Para petinggi Departemen Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), maupun Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) menyatakan prihatin atas tingginya angka bedah caesar. Tingginya angka bedah caesar di negeri kita tidak lepas dari berkembangnya mitos-mitos yang menyesatkan.
Mitos paling terkenal adalah kerusakan jalan lahir (vagina) sebagai akibat persalinan. Penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa mitos itu sama sekali tidak benar, karena penyembuhan luka di daerah vagina dan perineum (antara vagina dan dubur) nyaris sempurna. Belakangan mitos ini “bergeser” ke ruang religius, di mana bedah caesar dikatakan sebagai ibadah, yakni untuk menyenangkan suami karena vagina dijaga dari kerusakan akibat persalinan. Untuk masalah ini, mungkin MUI yang lebih berkompeten membahasnya lebih jauh. Yang jelas para nabi tidak ada yang lahir secara bedah caesar!
Mitos lain adalah bayi yang dilahirkan melalui bedah caesar menjadi lebih pandai karena kepalanya terjepit di jalan lahir. Suatu penelitian cohort selama 18 tahun yang mencakup ribuan pasien di Kanada ternyata memberikan kesimpulan sebaliknya! Tidak ada perbedaan bermakna kecerdasan bayi-bayi yang dilahirkan per vaginam maupun bedah caesar, tetapi frekuensi kesakitan (terutama demam karena infeksi) dari bayi-bayi yang dilahirkan dengan bedah caesar jelas lebih tinggi secara bermakna. Disimpulkan bahwa proses kelahiran (biasa/per vaginam) sangat diperlukan oleh si janin sebagai excercise menghadapi dunia di luar rahim, atau disebut juga proses transisi antara dunia dalam rahim dan di luar rahim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai perbandingan, angka bedah caesar di AS dewasa ini adalah sekitar 6-7 persen di RS-RS biasa dan 10-13 persen di RS-RS Pendidikan, sedangkan di Indonesia justru di RS-RS Pendidikan dan Pemerintah angkanya cenderung lebih rendah (sekitar 20-25 persen), tetapi di RS-RS swasta angkanya sangat tinggi (30-80 persen). Angka bedah caesar yang masuk akal adalah 10-15 persen untuk RS biasa (termasuk swasta) dan sampai 20% untuk RS Pendidikan.
***
BEDAH caesar karena “permintaan pasien” sering dikatakan sebagai indikasi sosial, yakni tidak ingin merasa sakit waktu persalinan, ingin memilih hari lahir bagi anaknya, ingin agar anaknya “lebih pintar” dan sebagainya. Singkatnya, “ketidaktahuan dan ke-soktahu-an” pasien sangat besar kontribusinya dalam peningkatan angka bedah caesar.
Ironisnya, dokter justru “memanfaatkan” attitude pasien seperti itu dibanding memberikan pengertian serta pemahaman yang benar kepada pasien. Peran dokter mendidik masyarakat sesuai amanat Kodeki (Kode Etik Kedokteran Indonesia) benar-benar diabaikan.
Seorang dokter kandungan yang merangkap seksolog ternama asal Jakarta mengemukakan alasan “pasien akan menuntut jika terjadi apa-apa” ketika melahirkan per vaginam, seolah-olah pasienlah satu-satunya pihak yang berhak menentukan cara persalinan. Padahal dokter mempunyai hak untuk menolak “pemaksaan” oleh pasien, apalagi jika keinginan pasien itu bertentangan dengan keilmuan serta etika profesi. Pertanyaannya berapa banyak dokter yang berani menolak, apalagi keinginan pasien itu jelas-jelas menguntungkan dokter itu secara finansial? Etika dikalahkan oleh fulus!
Maka meski agak terlambat langkah audit terhadap bedah caesar sungguh mendesak dilakukan. Perlu dicari format terbaik karena tidak semua bedah caesar menyalahi etika maupun ilmu kedokteran. Yang terpenting adalah menetapkan tolok ukur (standar) penilaian terhadap dokter atau RS yang perlu diaudit. Juga perlu penetapan prosedur sanksi terhadap pelanggaran, kalau perlu sampai pencabutan ijin praktik dokter maupun RS. Mungkin perlu juga dikaji hukuman yang akan benar-benar membuat dokter “jera”, yakni dalam bentuk pengumuman kepada khalayak tentang dokter pelanggarnya.
Juga diperlukan suatu lembaga banding independen yang terdiri dari para pakar untuk menentukan apakah terjadi pelanggaran atau tidak terhadap indikasi bedah caesar itu, yakni untuk perselisihan yang mungkin terjadi antara pelaku bedah caesar dan auditor.
Sosialisasikan langkah audit ini langsung kepada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi kritis terhadap perlakuan dokter. Langkah ini dapat dilakukan dengan menyebarkan pamflet atau booklet, atau brosur ke tengah-tengah masyarakat, berisi informasi lengkap mengenai bedah caesar. Sosialisasi ini dapat menempuh jalur-jalur
PKK atau Puskesmas, sebagaimana pernah dilakukan terhadap program imunisasi dan sebagainya.
***
SATU hal lagi yang perlu dipikirkan secara mendalam adalah masalah asuransi, karena di beberapa negara asuransi ini sangat mampu untuk mengendalikan angka bedah caesar (c-section rates). Logikanya, jika seorang dokter melakukan bedah caesar, tetapi kemudian indikasinya ternyata tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan, maka perusahaan asuransi tidak akan membayar klaim, sehingga dokter tersebut akan gigit jari.
Bisa saja dokter itu keberatan, tetapi ada lembaga atau dewan independen untuk proses banding seperti telah disinggung di atas. Walaupun sampai ke pengadilan, kemungkinan dokter yang bersangkutan menang perkara sangatlah kecil, karena pengadilan harus merujuk kepada para pakar yang tidak lain adalah lembaga banding tersebut. Singkatnya, model asuransi dapat digunakan untuk mengendalikan angka bedah caesar, walaupun harus dikaji secara mendalam untuk Indonesia mengingat asuransi bukanlah sesuatu yang lazim.
Chrisdiono M Achadiat, dokter spesialis kebidanan, bekerja di RS swasta di Kediri, Jawa Timur.
Sumber: Kompas. Minggu, 18 Maret 2001