Sampah plastik yang pernah memenuhi jalanan, saluran air, bahkan menutupi semak hingga memenuhi banyak perut binatang di Kota Nairobi, kini hanya menjadi cerita masa lalu. Hanya dalam setahun sejak pelarangan penggunaan kantong plastik, Ibukota Kenya ini jauh lebih bersih. Indonesia seharusnya bisa mengikuti jejaknya.
“Dulu sepanjang jalan ini penuh sampah plastik dan terbang di mana-mana kalau musim angin,” kata Erick Makori (30), supir taksi daring, yang membawa keliling Kota Nairobi. Tak hanya sampah plastik biasa, menurut Erick, dulu orang sering menggunakan kantung plastik untuk membungkus kotoran setelah buang hajat, yang kemudian dilempar ke mana-mana, sehingga kota ini pernah terkenal dengan julukan “toilet terbang.”
–Sejak adanya larangan menggunakan kantong plastik sekali pakai pada 2017, Kota Nairobi, Kenya kini bersih dari sampah palstik, seperti terlihat Kamis (14/3). Padahal, sebelumnya kota ini dulu dipenuhi sampah plastik. Kompas/Ahmad Arif
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Penegakan Otoritas Manajemen Lingkungan Nasional Kenya David Ong’are, seperti dikutip The Guardian pada 25 April 2018, saking banyaknya sampah plastik, banyak di antaranya yang dikonsumsi binatang. Sebanyak tiga dari 10 binatang yang disembelih diperutnya ditemukan sampah plastik.
Namun, gambaran itu telah lenyap dari Nairobi saat ini. Selama seminggu di kota ini pada pertengahan Maret 2019 lalu, lingkungan sudah bersih dari sampah plastik. Di supermarket maupun di pasar-pasar tradisional (masaai market), banyak orang yang membungkus barang belanjaan dengan kertas, kardus atau dengan ngiri-ngiri, tas tradisional yang bisa dibuat dari kulit atau kain.
Lingkungan di Nairobi memang mengalami transformasi luar biasa setelah menerapkan larangan menggunakan, memproduksi, dan mengimpor kantong plastik. Tak main-main, bagi pelanggarnya akan dikenai sanksi dari 19.000 hingga 30.000 dollar Amerika Serikat (AS) atau penjara hingga empat tahun. Hukuman terhadap pelarangan kantung plastik ini merupakan paling keras.
Padahal, sebelum pelarangan ini, menurut studi yang dilakukan Kenya’s National Environmental Management Authority (NEMA) dan United Nations Environment Programme (UNEP), kantong plastik sekali pakai dari supermarket di Kenya mencapai 100 juta lembar per lembar. Jumlahnya bisa berlipat jika ditambah dari pasar-pasar tradisional.
“Tak ada lagi orang konyol yang berani bawa kantung plastik. Dendanya terlalu mahal. Hukumannya terlalu berat,” kata Erick.
Menurut Erick, saat pertama kali aturan ini dibuat,dirinya termasuk yang khawatir hal ini akan menyulitkan hidup. “Sebelumnya memang kami tergantung pada kantung plastik. Tetapi, setelah dilarang nyatanya hidup kami baik-baik saja. Bahkan, sekarang lebih baik karena kota lebih bersih,” kata Erick.
Pelarangan penggunaan kantong plastik ini justru memicu kegairahan baru di kalangan warga untuk mencari berbagai pengganti inovatif. Foto seorang gadis sekolah di Kenya timur yang menciptakan tas yang terbuat dari daun pisang kering beredar luas di media sosial. Demikian pula, aneka tas tradisional yang dibuat dari bahan rajutan berbahan serat alami mulai kembali bermunculan.
Penentang utama pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai di Kenya, terutama dari kalangan industri plastik yang jumlahnya mencapai 170. Kenya Association of Manufacturers (KAM) beralasan, masyarakat yang terlibat dalam industri plastik di Kenya mencapai 60.000 orang atau hampir 3 persen dari tenaga kerja di negara ini. Mereka kemudian menggugat Pemerintah Kenya agar membatalkan aturan ini.
Namun, pengadilan menguatkan keputusan pemerintah. Memasuki tahun kedua pelarangan kantong plastik ini ternyata juga tidak memicu gejolak sosial dan ekonomi berarti. Bahkan, menurut data NEMA, hal ini menggairahkan kembali produksi dan industri baru kemasan lebih ramah lingkungan.
Kuncinya di Ketegasan
Kesuksesan transformasi dalam mengatasi persoalan sampah plastik ini dibanggakan Pemerintah Kenya, yang menjadi tuan rumah Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan (UNEA) Ke-4, di Nairobi bulan lalu.
Menteri Lingkungan Hidup Kenya, Keriako Tobiko, dalam pembukaan sidang mengatakan, setelah sukses melarang kantong plastik sekali pakai, berikutnya mereka akan melarang penggunaan botol dan alat makan plastik plastik pakai. “Pelarangan (kantong plastik) telah membantu kita mengurangi sampah plastik di daratan dan di perairan,” sebut Tobiko
Seperti disebut Tobiko, persoalan sampah plastik, yang saat ini telah menjadi masalah global, tidak akan bisa diselesaikan oleh satu negara. Saat ini, Kenya juga menghadapi masalah dengan sampah plastik kiriman dari negara tetangga yang masih belum melarang penggunaan material ini.
Pencemaran plastik telah disadari sebagai masalah global, terutama masuknya material ini, baik dalam ukuran makro ataupun mikro dan nano, ke lautan. Perairan di Indonesia pun tak luput dari cemaran plastik, bahkan tergolong yang paling parah. Selain mencemari ikan dan kehidupan biota laut lain, plastik nano juga ditemukan pada garam rakyat.
Kantong plastik sekali pakai, dianggap sebagai salah satu produk yang paling mencemari lingkungan perairan ini dan beberapa negara mulai bergerak untuk melarang penggunaannya. Bangladesh memelopori pelarangan ini pada tahun 2002, disusul Israel, Belanda, Maroko, Kenya, dan sejumlah negara lain.
Indonesia, sejauh ini masih belum bergabung dengan negara-negara yang secara tegas melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai. Bahkan, dalam UNEA-4, Indonesia tidak mendukung usulan India dan Uni Eropa untuk menghentikan produksi kantong plastik sekali pakai. Usulan ini pada akhirnya gagal menjadi resolusi global karena ditentang Amerika.
Hingga saat ini ada dua provinsi dan 18 kabupaten/kota yang telah mengimplementasikan program pembatasan kantong plastik sekali pakai. Banjarmasin menjadi kota pertama yang mengimplementasikan kebijakan ini sejak 2016 dan telah berhasil mengurangi penggunaan kantong plastik hingga 52 juta lembar per tahunnya.
Peraturan daerah ini seharusnya menjadi kebijakan nasional, jika kita memang benar-benar serius mengatasi persoalan pencemaran plastik ini. Belajar dari Kenya dan banyak negara lain yang sukses menerapkan larangan kantong plastik sekali pakai, masyarakat pada akhirnya bisa beradaptasi dengan material baru yang lebih ramah lingkungan. Pilihannya tinggal apakah negara akan berpihak pada kepentingan industri plastik atau lingkungan dan masyarakat luas….
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 11 April 2019