Bayu Dwi Apri Nugroho sejak 2008 memikirkan cara memberikan informasi cuaca dan tanah secara akurat dan ”real time” kepada petani. Ia lantas merancang aplikasi sensor cuaca dan tanah yang dipakai ribuan petani.
ARSIP PRIBADI—-Melalui aplikasi sensor cuaca dan tanah, Bayu Dwi Apri Nugroho (41) membantu petani yang terdampak perubahan iklim. Aplikasi ini juga bermanfaat untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk mengurangi pemakaian pupuk dan air.
Melalui aplikasi sensor cuaca dan tanah, Bayu Dwi Apri Nugroho (41) membantu petani yang terdampak perubahan iklim. Aplikasi ini juga bermanfaat untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk mengurangi pemakaian pupuk dan air.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ide membuat aplikasi sensor cuaca dan tanah muncul setelah Bayu mengamati perubahan iklim. Berdasarkan risetnya, sejak 1980-an, banyak petani mengalami gagal tanam dan gagal panen. Selain itu, produktivitas lahan akibat perubahan iklim dan cuaca juga tidak menentu. ”Dari situ saya berpikir, bagaimana caranya membantu petani,” katanya, dihubungi dari Jakarta, Sabtu (17/7/2021).
Bayu menyadari bahwa informasi perubahan cuaca biasanya tidak sampai menyentuh level desa. Informasi dari BMKG dan beberapa aplikasi cuaca, misalnya, hanya sampai pada level kecamatan. ”Padahal, perubahan cuaca sangat dinamis. Di sini hujan, belum tentu di jarak 2-3 km juga turun hujan,” kata dosen Universitas Gadjah Mada Fakultas Teknologi Pertanian ini.
Ia pun memikirkan cara memberikan informasi saat itu juga (realtime) dan akurat kepada petani. Ia lantas merancang aplikasi sensor cuaca dan tanah yang disebutnya Automatic Weather Sensor (AWS). Sensor ini berfungsi sebagai alat pengumpul data, mulai data cuaca, hujan, suhu, kelembaban, kekuatan angin, hingga arah mata angin.
Dari data itu, Bayu mengembangkan algoritma yang dapat membantu menerjemahkan data menjadi informasi yang mudah dipahami oleh petani. Rekomendasi yang diberikan, misalnya, terkait apakah petani perlu menunda rencana pemupukan jika besok diprediksi akan hujan. Ternyata informasi seperti itu sangat bermanfaat bagi petani untuk menghindari gagal tanam dan gagal panen.
”Testimoni dari petani, pemupukan mereka bisa hemat sampai 50 persen. Kalau sebelum menggunakan teknologi petani memakai empat kantong pupuk, sekarang hanya menggunakan dua kantong pupuk,” katanya.
Rekomendasi ini dibuat tidak semata-mata memperhitungkan kondisi tanah dan perubahan cuaca. Bayu juga memasukkan kebiasaan-kebiasaan petani di suatu daerah yang ia kumpulkan secara khusus, seperti waktu turun ke sawah, jenis pupuk yang digunakan, dosis pupuk yang dipakai, serta waktu dan panen. Mengingat kebiasaan setiap petani berbeda, rekomendasi yang diberikan kepada petani juga berbeda.
Bayu sengaja memasukkan kebiasaan petani dalam algoritma karena pernah diprotes oleh petani setelah dianggap mengubah kebiasaan. ”Petani protes, kalau saya mengubah kebiasaan, apakah saya mau bertanggung jawab saat panen gagal? Dari sini saya belajar bahwa local wisdom ini memegang peranan penting dalam pertanian,” katanya.
ARSIP PRIBADI——Bayu Dwi Apri Nugroho (41) mengecek sensor cuaca dan tanah. Melalui aplikasi yang dikembangkan, Bayu membantu petani yang terdampak perubahan iklim. Aplikasi ini juga bermanfaat untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk mengurangi pemakaian pupuk dan air.
Ada dua sensor yang dipakai untuk memberikan rekomendasi pertanian. Pertama, sensor yang diletakkan di atas permukaan tanah untuk menghitung curah hujan, suhu, arah dan kecepatan mata angin. Kedua, sensor di bawah permukaan tanah untuk mengukur kadar air, unsur hara, dan segala hal terkait pemupukan.
Dari data yang ia kumpulan, ia memberikan rekomendasi ketua kelompok petani dengan menggunakan pesan singkat SMS. Selanjutnya, ia menggandeng anak-anak muda, terutama anggota karang taruna, untuk menyebarkan rekomendasi kepada petani.
Diremehkan
Sensor cuaca, lanjut Bayu, sudah umum digunakan di negara-negara maju, seperti Jepang dan Singapura. Hal yang membedakan adalah data yang dipakai sebagai bahan rekomendasi untuk petani.
Bayu telah beberapa kali menyempurnakan aplikasi yang pertama kali ia kembangkan tahun 2008. Ia juga telah menggunakan sensor produksi dalam negeri sejak 2018 sehingga tidak bergantung pada barang impor.
Dalam mengembangkan aplikasi ini, Bayu menghadapi sejumlah tantangan. Banyak orang tidak percaya aplikasi ini akan berguna karena petani di Indonesia belum semuanya memiliki gawai. ”Banyak yang meremehkan. Saya dianggap berpikir terlalu jauh ke depan, tidak realistis,” ujarnya.
Ia juga mesti berusaha keras meyakinkan petani. ”Karakter petani kalau belum ada bukti, mereka enggak akan coba. Selain itu, kebanyakan petani juga sudah berusia di atas 50 tahun sehingga sulit memperkenalkan aplikasi,” katanya.
Untuk mengatasi tantangan ini, Bayu mengajukan syarat, yakni pendampingan pada petani harus melibatkan anggota karang taruna setempat. Petani juga bisa didampingi oleh anak atau keponakan mereka yang terbiasa menggunakan telepon pintar.
Dengan cara itu pula Bayu ingin mengajak anak muda kembali ke sawah dan meyakinkan mereka bahwa menjadi petani tidak berarti harus ada di sawah dari pagi sampai sore. Anak-anak muda bisa membagi waktu antara turun ke sawah dan menjalankan kegiatan lainnya secara efektif. ”Selama ada teknologi, kita bisa menjalankan pertanian secara modern,” ujar Bayu yang mendirikan start-up bernama PT Mitra Sejahtera Membangun Bangsa.
Bayu tidak menyasar petani satu per satu. Ia membangun kolaborasi dengan lembaga pemerintahan dan non-pemerintahan untuk mendampingi kelompok petani. Ia juga membuka lahan percontohan sehingga petani bisa melihat cara kerja aplikasi langsung di lahan yang sudah dipasangi sensor. Dengan cara itu, aplikasinya mulai dimanfaatkan oleh para petani sejak 2018. Saat ini, ada 12.000-13.000 petani di seluruh Indonesia yang menggunakan aplikasi ciptaan Bayu.
Selain di Indonesia, aplikasi buatan Bayu juga disambut di luar negeri, seperti di Singapura, China, dan India. Beberapa perusahaan luar negeri ingin membeli sensor dan mengincar algoritma yang telah ia patenkan.
Berkat inisiatifnya ini, Bayu mendapatkan penghargaan Hermes Startup Award 2020 senilai 10.000 euro. Dewan juri yang diketuai Prof Dr Reimund Neugebauer, Presiden Pusat Penelitian Frauenhofer-Gesellschaft, memilih Bayu karena bisa mengembangkan konsep yang memberi jalan keluar bagi petani dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.
Bayu Dwi Apri Nugroho
Lahir: Yogyakarta, 12 April 1979
Pekerjaan: Kepala Lab Teknik Fisika Hayati Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian UGM
Pendidikan:
S-1 Teknologi Pertanian, UGM
S-2 Environmental Sciences, Iwate University
S-3 Agro-meteorology, Iwate University
Penghargaan, antara lain:
Dosen Berprestasi Terbaik 1 Saintek Universitas Gadjah Mada 2020
Dosen Berprestasi Terbaik 1 Saintek Universitas Gadjah Mada 2020
Certificate of Merit Asia Smart App Awards 2019
Dosen Terbaik FTP UGM, 2016
Dosen Terbaik FTP UGM, 2014
Hak Paten:
Buku Fenomena Iklim Global, Perubahan Iklim dan Dampaknya di Indonesia (2016)
Sensor Cuaca dan Tanah (2019)
Sensor Debit Air
Aplikasi Teknologi pertanian RiTx Bertani (2019)
Fenomena Iklim Global, Perubahan Iklim dan Dampaknya di Indonesia (2nd Edition) (2020)
Oleh DENTY PIAWAI NASTITIE
Editor: BUDI SUWARNA
Sumber: Kompas, 19 Juli 2021