CATATAN IPTEK
Harga telur ayam yang relatif stabil, pertengahan Juli ini mendadak gonjang-ganjing. Kalau biasanya harga telur pada kisaran Rp 23.000 per kilogram, sekarang melambung hingga mencapai Rp 30.000.
Banyak persoalan dituding sebagai pemicunya. Dari larangan penggunaan antibiotik yang menurunkan produktivitas, pelemahan nilai rupiah yang menaikkan harga bahan baku impor, hingga penguasaan pasar hanya oleh perusahaan besar.
Dirunut dari sejarahnya, semua faktor di atas memang berkontribusi. Dalam bukunya Big Chicken: The Incredible Story of How Antibiotics Created Modern Agriculture and Changed the Way the World Eats (dipublikasikan 12 September 2017 oleh National Geographic Society), Maryn McKenna mendokumentasikan bagaimana antibiotik telah mentransformasikan ayam. Dari kelezatan makanan lokal menjadi komoditas industri global, sekaligus ancamannya terhadap kesehatan manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Antibiotik telah mentransformasikan ayam. Dari kelezatan makanan lokal menjadi komoditas industri global, sekaligus ancamannya terhadap kesehatan manusia.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO–Seorang peternak ayam petelur di Desa Pohgajih, Kecamatan Selorejo, Blitar, Jawa Timur, tengah menuangkan pakan ayam, beberapa waktu lalu. Saat ini harga telur di tingkat peternak naik akibat produksi telur turun.
McKenna—wartawan kesehatan dan kontributor National Geographic—mengawali dokumentasinya dengan kondisi peternakan di Amerika Serikat, 1925. Saat itu ada lebih dari enam juta rumah tangga pertanian (farm). Mereka bercocok tanam dan memelihara ayam dengan jumlah maksimal 200 ekor, umumnya untuk diambil telurnya. Daging hanya dari ayam jantan atau yang sudah tidak produktif.
Dengan ditemukannya inkubator elektronik, petani tak perlu lagi memilih induk unggulan dan mengelola stok bibit. Pekerjaan itu diambil alih perusahaan pembibitan, yang setiap saat siap mengirim ribuan anak ayam ke pelbagai wilayah. Maka dimulailah era ekspansi, industrialisasi, dan diferensiasi ayam.
Tiap tahun, pelbagai negara bagian membuat lomba untuk mendapatkan ayam pedaging ideal—daging empuk, banyak, dan cepat panen—atau ayam petelur ideal: banyak bertelur dan besar-besar. Cara pemeliharaan pun berubah demi efisiensi biaya. Ayam yang semula berkeliaran masuk kandang sempit dan terus menerus makan: agar cepat besar atau terus bertelur.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Ribuan ayam broiler siap panen pada peternakan ayam di kawasan Kampung Kandang, Depok, Jawa Barat, Rabu (13/1/2016).
Penemuan antibiotik membuat peternakan ayam modern saat ini tak lepas dari antibiotik. Kalau semula tujuannya untuk kekebalan terhadap penyakit, lama-lama antibiotik disalahgunakan sebagai pemacu produktivitas. Dalam temuan McKenna, banyak bakteri resisten antibiotik yang mengancam industri perunggasan maupun konsumen ayam.
Penemuan antibiotik membuat peternakan ayam modern saat ini tak lepas dari antibiotik. Kalau semula tujuannya untuk kekebalan terhadap penyakit, lama-lama antibiotik disalahgunakan sebagai pemacu produktivitas.
Di Indonesia, meski kenaikan harga telur cukup mengguncang karena menjadi sumber protein murah untuk rakyat, hal itu tidak boleh membatalkan larangan pemerintah menggunakan antibiotik sebagai pemacu produksi.
Sudah menjadi pengetahuan umum, penggunaan antibiotik yang berlebihan membuat banyak bakteri resisten. Akibatnya ketika ayam terinfeksi, antibiotik tak mempan lagi. Penggunaan antibiotik berlebih plus hormon, juga tidak baik bagi kesehatan konsumen. Tidak heran apabila konsumen global kini menuntut produk daging dan telur ayam bebas antibiotik dan hormon.
Tidak hanya itu, hak-hak binatang pun harus diberikan. The Global Animal Partnership mensyaratkan sistem pemeliharaan yang berperi “kebinatangan” berupa ruang gerak yang lebih luas, cahaya, dan kecukupan aliran udara. Beberapa praktisi menyebutkan, tanah dengan kotoran ayam dan terus diinjak-injak ayam yang berkeliaran, menjadi lebih gembur dan subur.
Namun, penerapan sistem pemeliharaan bebas (free range) memang tak mudah. ZH Miao, PC Glatz, dan YJ Ru dari Livestock Systems, South Australian Research and Development Institute, Roseworthy Campus, dalam tinjuannya “Free-range Poultry Production” (Asian-Australia Journal Animal Science, 2005), menyebutkan tidak mudah memulai sistem pemeliharaan bebas ini. Setelah puluhan tahun jenis ayam mengerucut menjadi tidak perlu bergerak dan terlindungi di kandang, ketika dilepas jenis ayam yang sama menjadi rentan. Tidak hanya terhadap panas dan hujan, tetapi juga predator dan segala macam penyakit.
Namun, karena dalam jangka panjang ayam-ayam yang bebas ini lebih dikehendaki karena lebih sehat—dengan lebih banyak bergerak dan bebas antibiotika—maka sistem yang lebih berperi “kebinatangan” ini tetap harus dimulai.
Betul pada tahun 2050 akan ada lebih dari dua miliar manusia yang membutuhkan pangan. Meski demikian, penyediaan pangan yang beretika dan sehat harus menjadi syaratnya.–AGNES ARISTIARINI
Sumber: Kompas, 18 Juli 2018