Lebih dari separuh hidup Bambang Rudyanto (46) dihabiskan di Jepang. Lelaki kelahiran Probolinggo, Jawa Timur, ini menjadi profesor dan dosen di salah satu kampus di ”Negeri Sakura”. Namun, pikiran dan hatinya tak lepas dari Indonesia.
Pagi itu hujan menandai pancaroba menjelang musim panas. Bambang melajukan mobilnya di jalan basah. Biasanya ia naik kereta ke kampusnya di Wako University, Machida-shi, pinggiran Tokyo.
Pagi itu ia bermobil karena mampir ke Sekolah Dasar Okagami, Kawasaki-shi, untuk memperkenalkan Indonesia. Setahun sekali, beberapa dosen menjadi sukarelawan mengajar di sekolah tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia bergegas menuju ke ruang kelas V. Dengan bahasa Jepang yang fasih, ia memperkenalkan beberapa kosakata Indonesia. Ia juga menunjukkan cara membuat mainan pesawat terbang dari kertas lipat. Setelah itu, Bambang mengajari mereka memasak nasi goreng.
”Bambang seperti duta Indonesia di Jepang,” kata Prof Iwao Kato, Di- rektur Center for International Cultural Exchange di Wako University.
Bambang mahir menarik perhatian siswa. Cara mengajar itu juga dia terapkan kepada mahasiswa. Ia juga kerap mengundang anak didiknya makan bersama di rumahnya. ”Saya ingin menggabungkan kedisiplinan Jepang dan kehangatan Indonesia.”
Tiap tahun, ia membawa mahasiswa untuk kuliah lapangan di Indonesia. Biasanya 30 orang berpartisipasi tinggal di salah satu desa di Malang, Jawa Timur, selain Bali. Tahun ini ada 50 orang yang ikut.
”Biasanya, setelah ke Indonesia, mereka jadi suka Indonesia,” kata Bambang. ”Bahkan, ada salah satu mahasiswa di Keio University sekarang jadi dosen di Universitas Andalas, Padang (Sumatera Barat).”
Selain menjadi dosen tetap dan mengajar IT Business, International Cooperation, dan sejumlah mata kuliah di Wako, ia juga mengampu mata kuliah Bahasa Indonesia di sejumlah kampus di Jepang, seperti di Keio University dan Nihon University. Bambang juga kerap menjadi penerjemah yang menghubungkan kepentingan pemerintah dan pihak swasta Jepang dengan Indonesia.
Ikatan dengan Indonesia terus dipupuknya. Pada 2002, dia menghimpun orang Indonesia yang bekerja di Jepang lewat Indonesia Vision Group. ”Kami ingin memberi sesuatu untuk Indonesia. Tahun 2003, kami membuat konferensi di Sophia University tentang Indonesia dan mengundang beberapa pakar.”
Sempat vakum, belakangan Bambang bertekad menghidupkan kembali forum itu. Walau sudah 25 tahun berada di Jepang, ia tetap bersemangat bicara soal Indonesia dan perubahan yang bisa dilakukan.
Pengembara
Bambang memulai pengembaraan ke mancanegara saat remaja. Setamat dari SMA Proyek Perintis Sekolah Pembangunan IKIP Malang dalam dua tahun, ia diterima di Institut Pertanian Bogor tanpa tes. Pada saat bersamaan, ia diterima dalam program pertukaran selama setahun ke Belgia atas dana American Field Service (AFS).
Sepulang dari Belgia, ia mendaftar ke Institut Teknologi Bandung dan diterima. Namun, dia merasa gamang. Bambang rindu suasana Belgia. Ia merasa lebih berkembang di luar negeri. ”Sebelum ke Belgia, saya sering diolok-olok teman karena tak bisa main voli. Tetapi, di Belgia justru saya diajari sampai bisa,” kisah Bambang yang bertekad sekolah di luar negeri.
Ia teringat suratnya kepada Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie yang dia tulis semasa di Belgia. Dalam surat itu, Bambang meminta Habibie membantunya kuliah di luar negeri. Saat mengetahui suratnya tak berbalas, ia pergi ke Jakarta. Ia menumpang tidur di kantor AFS. ”Saya tak punya famili di Jakarta.”
Esoknya dia nekat ke kantor BPPT. Di pintu masuk, dia dicegat petugas keamanan. Namun, dengan mantap dia menjawab hendak berjumpa Pak Habibie karena ingin sekolah ke luar negeri.
Petugas keamanan yang baik hati itu memberikan informasi soal beasiswa ke luar negeri. ”Pengumumannya ditempel di kaca di lantai 12, cobalah naik,” ceritanya tentang situasi saat itu.
Bambang melewati sejumlah tahapan tes. Dalam wawancara akhir, dia ditanya mau sekolah di mana dan dijawabnya Belanda. Ia diterima, bukan ke Belanda, melainkan Jepang. Ia kehilangan semangat dan enggan pergi. Namun, ayahnya meminta dia menerima beasiswa itu. Pertimbangannya lebih soal ekonomi karena masih empat adiknya yang menjadi tanggungan.
Jatuh cinta
Begitu tiba di Jepang, Bambang malah jatuh cinta pada bahasa dan kebudayaannya. ”Bahasa Jepang seperti lukisan, saya tertarik mempelajarinya.”
Sambil kuliah, dia menjadi pencuci piring hingga petugas satpam proyek pembangunan jalan. ”Saya ingin bergaul dengan orang Jepang.”
Selama delapan tahun dia kuliah dan bekerja di Jepang. Setelah menyelesaikan program doktoral, Bambang kembali ke Indonesia dan bekerja di instansi pemerintah. Namun, dia tidak betah. Suasana kerja dia rasakan kurang mendukung. ”Semuanya omong jabatan, administrasi, dan tunjangan.”
Ia langsung menerima saat temannya menawarinya bekerja di United Nations Centre for Regional Development (UNCRD) dan berkantor di Jepang. Atas izin atasannya, Bambang kembali ke Jepang dengan status diperbantukan ke UNCRD. Ia lalu bekerja di Yayasan Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri (OECF, kini Badan Kerja Sama Internasional Jepang/JICA).
Setelah itu, dia bekerja sebagai Project Officer Japan Bank for International Cooperation (JBIC) di Indonesia yang membawahkan 15 proyek di Kementerian Pekerjaan Umum. Posisi itu memungkinkannya membatalkan proyek jika dinilai ada korupsi atau tak tepat sasaran.
Suatu saat, Bambang membatalkan proyek penataan pantai di Bali karena berpotensi menghilangkan pemandangan alaminya. ”Saya tunda proyek itu,” katanya.
Di lain waktu, Bambang membatalkan proyek pembuatan penjernihan air karena terindikasi ada permainan tender. ”Ternyata banyak yang marah. Di Indonesia, kalau kita idealis, tidak bisa,” keluhnya.
Bambang resah. Ia merasa lebih berguna jika berada di Jepang. ”Suara saya minimal didengar, terutama jika bicara soal Indonesia. Kalau di Indonesia, mana orang percaya kemampuan saya. Banyak ilmuwan lulusan Jepang di Indonesia tak bisa berkiprah.”
Begitu ada tawaran menjadi peneliti utama bidang bencana di Asian Disaster Reduction Center, Bambang menerimanya. Padahal, saat itu dia digaji 5.000 dollar AS ditambah tunjangan rumah Rp 8 juta per bulan dari JBIC. ”Saya tak merasa tenang, apalagi saat melintasi jalanan di Jakarta kerap bertemu peminta-minta, kesenjangan antara kaya-miskin lebar sekali.”
Ia kembali ke Jepang dan mengurus bencana di Asia, terutama Indonesia. ”Apa yang saya pelajari di Jepang, yang mungkin paling berguna bagi Indonesia, adalah kesenjangan dan peran negara dalam masyarakat.”
Di Jepang, kehidupan warga dijamin negara. ”Orang tak tertarik menimbun kekayaan karena pajak warisan bisa 50 persen. Di Indonesia, kita seolah berlomba mengejar materi karena tak ada rasa aman di hari tua,” ujarnya.
Bambang Rudyanto
Pendidikan:
S-1 Electrical Engineering Keio University, 1987-1991
S-2 Environmental Sciences University of Tsukuba, 1991-1993
PhD Advanced Science and Technology University of Tokyo, 1993-1996
Pekerjaan, antara lain:
Profesor di Wako University, Tokyo, April 2002
Visiting Researcher Southeast Asia Program Cornell University, Ithaca, AS, April 2009-Maret 2010
Oleh: Ahmad Arif