China lagi-lagi menjadi tempat pembelajaran penting bagi negara-negara Asia. Kali ini dalam konteks pengendalian pencemaran udara. Mereka berani menutup ratusan industri yang mencemari atmosfer setempat.
Setelah beberapa tahun didera kritik internasional dan protes dari warganya terkait buruknya kualitas udara yang di Beijing dan sekitarnya, kini dengan gagah ”negeri panda” tersebut memamerkan perbaikan kualitas udaranya.
Didorong juga itikad mempersiapkan diri menjadi tuan rumah yang baik bagi tetamu atlet internasional dalam Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022, China membuat terobosan-terobosan besar dalam memperkuat sistem pengendalian emisinya. Mereka meningkatkan standar batasan emisi ambien dan sumber polusi, menerapkan kontrol dan pendataan emisi yang kuat, serta berani mengambil langkah menutup ratusan industri nakal yang mencemari atmosfer setempat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam Konferensi Udara Bersih Asia atau Better Air Quality 10th di Kuching, Sarawak, Malaysia, 14-16 November 2018, hal itu menjadi salah satu topik yang mengundang perhatian utama. Pertemuan yang diikuti 55 negara dan 600 peserta dari elemen pemerintah, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan dunia usaha ini seolah menjadi ajang keperkasaan China.
NICOLAS ASFOURI / AFP)–Seorang kurir mengenakan topeng pelindung untuk melawan polusi udara buruk di Beijing, China, pada 22 Oktober 2018. Kini, kualitas udara ibu kota China tersebut makin membaik.
Pemerintah China menyediakan waktu sehari penuh di ruang-ruang pertemuan China Forum pada 15 November 2018, belum termasuk intersepnya pada pertemuan-pertemuan pararel dan pertemuan sampingan lainnya. Berbagai kemajuan tersebut dipamerkan dan terbuka bagi negara atau pihak lain untuk belajar. Karena itu, tak mengherankan jika di ujung konferensi dua tahunan ini, Kota Beijing, ibu kota China, memperoleh Penghargaan Kong Ha. Penghargaan ini biasa diberikan baik kepada orang maupun kota atau pihak yang berandil besar dalam penurunan emisi.
Pemerintahan yang kuat
Di balik keberhasilannya, sebagian peserta mengaku tak heran karena sistem pemerintahan China yang sangat kuat dipimpin satu partai. ”Apabila pemimpinnya bilang A, sampai ke tingkat bawah pun semuanya akan melaksanakan A,” demikian ungkapan sejumlah peserta.
Namun, pihak Beijing menampiknya. Bahkan, mengatakan bahwa perubahan sistem pengendalian pencemaran udara itu banyak didorong oleh warga Beijing dan sekitarnya serta dorongan pihak luar negeri.
”Ketika itu, media dari luar sangat kencang mengkritik polusi udara yang sangat buruk di Beijing dan warga pun juga ’marah’ dengan kondisi ini. Pemerintah akhirnya berbuat sesuatu dengan sangat progresif,” kata Wang Qiuxia, Manajer Kampanye dan Komunikasi Cabang China pada Clean Air Asia.
Respons Pemerintah China sangat agresif. Dalam presentasi di China Forum, disebut-sebut mereka mendeklarasikan perang (war) terhadap pencemaran udara. Perang itu diejawantahkan dalam Rencana Aksi Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran udara 2013-2017.
Ibarat kitab perang asal China, Sun Tsu yang termasyhur hingga kini, Rencana Aksi diterjemahkan dalam 10 poin untuk memetakan kemampuan dan kelemahan diri serta musuh. China mengatasi kelemahannya dengan meningkatkan standar emisi ambien dan sumber pencemar serta mengurangi konsumsi bahan bakar batubara yang menjadi sumber pencemar.
Sektor industri yang memainkan peran sebagai pengemisi pun dikontrol ketat dengan memasang lebih dari 10.000 alat pemantau emisi (continues emission monitoring system/CEMS) yang dipantau secara daring oleh otorita lingkungan hidup setempat. Dukungan teknologi juga dilakukan agar sektor ekonomi tetap berkembang, tetapi minim emisi. Setidaknya ada 1.992 industri yang dipindahkan dan direstrukturisasi dari sekitar Beijing.
Kerja sama antarkota pun didorong oleh pemerintah pusat mengingat polusi udara mengikuti cuaca, aliran angin, dan topografi tanpa mengenal batas wilayah administratif. Kerja sama Beijing, Tianjin, dan Hebei contohnya.
Langkah efektif
Langkah-langkah ini, menurut Wan Feng dari Direktorat Kualitas Udara pada Kementerian Ekologi dan Lingkungan China, mengurangi emisi partikel debu berukuran di bawah 10 mikrometer (PM10) hingga 22,7 persen, lebih tinggi dari target 10 persen. Kerja sama regional BTH itu menurunkan emisi partikel debu berukuran di bawah 2,5 mikrometer (PM2,5) dari 100 mikrogram per meter kubik menjadi 64 mikrogram per meter kubik.
Otoritas China sendiri dengan rendah hati mengakui, upaya menurunkan PM2,5 masih menjadi pekerjaan rumah karena masih berada di atas panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 10 mikorgram per meter kubik atau lima kali lipat dari Uni Eropa yang emisi PM2,5 di bawah standar panduan WHO.
Menurut pemantauan udara AQICN (aqicn.org), Jumat (23/11/2018) pukul 20.00, polusi udara Beijing yang bersuhu 6 derajat celsius, pada parameter PM2,5 mencapai 174 atau tidak sehat. Masih pada sumber, indikator, dan tanggal yang sama, kondisi Jakarta Pusat (dari alat pengukur di kantor Konsulat Amerika Serikat), menunjukkan tidak sehat bagi kalangan sensitif, yaitu 102 mikrogram per meter kubik.
Dari sisi konsumsi batubara, China yang dalam satu dekade bisa melahap energi fosil dua kali lipat, pada 2017 turun menjadi 3,9 miliar ton dari 4,2 miliar ton pada 2013. Mereka mengganti sumber energi kotor ini dengan gas dan energi terbarukan yang persentasenya terus meningkat.
Hingga kini, pekerjaan rumah berat bagi China, menurut Zeng Jinghai dari Dinas Lingkungan Hidup Beijing, adalah menurunkan emisi polusi udara pada rumah tangga-rumah tangga. Pada musim dingin seperti ini, emisi udara dari rumah tangga meningkat karena penggunaan penghangat yang menggunakan bahan bakar batubara.
Di sektor transportasi, China menempuh terobosan signifikan di antaranya dengan menghilangkan 20 juta kendaraan yang masih menggunakan standar emisi China III. Secara bertahap pada kendaraan bensin dan diesel, mulai 2013, standar pada mesin dan bahan bakar ini ditingkatkan ke China IV dan kini telah menerapkan China V.
Kesuksesan China ini menunjukkan bahwa pencemaran udara bukanlah mustahil diturunkan. Semua bisa terjadi jika ada kepemimpinan dan political will kuat untuk berani mengambil terobosan. Tentunya, partisipasi publik untuk mendorong hal ini juga sangat penting karena mutu lingkungan hidup yang baik merupakan hak asasi warga negara.
Tebersit harapan, standar teknologi tinggi untuk mereduksi emisi yang diterapkan perusahaan China ini tak hanya diterapkan secara domestik, tetapi juga di luar negeri, termasuk ke Indonesia. Ini mengingat sebagian besar proyek-proyek vital seperti pembangunan pembangkit listrik Indonesia masih mengandalkan bahan bakar batubara dan sebagian dibiayai investor China.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 25 November 2018