Home / Berita / Banjir dan Kebakaran karena Ulah Manusia

Banjir dan Kebakaran karena Ulah Manusia

Banjir dan longsor di sejumlah daerah di Jawa lebih banyak disebabkan faktor manusia, bukan kondisi cuaca. Situasi itu kian menandai terus merosotnya daya dukung lingkungan di pulau berpenduduk terpadat tersebut.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir melanda 15 kecamatan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, sepekan terakhir. Dua orang tewas, 24.000 jiwa terdampak, dan 3.000 jiwa mengungsi. Tinggi banjir 80 sentimeter hingga 3 meter di sepanjang bantaran Sungai Citarum.

Banjir juga terjadi di aliran Sungai Winongo, Yogyakarta, Sabtu (12/3), menyebabkan 150 orang mengungsi. Sebanyak 15 rumah di Dusun Kragilan, Desa Sinduadi, Sleman, terendam air 1-1,5 meter.

“Sebelumnya, banjir juga terjadi di Jawa Timur dan Tangerang. Banjir yang cukup merata ini jelas bencana antropogenik, artinya dominasi disebabkan ulah manusia,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Minggu, di Jakarta.

Menurut Sutopo, mengacu data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan minggu ini tak ekstrem. “Memang hujan deras. Namun, tak terlalu ekstrem. Daya dukung dan daya tampung lingkungan tak memadai sehingga dengan hujan cukup besar saja menimbulkan banjir,” ujarnya.

Data indeks kebencanaan Indonesia, selama ini menempatkan Pulau Jawa sebagai wilayah paling rentan bencana. Dari 118 kabupaten atau kota di Jawa, 94 di antaranya memiliki risiko banjir sangat tinggi. Adapun 110 kabupaten atau kota di antaranya berisiko mengalami kekeringan.

Terkait itu, akhir tahun lalu, 241 orang dari kalangan akademisi, peneliti, aktivis, tokoh agama, dan masyarakat adat sebenarnya telah mengirim petisi kepada Presiden Joko Widodo. Mereka meminta Presiden mengubah paradigma pembangunan, terutama di Jawa, dari yang hanya bertumpu ekonomi menjadi lebih memperhitungkan daya dukung ekologi dan bervisi keadilan (Kompas, 30/12/2015).

Kebakaran lahan
Pada saat banjir melanda Pulau Jawa, kebakaran hutan dan lahan justru terjadi di Riau serta Kalimantan Timur dan titik apinya terus membesar. Pantauan satelit Modis dari NASA, terdeteksi 151 titik api di Indonesia pada Minggu (13/3) pukul 05.00. Sebarannya antara lain Kalimantan Timur 76 titik panas, Riau (45), Aceh (11), Kalimantan Utara (7), Sulawesi Tengah (2), Gorontalo (2), Sulawesi Selatan (2), Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Maluku Utara, dan Jawa Timur masing-masing 1 titik.

Menurut Sutopo, kondisi cuaca di Riau dan Kalimantan Timur saat ini baru memasuki kemarau periode pertama. Meski demikian, kondisi air sumur dan air permukaan sudah mulai menipis sehingga menyulitkan petugas saat memadamkan api.

Penyebab kebakaran hutan dan lahan itu tetap sama seperti tahun sebelumnya, yaitu pembakaran. “Artinya, disengaja untuk pembersihan dan pembukaan lahan. Lokasi kebakaran kali ini di lahan masyarakat, perkebunan pada konsesi perusahaan, dan di hutan. Seperti pada kebakaran hari ini di Kabupaten Meranti terjadi di lahan perkebunan swasta,” ucapnya.

Di Jambi, Gubernur Jambi Zumi Zola menyatakan, jajaran pemerintah daerah di wilayahnya telah menandatangani maklumat. Isinya, siapa pun, termasuk pengelola lahan perkebunan dan kehutanan, dilarang membuka atau mengolah lahan dengan cara membakar. Ada sanksi pidana untuk itu. (AIK/ITA)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Banjir dan Kebakaran karena Ulah Manusia”.

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d blogger menyukai ini: