Tidak ada di dunia, organisasi Islam sebesar Muhammadiyah dengan lembaga pendidikan hingga pelayanan kesehatannya. Namun persoalannya, Muhammadiyah dengan sejarah yang panjang tidak berdaya melawan kemungkaran seperti halnya korupsi. Saya setua ini jadi merasa bodoh hari ini.”
Inilah cuplikan pendek Syafii Maarif yang juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam pertemuan tahunan Dewan Kehormatan Syafii Maarif Institut di Jakarta. Yang terjadi kemudian adalah semakin suburnya upacara dan penggunaan simbol Islam dari cara berpakaian serta beragam gaya hidup hingga bahasa, tetapi korupsi dan nilai keutamaan hidup mundur sangat besar.
Cuplikan kecil dari dialog panjang ini terasa menjadi kritik besar terhadap organisasi-organisasi Islam Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam di tengah dua isu besar negeri ini: korupsi dan revolusi mental.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selepas dari pertemuan Dewan Kehormatan Syafii Maarif Institut yang sedang merancang penghargaan kota Islami, saya beruntung bisa melakukan perjalanan ke Yogyakarta, bertemu teman-teman di warung di tengah situasi Kongres VI Umat Islam (8-11 Februari 2015).
Berbagai topik dilontarkan: sebutlah risalah yang dibacakan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin yang menekankan perlunya politik santun. Sebab, politik yang menghalalkan segala cara yang selama ini terjadi menyebabkan cita-cita pendiri bangsa tak kunjung terwujud. Topik lain adalah jihad terhadap korupsi, atau juga tulisan tentang peran umat Islam dalam kebudayaan lokal yang termarjinalkan, bahkan sering menjadi konflik. Padahal, pada aspek ini toleransi dan budaya Pancasila ditumbuhkan.
Atau juga, kapitalisme politik setelah reformasi yang mengisyaratkan politik dalam perangkap negosiasi pemilik modal beserta kepentingannya, ditambah lagi era konglomerasi media komunikasi televisi dan media sosial yang masuk politik sehingga beragam pertempuran media dan bisnis menjadi dasar pertumbuhan politik tidak santun dan politik pameran semu, menjadikan rakyat kehilangan panduan berbangsa: siapa yang benar dan salah, berita mana yang benar dan salah, apa yang sebetulnya berhasil, apa yang terjadi, hukum apa yang harus berlaku, apakah itu tata negara atau moral, atau bahkan juga lembaga mana yang berwenang pada suatu masalah tertentu?
Catatan di atas terasa memenuhi pikiran saya, beruntung saya sedang berproses menyelesaikan film Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam pada awal abad XX. Organisasi politik pertama yang beranggotakan 2 juta orang, terbesar di Asia. Yang harus dicatat, sepak terjang Sarekat Islam terasa menjawab masalah-masalah yang telontar di atas.
”Ini era kaum pemilik modal, perusahaan minyak Belanda dan Inggris sudah berdiri, sekrup-sekrup pabrik menggerakkan modal dan buruh-buruh bermunculan. Setiap hal di tanah ini diatur oleh pemilik modal, saya tidak mau jadi tontonan sirkus, kita perlu politik berdikari.” Inilah ucapan Tjokroaminoto.
Maka, haruslah mafhum, Tjokroaminoto menuntut setiap cabang Sarekat Islam memiliki alat komunikasi massa alias surat kabar, menuntut adanya koperasi di setiap cabang sesuai sumber ekonomi setempat dan juga mengelola kesenian lokal sebagai alat ekspresi, ruang bersama, penghormatan nilai hidup, serta kepahlawanan yang beragam. Jangan kaget, Tjokroaminoto adalah penari Hanoman yang andal dan penggemar tayub. Sebuah pertanyaan sederhana muncul, adakah partai sekarang yang memiliki tiga aspek penting ini di setiap cabangnya?
”Kalian anak muda di gerbong ini adalah manusia pilihan dari jutaan orang, rakyat akan ikut masuk dalam gerbong panjang keteladanan kerja kalian, mereka bahkan sering tak bisa membaca satu pun dari gagasan kalian, namun mereka mempunyai tangan untuk bekerja bagi kalian, tangan rakyat juga bisa berdoa untuk kalian, namun camkan mereka juga bisa: Amuk!” Inilah ucapan Tjokroaminoto di kereta api kepada murid-muridnya seperti Kusno (Soekarno), Alimin, Muso, dan lainnya. Murid-murid yang diberi ruang terbuka berdiskusi dan membaca buku-buku dunia tentang ideologi sosialis, komunis, hingga nasionalis.
”Aku hijrah di antara ideologi dunia beragam yang tidak bisa dicegah masuk dalam tanah ini, setiap ideologi adalah baik dan punya tempatnya sendiri, sekiranya lahir masalah besar, yang salah bukan ideologinya, namun cara-cara memaksakan gagasan dengan kekerasan. Ingat kalian, setinggi-tinggi ilmu, sepandai-pandai strategi dan semurni-murni tauhid.” Inilah cara pandang Tjokroaminoto yang dikatakan kepada anak-anak muda yang disebutnya manusia pilihan yang dipenuhi berkah Allah.
Membuat film Tjokroaminoto, saya teringat filosofi Latin ”Sejarah mengajari: Ayo bangkit anak muda Islam pemimpin Indonesia, kalian orang-orang terpilih!”
Oleh: Garin Nugroho
Sumber: Kompas, 15 Februari 2015
Posted from WordPress for Android