedikit sejalan dengan mengalirnya alinea demi alinea yang saya baca. Saya segera teringat pada sebuah buku ilmiah populer yang terbit tahun 1988 dan selama 100 minggu menduduki puncak daftar buku best-seller di Sunday Times, London. Buku karya Stephen W. Hawking A Brief History of Time memang menggagumkan. Gagasan-gagasan agung fisika dan kosmologi baik dari dirinya sandiri maupun dari ilmuwan besar lainnya, menyelusup ke dalam benak kita melalui bahasa yang mudah dicerna tidak jarang dengan humornya yang khas Inggris. Dalam waktu singkat, demam memiliki buku itu menyebar ke banyak negara (sayang tidak termasuk Indonesia). Pada buIan Agustus 1990 saja, majalah Time menulis bahwa buku itu sudah terjual sebanyak delapan juta buah.
Karya Hawking memang dicantumkan (nomor pertama dari 91 sumber) dalam daftar pustaka buku yang ditulis oleh rekan fisikawan Indonesia ini. Cukupkah sebagai daftar pustaka, bila delapan dari sepuluh bab yang membentuk batang tubuh buku ternyata berisi aIinea demi alinea yang baik urutan maupun isinya boleh dikatakan sama, kecuali pemendekan beberapa pemikiran?
Sebagian besar isi di dalam buku itu memang merupakan teori dan gagasan yang telah ditulis di berbagai jurnal, buku maupun majalah. Penulisnya sekali lagi juga sudah mencantumkan deretan daftar pustaka menakjubkan. Namun, di dalam teknik penulisan buku tetap ada batasan seberapa jauh kita boleh menggunakan karya satu orang saja, tanpa terjerumus ke dalam “pengambilan gagasan secara (hampir) utuh”. Ada cara yang aman, tetapi tentunya dengan mencantumkan secara terbuka bahwa buku itu adalah karya sadurn, atau malah terjemahan.
Pertimbangan bahwa kelangkaan buku sejenis itu dalam bahasa Indonesia, apalagi yang bersifat populer, mengalahkan duka yang timbul. Buku itu, bagaimanapun merupakan pengayaan terhadap dunia kepustakaan ilmiah populer berbahasa Indonesia yang masih miskin. Ditambah, penulisnya “menuliskan kembali” gagasan demi gagasan dengan indah, sementara bahasanyapun menawan. Pertimbangan berikutnya adalah kesadaran bahwa menyusun sebuah buku bukanlah pekerjaan sederhana, apalagi sebuah buku mengenai teori-teori alam semesta yang begitu canggih. Bagaimanapun usaha keras penulisnya untuk membuahkan buku ini di tengah iklim menulis yang masih belum membudaya, menyebabkan saya mengangkat topi. Ia merupakan asset langka yang potensinya patut dikembangkan.
Pertimbangan yang telah disebutkan di atas tergelitik keitka Kompas (23/7/1992) memuat tulisan dari penulis yang sama. Perburuan Obsesif ke Tori Pamungkas Semesta Raya. Peminjaman gagsasan dapat dibenarkan, tetapi menjadi tidak sah bila kemudian secara terbuka dinyatakan sebagai gagasan sendiri. Boleh jadi gagasan konklusi tersebut bersifat ilmiah umum, namun bila seluruh tulisan sudah merupakan penerjemahan ulang karya seseorang tanpa sekalipun menyinggung penulis asli dan konklusi tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari batang tubuh tulisan tentunya wajar bila kita merasa “terganggu”. Sangatlah mungkin ketika menulis kita begitu tenggelam sehingga melakukan kealpaan, yang sayang sekali terasa mengganggu.
Kebanyakan tulisan ilmiah populer yang berkembang di Indonesia, khususnya dari cabang-cabang ilmu dasar yang belum popular, harus diakui lebih sering merupgkan hasil kompilasi berbagai tulisan atau kalau tidak merupakan terjemahan dari bahasa asing. Tidak ada keburukan, tidak ada pengecilan arti karena itu. Bahkan, ada kemuliaan tersendiri karena penulisnya telah bertindak sebagai orang yang menjembatani dunia ilmiah dan masyarakat awam.
Bagaimanapun, penulisan ilmiah populer tidak dapat begitu saja diceraikan dari dunia ilmiah asal-usulnya. Dunia ini begitu rupa sehingga para ilmuwan anggotanya mempunyai sikap moral yang khas. Kekhususan itu tentu saia tidak dimaksud sebagai suatu pengunnggulan, tetapi lebih pada karakteristik cara kerja mereka. Dapatlah secara singkat kita katakan, para ilmuwan menyerahkan hampir sebagian besar hidupnya untuk menemukan ”kebenaran” secara ilmiah melalui metode ilmiah yang harus diakui terbukti unggul. Terlepas dari definisi kebenaran itu sendiri, jalan panjang yang ditempuh dalam menemukan ”kebenaran” secara ilmiah mau tidak mau akan berpengaruh pada sikap pribadinya, antara lain kejujuran ilmiah. Atas dasar semangat itulah saya menulis tanpa pretensi apa-sapa. Kita semua mungkin harus lebih giat membaca buku karya Slamet Soeseno mengenai teknik penulisan ilmiah populer, terutama bagian tata krama penulisan feature. Para pendidik mungkin harus lebih galak menekankan hal ini, seperti sikap seorang guru besar yang sering membuat putus asa ketika penulis menempuh S-1 karena ”kegemarannya” mencorat-coret, tulisan atau laporan mahasiswanya (dan mengembalikan tanpa nilai) ”hanya” Karena ketidaktepatan mencantumkan sumber bacaan. Namun, cara ”keras” seperti itu yang mungkin kita perlukan. (Karlina Leksono)
Sumber: Kompas, KAMIS, 6 AGUSTUS 1992