Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tentu harus diwaspadai mengingat lebih dari 50 persen bahan bakar minyak yang digunakan di Tanah Air impor dari luar negeri.
Lokakarya ”Merajut Kembali Energi Negeri” yang diselenggarakan Ikatan Alumni Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1 September 2018 menyajikan paparan dan diskusi yang strategis untuk memberikan prioritas pada pengembangan bahan bakar nabati biohidrokarbon di dalam negeri.
Bahan bakar nabati (BBN) dapat diklasifikasikan jadi dua jenis: (a) BBN beroksigen (oxygenates) yang hanya dapat dicampurkan dengan bahan bakar minyak (BBM) dengan konsentrasi terbatas atau (b) BBM drop-in (BBN yang siap dicampur dengan BBM dengan persentase maksimal). Baik solar (diesel) maupun bensin (gasolin) dapat diproduksi dari minyak sayur, terutama minyak sawit mentah (CPO).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penelitian yang diperlukan dalam memproduksi BBN umumnya terbagi menjadi dua aktivitas: (a) memperbaiki kualitas seperti menurunkan titik beku dan (b) mengurangi pengotor, terutama kadar oksigen.
Pentingnya memproduksi bensin ”hijau” dan solar ”hijau” ini tak hanya akan memperkuat ketahanan energi, tetapi juga meningkatkan industri hilir di Tanah Air. Dengan suasana perang dagang AS-China yang hegemoninya terasa hingga ke Tanah Air, perlu kesiapan industri hilir di dalam negeri untuk mengolah sebagian besar CPO menjadi bahan bakar dan bahan kimia bernilai tinggi.
Pengalaman pahit pelarangan minyak sawit dari Uni Eropa (UE) harus jadi pemacu untuk mengolah minyak sawit di dalam negeri. Saat ini setidaknya ada waktu selama beberapa tahun mendatang untuk mengembangkan teknologi ”Merah Putih” sebelum 2030, saat UE akan melarang masuknya minyak sawit guna melindungi petani minyak bunga matahari di Uni Eropa. Pengurangan serapan CPO di Eropa akan dimulai tahun 2023, hanya lima tahun dari sekarang.
Lembah kematian inovasi
Saat ini, beberapa universitas dan lembaga penelitian di Indonesia sudah aktif dalam penelitian untuk mengubah minyak kelapa sawit menjadi bahan bakar nabati, termasuk di antaranya aktivitas di Laboratorium Teknik Reaksi Kimia di ITB. Akan tetapi, keberhasilan di fase laboratorium bukan berarti keberhasilan memproduksi bahan bakar nabati secara komersial untuk kebutuhan nasional.
Untuk menghasilkan BBN dengan produksi skala nasional dibutuhkan kerja sama yang erat antara pemerintah, industri (swasta atau BUMN), dan tentunya akademisi di kampus dan peneliti di pusat-pusat penelitian. Status pengembangan sebuah teknologi biasanya diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesiapan teknologi (technology readiness level/TRL).
Hasil di skala laboratorium umumnya masih berada di TRL 3 dan TRL 4.
Kerja sama dengan industri yang erat diperlukan untuk terus menanjak ke TRL 7. Kemudian peran penuh industri swasta dalam negeri diperlukan untuk mencapai skala komersial di TRL 9. Tanpa investasi dari industri, hasil penelitian peneliti di universitas dan di institusi riset hanya akan berhenti di TRL 4.
Perlu dukungan terstruktur dari negara dan BUMN untuk membantu peneliti BBN dari industri dan dari pemerintah untuk mencapai produksi skala komersial.
Akses terhadap teknologi BBN akan berbanding lurus dengan akses terhadap energi dari sumber terbarukan. Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki Agenda 2030 untuk sustainable development (SDG 7) yang salah satunya khusus untuk menjamin akses maksimum bagi semua kalangan masyarakat untuk mendapatkan energi yang bisa diandalkan dan terjangkau. Kemudahan mendapatkan energi juga menjadi pemicu perubahan ekonomi yang terstruktur di mana produktivitas meningkat dan terbuka peluang menghasilkan nilai tambah.
Teknologi ”Merah Putih”
Dukungan terhadap teknologi diharapkan menguat mengingat gempuran dari produsen raksasa internasional akan menjadi pesaing serius dari setiap inovasi di institusi milik negeri. Negara dan perusahaan BUMN diharapkan hadir untuk membantu peneliti untuk mengubah produksi dari 10 liter/hari menjadi 1 kiloliter/hari hingga 20 kiloliter/hari.
Laboratorium Teknik Kimia ITB, misalnya, berhasil mengembangkan produksi bensin hijau dari minyak kelapa sawit dengan kapasitas 500 mililiter/jam. Bilangan oktan dari bensin nabati yang dihasilkan sudah mencapai 110.
Pemerintah dan BUMN terkait diharapkan dapat membantu kesiapan teknologi di bidang BBN ini, tidak hanya berhenti di B20. Mengingat besarnya beban subsidi dan impor BBM, kesiapan teknologi BBN akan sangat membantu kemandirian ekonomi bangsa.
Saat ini, di tahun 2018, Wood Mckenzie memperkirakan bahwa Indonesia adalah negara pengimpor BBM terbesar di muka bumi. Ini tentu sangat berbahaya bagi ketahanan energi nasional dan akan sangat membebani APBN. Di tingkat ASEAN, keterlambatan dalam kebijakan energi akan menjadi kelemahan geopolitik Indonesia di hadapan negara-negara tetangga.
Belajar dari salah satu tetangga terdekat Indonesia di kawasan ASEAN, Singapura, yang menikmati kemajuan di bidang energi, kebijakan energi yang cepat pada momentum yang tepat akan memperkuat perekonomian. Singapura sukses membangun perekonomian antara lain akibat keberhasilan memanfaatkan periode minyak bumi murah di tahun 1960-an, seperti dipaparkan Ng Weng Hoong dalam buku Singapore, The Energy Economy, from the First Refinery to the End of Cheap Oil, 1960-2010.
Negeri jiran kita berhasil membuat kilang minyak dengan kapasitas berlebih yang kemudian BBM-nya mengalir ke Indonesia. Setelah sukses memiliki kilang minyak yang produksinya surplus, Singapura juga bergerak cepat membangun infrastruktur regasifikasi untuk menjadi LNG hub (penghubung sumber daya gas alam) bagi ASEAN untuk menyambut abad keemasan gas bumi setelah terjadi revolusi shale gas di AS sekitar tahun 2010.
Setelah cepat membangun infrastruktur untuk minyak bumi dan gas alam, Singapura juga berhasil membangun infrastruktur BBN, antara lain dengan meyakinkan Neste, sebuah perusahaan BBN asal Finlandia, untuk membuat kilang minyak nabati di negeri jiran itu. Besar harapan, Pemerintah Indonesia juga dapat bergerak cepat membangun fasilitas kilang minyak nabati di Tanah Air untuk memperkuat ketahanan energi nasional dan geopolitik di tingkat ASEAN dan bahkan dunia.
Semoga kebun sawit dapat menyediakan bensin hijau agar beban impor berkurang di saat rupiah makin melemah. Bensin hijau akan sangat berkontribusi untuk menyelamatkan neraca perdagangan Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.
Oki Muraza Alumnus Teknik Kimia ITB; Associate Professor di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi
Sumber: Kompas, 17 September 2018